Menuju konten utama

Salah Kelola BPJS, Dokter Sebut Harus Putar Akal Selamatkan Pasien

Saat masalah keuangan menimpa rumah sakit, pertama-tama dokter adalah orang yang dikorbankan.

Salah Kelola BPJS, Dokter Sebut Harus Putar Akal Selamatkan Pasien
Pelayanan di kantor BPJS Kesehatan. foto/Antaranews

tirto.id - Presidium Dokter Indonesia Bersatu (DIB), Agung Sapta Adi menilai penyelesaian masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terlalu fokus pada nominal uang berupa defisit dan suntikan anggaran padahal seharusnya turut mempertimbangkan nasib profesi dokter.

“BPJS sendiri malu-malu tidak mau mengakui ada kesulitan mengelola keuangan. Kalau anggaran terbatas pasti susah mengelola keuangan. Kami tidak bisa meyalahkan BPJS,” ucap Agung dalam paparan di Gedung Ombudsman RI di Jakarta, Kamis (12/9/2019).

“Dengan adanya keterbatasan ini kita perlu akal-akalan agar pasien bisa selamat,” tambah Agung.

Ia menjelaskan saat masalah keuangan menimpa rumah sakit, pertama-tama dokter adalah orang yang dikorbankan. Seperti dikurangi bahkan tidak dibayarkan gajinya.

Namun, ia sebenarnya tidak mempermasalahkan itu. Menurut dia masalah yang lebih mendasar adalah ketika gaji dokter sudah dikurangi, tetapi rumah sakit masih tetap kekurangan uang untuk menangani pasien.

Hal itu karena keterlambatan pembayaran tunggakan BPJS maupun biaya yang ditanggung BPJS tergolong kecil atau tidak sebanding dengan penyakit yang dihadapi.

Akibat kondisi ini, seringkali dokter harus akal-akalan atau fraud. Maksudnya, dokter diharuskan untuk memberi diagnosis tambahan dari seharusnya agar pasien tersebut dapat memperoleh lebih banyak ruang untuk tetap dibiayai oleh BPJS.

Keluhannya ini berkaitan dengan minimnya jumlah uang yang diberikan oleh BPJS Kesehatan saat seorang dokter harus menangani pasien. Akibatnya saat uang itu tidak cukup, dokter berada dalam posisi serba salah karena secara profesionalisme, ia terancam karena bertanggung jawab atas keselamatan pasien.

“Misal budget penyakit A cuma Rp500 ribu dari BPJS padahal itu harusnya perlu Rp1 juta. Kami diagnosis lebih agar punya budget untuk menutupi keperluan penyakitnya. Itu fraud-nya. Bukan dokter atau rumah sakit kalau itu pidana,” ucap Agung.

Agung menilai pemerintah seharusnya tidak membatasi JKN pada sisi anggaran saja. Hal ini menurutnya membuat BPJS Kesehatan menjalankan tata kelola seperti bandar yang tidak boleh rugi dan membebankan masalah pada rumah sakit.

Pada titik ini ia pun menyayangkan kalau komitmen politik pemerintah hanya sekadar ingin mempertahankan program JKN berjalan. Namun, urusan tata kelola menurutnya tak menjadi perhatian.

Pemerintah menurutnya terlampau sibuk memperhatikan neraca agar BPJS tidak defisit dan seolah-olah membuat semuanya baik-baik saja.

“Yang terjadi di BPJS itu akibat komitmen politik dan anggaran yang kurang serius melaksanakan ini,” ucap Agung.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Irwan Syambudi