Menuju konten utama

Salah Kaprah Jokowi Soal Kaitan Inflasi dan Harga Pangan

Jokowi menegaskan jika inflasi turun, maka harga bahan pokok otomatis turun. Benarkah demikian?

Salah Kaprah Jokowi Soal Kaitan Inflasi dan Harga Pangan
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berbincang dengan pedagang telur saat meninjau Pasar Anyar, Tangerang, Banten, Minggu (4/11/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengatakan akan memberikan perhatian terhadap harga kebutuhan pokok, khususnya beras dan mengupayakan harganya terus stabil. Sebab, harga beras sangat berpengaruh pada inflasi.

“Harga beras sangat berpengaruh sehingga harga beras yang terlebih dahulu yang saya lihat,” kata Jokowi, di Kampus STKIP PGRI Tulungagung, Jawa Timur, seperti dikutip Antara, Jumat, 4 Januari 2019.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu menyatakan terdapat rumus antara penurunan harga di pasaran dan inflasi. Jokowi menilai jika inflasi mengalami penurunan, maka sudah pasti harga juga turun.

“Ini patut kita syukuri. Orang harus ngerti bahwa yang namanya inflasi rendah atau turun itu artinya harga juga turun. Jangan diartikan yang lain. Itu sudah rumus,” kata Jokowi.

Anggapan itu muncul setelah Jokowi mengecek harga beras medium di pasar, di Jawa Timur yang stabil. Padahal, kata Jokowi, biasanya setiap Desember hingga Januari harga selalu naik cukup tinggi.

Presiden Jokowi pun membandingkannya dengan penurunan inflasi sebesar 3,61 persen pada 2017 menjadi 3,13 persen pada 2018. Data perbandingan inflasi 2017 dan 2018 yang disampaikan Jokowi ini sama dengan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 Januari lalu.

Namun demikian, Jokowi tampaknya salah kaprah terkait inflasi dan deflasi. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menjelaskan angka inflasi pada dasarnya mengukur kecenderungan kenaikan harga secara umum.

Sementara bila berbicara tentang penurunan harga, maka hal itu disebut sebagai deflasi yang efeknya sendiri belum tentu baik bagi perekonomian. Sebab, kata Piter, kenaikan harga sebenarnya baik bagi perekonomian.

Hanya saja, kata Piter, kenaikannya perlu dijaga agar berada di kisaran nilai yang cukup rendah dan stabil dari tahun ke tahun. Contoh baiknya, kata Piter, adalah pencapain nilai inflasi Indonesia selama 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK yang berada di kisaran 3 persen.

“Jadi kalau inflasi rendah, bukan berarti harga turun ya, tapi kenaikan harganya melambat atau kenaikannya kecil. Yang bagus itu kenaikan rendah, tapi terjaga tidak mengganggu daya beli [masyarakat],” kata Piter kepada reporter Tirto.

Menurut Piter, penting untuk dipahami bahwa angka itu diperoleh atas perhitungan harga secara keseluruhan. Baik harga yang mengalami kenaikan sehingga menyumbang inflasi, maupun penurunan yang menghambat inflasi.

“Jadi belum tentu semua [harga] turun. Dalam inflasi yang rendah ada saja harga yang turun dan naik,” kata Piter menambahkan.

Sementara itu, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah menampik bila harga mengalami penurunan seiring dengan penurunan angka inflasi dibandingkan tahun sebelumnya.

Rusli menuturkan, dari data yang ia himpun selama 2017-2018, bahan pokok seperti beras, telur ayam ras, dan daging ayam ras justru mengalami kenaikan pada 2018 dibanding tahun 2017. Hal ini, kata Rusli, justru terjadi saat inflasi 2018 turun dibandingkan 2017.

Lebih detailnya, Rusli mencatat, dari 2017 ke 2018 beras dengan kualitas bawah dan medium naik rata-rata Rp400-500/kg. Sementara daging ayam ras naik rata-rata Rp 2.700/kg, dan telur ayam ras naik rata-rata Rp 2.378/kg.

Mengenai kenaikan harga yang terjadi, Rusli berkata, hal itu bergantung pada tarik-menarik antara permintaan dan penawaran.

“Tergantung yang paling kuat di mana. Kalau demand-nya kuat, ya harga akan naik walaupun supply ada,” kata Rusli.

Akan tetapi berbeda halnya dengan penurunan angka inflasi. Menurut Rusli, penyebabnya adalah perlambatan permintaan di sektor konsumsi rumah tangga yang 46 persen pengeluaran nasionalnya disumbang oleh 20 persen orang terkaya di Indonesia.

Berdasarkan data BPS, kata Rusli, hal itu tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga 20 persen penduduk terkaya masih berada di bawah 5 persen dengan nila 4,38 persen pada tahun 2018. Padahal 40 persen penduduk ekonomi menengah dan bawah masing-masing konsumsinya bertumbuh 5,53 persen dan 6,14 persen pada 2018.

Karena itu, Rusli menilai, kondisi inilah yang menyebabkan seolah-olah inflasi terkendali. Padahal harga justru malah beranjak.

“Dia [20 persen orang terkaya] menguasai porsi paling banyak dalam konsumsi. Tapi pertumbuhan permintaanya melambat jadi otomatis inflasi ikut melambat,” kata Rusli.

Baca juga artikel terkait INFLASI 2018 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz