Menuju konten utama

Saling Lempar Tanggung Jawab Soal Penyelenggaraan Pemilu Serentak

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai pemilu serentak sebaiknya dibagi menjadi dua, yaitu nasional dan daerah dengan jeda 30 bulan atau 2,5 tahun.

Saling Lempar Tanggung Jawab Soal Penyelenggaraan Pemilu Serentak
Kendaraan melintas di dekat papan sosialisasi pemilu 2019 di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (3/4/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Pemilu serentak yang digelar pada 17 April 2019 menyisakan sejumlah persoalan. Salah satunya ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia usai bekerja pada hari “H”. Penyebabnya macam-macam, dari mulai kecelakaan hingga kelelahan.

Masalah itu dinilai tidak terlepas dari sistem pemilu serentak yang baru digelar tahun ini. Sebab, konsekuensi sistem ini membuat jam kerja petugas KPPS lebih panjang. Para petugas mesti menghitung ratusan, bahkan ribuan surat suara presiden-wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, dan DPD RI.

Awal mula digelarnya pemilu serentak ini berawal dari uji materi yang diajukan Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Pada 2013, ia menggugat UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).

MK mengabulkan dan mengeluarkan putusan uji materi untuk UU yang digugat Effendi tersebut pada Mei 2013, kendati baru resmi disidangkan pada Januari 2014. Namun, penerapan pemilu serentak bisa dilakukan pada 2019, bukan untuk Pemilu 2014 dengan alasan waktu yang terlalu mepet.

Effendi Ghazali pun mempertanyakan kebijakan MK tersebut. “Kalau begitu, kenapa tidak dari dulu diputuskan? Kenapa baru sekarang?” kata dia usai mengikuti sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014), dikutip dari Kompas.com.

Apa yang dihasilkan hari itu ternyata berbuntut panjang di Pemilu 2019. Sebab, ratusan orang meninggal dunia karena berbagai faktor yang disebabkan penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan daerah, mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Effendi sendiri sebenarnya sudah berubah pikiran sejak dua tahun lalu. Sebab dalam bayangannya, pemilu serentak tidaklah seperti yang diterapkan pada Pemilu 2019.

Semestinya, pemilu serentak dibagi menjadi dua tahap, yakni pemilu serentak nasional: pemilihan presiden, DPR RI, dan DPD RI, kemudian diikuti dengan pemilu serentak daerah yang meliputi kepala daerah, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten/kota.

Hal itu sejalan dengan pernyataan Komisioner KPU RI Hasyim Asy'ari. Ia mengatakan, berdasarkan evaluasi dan riset atas pelaksanaan Pemilu 2009 dan 2014, KPU merekomendasikan pemisahan pelaksanaan pemilu untuk tingkat nasional dan daerah.

Saat ini ada dua kontestasi demokrasi yang digelar serentak, yakni Pilpres dengan Pileg dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). KPU, kata Hasyim, merekomendasikan untuk memisahkan pemilu berdasarkan tingkatan wilayah.

Pertama, yakni pemilu serentak nasional. Menurut Hasyim pemilu ini mencakup pilpres, pemilihan anggota DPR dan pemilihan anggota DPD. Kedua, kata dia, pemilu serentak daerah, yakni pesta demokrasi mencakup pemilihan gubernur, bupati/walikota, pemilihan legislatif untuk DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

“Dengan kata lain pemilu serentak daerah ini hanya untuk memilih pejabat tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” ujar Hasyim dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/4/2019).

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai pemilu serentak sebenarnya sudah tepat. Namun, pemilihan serentak harus dibagi menjadi dua dengan jeda 30 bulan atau 2,5 tahun.

“Kalau skema sekarang, di UU 10/2016 Pasal 201 mengatur bahwa Pilkada serentak nasional akan diselenggarakan November 2024. Artinya setelah bulan April 2024 diselenggarakan Pileg dan Pilpres berbarengan, maka akan dilanjutkan Pilkada serentak nasional pada November 2024. Ini sangat tidak masuk akal dari sisi beban, kompleksitas maupun kompetisi,” kata Titi kepada reporter Tirto, pada Rabu (24/4/2019).

Menurut Titi, dengan skema seperti itu tentu akan membuat negara menjadi berantakan karena jeda pemilu yang sangat mepet.

Saran kedua dari Titi adalah tentang rekapitulasi elektronik. Meski ada dugaan serangan digital, namun rekapitulasi elektronik bisa menghemat tenaga dan biaya.

“Teknis pungut hitung harus dibuat lebih sederhana dengan mengurangi berbagai beban pengisian formulir yang terlalu banyak. Saya kira rekapitulasi elektronik menjadi sebuah keniscayaan. Selain juga bisa membuat hasil lebih cepat tersaji,” kata Titi.

Saling Lempar Tanggung Jawab

Sementara itu, Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Hasto Kristiyanto mengaku kecewa dengan pelaksanaan pemilu serentak karena banyaknya korban jiwa yang ada.

Politikus PDIP ini beranggapan kesalahan itu sebenarnya juga berasal dari para pemohon uji materi ke MK yang “ngotot” ingin mengadakan pemilu serentak pada 2014. Hasto menilai mereka tidak memahami sulitnya pelaksanaan pemilu serentak.

“Yang melakukan judicial review terhadap pemilu serentak itu harus ikut bertanggung jawab terhadap hal ini. Ini harus jadi pembelajaran bagi aktivis pro-demokrasi,” kata Hasto kepada reporter Tirto.

Meski pemilu serentak sudah diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017, tapi Hasto merasa hal itu tidak jadi halangan. Seharusnya, kata Hasto, aturan itu bisa diubah jika memang dibutuhkan.

“Hukum, kan, berdasar sebuah kesepakatan. Ketika ada kesepakatan pileg mendahului pilpres, ya itu bisa saja ditunjang oleh aturan perundang-undangan,” kata Hasto menambahkan.

Sementara itu, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ferdinand Hutahaean menilai para pemohon uji materi tidak sepenuhnya salah. Alasannya, kata dia, semua sistem tentu punya kelemahan.

Karena itu, kata dia, solusinya adalah para penyelenggara pemilu harus bisa meminimalisir hal itu.

“Harusnya di aturan, kan, bisa dibatasi, misal syarat petugas KPPS harus di bawah 45 tahun dan sebagainya. Jangan hanya asal ada saja,” kata Ferdinand saat dikonfirmasi reporter Tirto. “Tetap KPU harus belajar,” kata dia menambahkan.

Sebaliknya, Direktur Kode Inisiatif Veri Junaidi menegaskan perwakilan partai politik di DPR dan pemerintah tak bisa melempar kesalahan hanya kepada pengaju atau pemohon uji materi agar pemilu dilaksanakan serentak.

Sebab, kata Veri, ketika sudah disepakati, maka skema pemilu serentak sebenarnya ditentukan pemerintah dan DPR. Aturan di UU Nomor 7 tahun 2017 sendiri juga menjadi salah satu yang menyebabkan petugas kelelahan. Misalnya, batas anggota KPPS 7 orang dan penghitungan di TPS harus selesai sebelum berganti hari.

“Siapa membuat [aturan] itu? Itu, kan, pemerintah dan DPR," kata Veri kepada reporter Tirto.

Veri menambahkan “tolong ini jadi bahan pengingat bagi pembuat UU untuk membuat sistem ke depan dengan memperhatikan detail aturannya.”

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz