Menuju konten utama

Salju di Pergunungan Papua Akan Segera Menghilang

Gletser di pergunungan Papua dari tahun ke tahun kian menyusut dimangsa pemanasan global. Diprediksi akan sepenuhnya menghilang pada akhir dekade ini.

Header Mozaik Gletser Khatulistiwa. tirto.id/Ecun

tirto.id - "Pada jarak sekitar 10 mil ke pedalaman [Papua] kami melihat barisan pergunungan yang sangat tinggi di banyak tempat berwarna putih diselimuti salju, kami anggap sebagai pemandangan yang sangat unik karena begitu dekat dengan garis ekuinoks (garis khatulistiwa)," tulis Jan Carstenszoon dalam laporannya pada 16 Februari 1623.

Banyak pihak tak percaya. Namun, tutur Geoffrey S. Hope dalam The Equatorial Glaciers of New Guinea (1976), keraguan itu sirna karena tak lama sebelum laporan Carstenszoon tentang salju di Papua, Barat baru saja menemukan keajaiban serupa di Pergunungan Andes di Amerika Utara, yang sama-sama berada di khatulistiwa.

Jauh ke belakang, tepatnya 250 tahun sebelum kabar Carstenszoon tersiar, Barat menemukan bongkahan es atau gletser di puncak Afrika Timur, yang lagi-lagi berada di kawasan tropis khatulistiwa.

Lebih dari dua setengah abad kemudian atau tak lama usai Belanda memperoleh kekuasaan mutlak atas sisi barat Papua, Belanda mengonfirmasi klaim Carstenszoon dengan melihat secara langsung keberadaan salju dari kejauhan. Mereka kemudian menetapkan kawasan itu sebagai "Carstensz Toppen" atau "Carstensz Pyramid".

Pada 8 November 1909, melalui ekspedisi yang dipimpin H. A. Lorentz, Belanda untuk pertama kalinya mengunjungi secara langsung hamparan salju di Papua. Bukan Puncak Jaya, tetapi area bersalju lain yang berada 170 kilometer dari timur Puncak Jaya bernama Wilhelmina Peak atau Puncak Trikora.

Warsa 1936, titik tertinggi lain dalam area Carstensz Pyramid, yakni Puncak Ngga Pulu dan Puncak Timur Carstensz, dikunjungi Belanda melalui penjelajah cum ahli perminyakannya, Anton Colijn.

Baru pada 1963, usai diketahui bahwa puncak tertinggi kawasan Carstensz Pyramid adalah Puncak Jaya, titik tertinggi sebenarnya di Papua ini dikunjungi. Namun, bukan oleh penjelajah Belanda, tetapi oleh seorang Austria bernama Heinrich Harrer.

Carstensz Pyramid beserta tiga puncaknya, yakni Puncak Jaya, Puncak Ngga Pulu, dan Puncak Timur Carstensz, merupakan salah satu gunung di Papua yang ditutupi hamparan salju, selain Gunung Mandala dan Gunung Idenburg (Ngga Pilimsit).

Gunung ini adalah bagian dari sistem jaringan (cordillera) Pergunungan Merauke (Sudirman dan Jayawijaya Range) atau "Snow Mountains of Papua" yang membentang sejauh 2.000 kilometer di tengah-tengah Pulau New Guinea (Papua) yang menjadi pembatas antara utara dan selatan.

Berada di ragam ketinggian lebih dari 4.500 meter di atas permukaan laut, salju atau gletser di Papua terbentuk dari udara hangat dan lembab yang naik dari daratan. Dari hutan hujan super lebat di sekitar gunung yang membawa awan dan hujan setiap hari untuk menurunkan suhu, lalu membekukan kawasan. Kondisi ini tercipta karena pergunungan di Papua relatif masih muda.

Dalam banyak kasus, pertumbuhan ketinggian gunung-gunung di Papua masih terjadi dengan ikut mendongkrak kadar vulkanismenya. Akibatnya, di sekitar pergunungan tercipta "nival condition" atau kondisi--wajib berada di atas 3.000 meter--yang memungkinkan vegetasi, umumnya berupa padang rumput, tumbuh lebat.

Didukung lokasi Papua di tropis pertengahan sebagai regional yang menerima sinar matahari berkesinambungan dan fenomena alam bernama munson, nival condition tersebut menggiring Papua menjadi salah satu titik di bumi yang menerima hujan terbesar.

Presipitasi tahunannya mencapai 12.500 milimeter hingga membuat rasio isotop oksigen dan hidrogen di kawasan pergunungan Papua tinggi dan stabil. Gletser atau salju akhirnya mudah terbentuk.

Dengan alasan tersebut, papar M. L. Prentice dalam "The Glaciation of the South-East Asian Equatorial Region" (Developments in Quaternary Science, Desember 2011), Papua sebetulnya bukan satu-satunya kawasan tropis di Asia Tenggara yang memungkinkan kebaradaan salju. Terutama gunung-gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 3.500 meter di atas permukaan laut yang banyak ditemukan di bagian barat Asia Tenggara.

Merujuk catatan sejarah, gletser pernah muncul dan kembali dalam intensitas ringan pada 1975, 1993, dan 2018 di Gunung Kinabalu, Kalimantan. Dengan alasan serupa pada 19.000 SM (Last Glacial Maximum) hingga 7 M, yang diperkirakan menutupi puncak gunung setinggi 4.101 meter di atas permukaan laut itu dengan luas mencapai 5,5 kilometer persegi.

Buah dari kondisi Kinabalu kala itu yang tumbuh 0,5 meter per 1000 tahun sebagai hasil tumbukan antara Lempeng Laut Cina Selatan, Lempeng Sulu, dan Lempeng Eurasia. Dari kondisi ini lahir "Lows Gully" atau lembah yang memiliki vegetasi lebat sebagai penopang lahirnya nival condition. Es pun akhirnya berkumpul.

Dengan alasan yang sama, Gunung Leseur, Gunung Bandahara, Gunung Kemiri, dan Gunung Kerinci di Sumatra, Gunung Semeru di Jawa, Gunung Rinjani di Lombok, Gunung Tambora di Sumbawa, dan Gunung Rantemario di Sulawesi juga berpotensi memiliki salju. Atau paling tidak memungkinkan salju muncul di masa lampau.

Sebaliknya, di sisi timur Asia Tenggara, keberadaan gletser di Pergunungan Merauke tak terbantahkan. Namun, seperti Gunung Kinabalu juga pelbagai gunung di barat Asia Tenggara maupun Puncak Wilhelmina (Puncak Trikora), yang saljunya menghilang dua dekade usai didatangi H. A. Lorentz pada 1909, gumpalan es yang berada di Carstensz Pyramid, Gunung Mandala, dan Gunung Idenburg kemungkinan akan musnah.

Merujuk penuturan Donaldi S. Permana dalam "Disappearance of the Last Tropical Glacier in the Western Pacific Warm Pool Appears Imminent" (Earth, Atmospheric, and Planetary Science, 2019), gletser atau salju di Papua kemungkinan menghilang sepenuhnya pada akhir dekade ini.

Kala Puncak Jaya dikunjungi pada 1930-an, misalnya, titik tersebut memiliki gletser seluas kira-kira 19 kilometer persegi. Nahas, tujuh dekade kemudian, luas gletser menyusut menjadi hanya sekitar 2 kilometer persegi. Ketebalan gletser di puncak tertinggi Papua ini kian menipis menjadi sekitar 5 meter sejak 2010 lalu.

Infografik Mozaik Gletser Khatulistiwa

Infografik Mozaik Gletser Khatulistiwa. tirto.id/Ecun

Seiring waktu, penyusutan terus berlanjut dan membuat salju atau gletser sepenuhnya menghilang dari Papua pada akhir 2020-an nanti, serta kemungkinan besar tak akan bisa diganti.

Musababnya, nival condition yang menjadi soko guru keberadaan es di khatulistiwa Papua sangat sensitif terhadap peningkatan suhu bumi dalam menciptakan salju. Sementara pemanasan global atas akumulasi karbon dioksida di atmosfer kian tak karuan.

Total dari pelbagai aktivitas industri maupun individu, lebih dari sepuluh ribu metrik ton karbon dioksida terakumulasi di atmosfer dan terus bertambah. Jumlah ini diprediksi baru akan terjadi pada 2050 kelak yang membuat suhu di Eropa setahun lalu mencetak rekor tertingginya, yakni 40 derajat celcius.

Secara umum, akibat akumulasi karbon dioksida ini, merujuk laporan panel ilmuwan/ahli di bidang perubahan iklim antar negara (Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC) berjudul "Climate Change 2021: The Physical Science Basis" (2021), suhu permukaan bumi mengalami peningkatan 1,09 derajat celsius dalam rentang 2011 hingga 2021.

Secara spesifik pada edisi 2021 laporan tentang pengaruh manusia terhadap iklim yang telah dimulai sejak 1988 tersebut, IPCC menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan karbon dioksida (CO2) sebesar 410 ppm di atmosfer bumi setiap tahunnya sejak 2011. Hal ini terjadi pula pada peningkatan gas metan (CH4) dan dinitrogen monoksida (N2O) masing-masing sebesar 1.866 ppb (part per billion) dan 332 ppb per tahun.

Musnahnya Zwitsers van Indies atau Swiss di Hindia Belanda (Indonesia), kiranya tak akan terbendung.

Baca juga artikel terkait GLETSER atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi
-->