Menuju konten utama
Album Klasik Indonesia

Sakura (1980): Bukti Talenta Fariz RM Sebelum Jatuh Karena Narkoba

Album Sakura adalah bukti betapa cemerlangnya Fariz RM sebagai seorang musisi bertalenta.

Sakura (1980): Bukti Talenta Fariz RM Sebelum Jatuh Karena Narkoba
Ilustrasi Fariz RM. tirto.id/Sabit

tirto.id - Apa yang diingat publik akan sosok Fariz Rustam Munaf? Jawabannya bisa beragam. Namun, obat-obatan terlarang bisa jadi salah satunya. Dalam beberapa kurun waktu terakhir, sang maestro musik itu memang kerap berhadapan dengan proses hukum karena kebiasaannya mengonsumsi obat-obatan tersebut.

Namun, jika menjauh dari hal itu, percayalah: Fariz RM merupakan seorang musisi paling berbakat di eranya. Ini tampak dari jumlah karya yang ia hasilkan. Selama berkarier sebagai musisi, Fariz RM secara total telah merilis 21 album solo, 72 album kolaborasi, 18 album soundtrack, 27 album produksi, satu album kompilasi, dan 13 album internasional yang dirilis di Eropa dan wilayah Asia Pasifik.

Angka di atas, bagi musisi solo, tergolong bukan angka yang sembarangan. Bisa melepas album sebanyak itu, membutuhkan konsistensi yang luar biasa, di samping mentalitas berkarya yang tanpa tanding. Fariz RM setidaknya (berhasil) membuktikan kredo bahwa kreativitas musisi begitu luas tak terbatas.

Dari puluhan album yang ia buat, kehebatan Fariz RM dapat dilihat lewat album debutnya, Sakura (1980). Saat album ini dilepas ke publik, Fariz RM masih berumur 19 tahun, sebuah usia yang dianggap 'hijau' dalam belantika musik mana pun, termasuk Indonesia.

Umur boleh belia, tapi tidak dengan pengalamannya. Sebelum Sakura rilis, Fariz RM sudah lebih dulu menancapkan eksistensinya di jagat permusikan lokal. Di usianya yang ke-12, misalnya, ia bersama Debby dan Odink Nasution membentuk band bernama Young Gipsy yang banyak memainkan repertoar blues maupun rock.

Pada 1977, Fariz kembali membuat pencapaian. Ia meraih juara III dalam Lomba Cipta Lagu Populer Remaja Radio Prambors Jakarta. Prestasi ini ia peroleh bersama konco kenthel-nya di SMA Negeri 3 Jakarta yang kelak juga jadi musisi macam Raidy Noor, Erwin Gutawa, serta Ikang Fawzi.

Semasa kuliah di Fakultas Seni Rupa ITB, kiprah Fariz RM kian bersinar. Ambil contoh, ia didaulat menjadi additional player untuk posisi drummer di dua band gahar waktu itu: Giant Step dan The Rollies.

Memasuki akhir warsa 1970, Fariz bergabung dengan Badai Band yang beranggotakan Chrisye (bass), Yockie Suryoprayogo (keyboard), Ronny Harahap (keyboard), Berlian Hutahuruk (vokal), dan Oddink Nasution (gitar). Band yang diinisiasi oleh Sys NS dan Eross Djarot ini, pada nantinya, menghasilkan magnum opus musik pop Indonesia yang berjudul: Badai Pasti Berlalu.

Infografik Fariz rustam munaf

Infografik Fariz rustam munaf

Menuruti Visi

Setelah mengembara dari satu proyek ke proyek yang lain, Fariz RM akhirnya memutuskan untuk membikin karya yang sesuai dengan visi bermusiknya. Di bawah Akurama Records, album yang dinanti dan diinginkan pun tiba: Sakura.

Sebagaimana judulnya, album ini dibuka dengan tembang "Sakura." Selama hampir lima menit, Fariz RM tampil menggila. Ia menyajikan musik yang kompleks: Ketukan perkusi yang ritmis, solo synth yang terdengar unik di awal lagu, serta slapping bass yang menggigit.

Masing-masing elemen itu lantas bersatu padu, membungkus lirik-lirik romantis dalam lagu yang beberapa dekade kemudian dirayakan — sekaligus didaur ulang — oleh banyak penyanyi pop serta band-band di ajang pentas seni.

Lagu berikutnya adalah "Selangkah ke Seberang." Melalui lagu ini, Fariz RM seolah tak mengendorkan intensitas. Ia kembali membungkus lagu dengan aransemen yang mewah namun tetap bisa terdengar catchy. Terlebih saat ia memainkan solo kibor dan lantas bernyanyi, "Selangkah ke seberang/Arah citaku ini/Awal terungkap diri/Walau terselubung kelabu lembut menyatu."

Sementara di nomor "Semusim," Fariz RM ibarat laki-laki yang habis ditinggal mantan menikah. Diiringi hanya dengan piano, vokal Fariz RM menyiratkan kesedihan yang teramat: Hancur, bingung, dan mencoba membereskan kenangan yang berserakan.

Bagi saya, "Malam Kesembilan" layak didapuk sebagai favorit. Track terakhir dalam Sakura ini mengingatkan saya pada tembang-tembang Smokey Robinson, penyanyi-gitaris Motown, di album Love Breeze (1978) yang penuh suka cita.

Kritikus musik Denny Sakrie (almarhum), dalam tulisannya, mengatakan bahwa di Sakura, Fariz RM nyaris memainkan sendiri seluruh instrumen musik, dari perkusi, drum, bass, gitar, piano, mellotron, sampai synthesizers. Tak sekadar itu saja, ia juga menulis, mengaransemen, serta menyanyikan semua lagunya secara sendiri.

Yang dilakukan Fariz RM, masih mengutip tulisan Denny, sebetulnya bukan barang baru. Keenan Nasution dan Yockie Suryoprayogo, misalnya, pernah berbuat hal serupa pada album Jurang Pemisah (1977) dan Di Batas Angan-Angan (1978). Sementara bila berbicara musisi luar, ada Stevie Wonder serta Mike Oldfield yang mengambil pendekatan sejenis di era 1970-an.

Denny menyebut salah satu alasan mengapa Fariz RM melakukan teknik tersebut ialah karena teknologi MIDI (Music Interface Digital Instrument) saat itu belum dikenal. "Jadi, setiap alat musik yang dimainkan diisi satu per satu pada track yang tersedia. Setelah itu, baru dirangkum menjadi satu kesatuan seperti layaknya sebuah band yang utuh dan lengkap," demikian tulis Denny.

Akan tetapi, bagi saya, bukan poin ini yang membuat album Sakura menjadi album yang patut disimak dan menyabet status klasik. Namun, lebih karena Sakura sebagai momentum di mana Fariz RM bisa berkreasi sesuai visi bermusiknya sendiri. Ia seperti membuat album dengan begitu lepas, tak peduli intervensi pihak lain, serta semata mementingkan isi kepalanya. Walhasil, terciptalah album yang memuat lagu-lagu dengan kualitas di atas rata-rata.

Melalui Sakura, Fariz RM seperti menjadikan pop sebagai dimensi yang lentur. Ia dapat dieksplorasi sesuka hati, tak sekadar mengikuti arus yang sedang mengalir deras. Pop, dalam perspektif Fariz RM di Sakura, adalah pop yang punya beragam warna. Ada yang terpengaruh gagrak bossa, ada pula yang terinspirasi melodi musik-musik city pop ala Jepang.

Di album Sakura, Fariz RM bukanlah Fariz RM yang mengenalkan musik Indonesia akan MIDI pada awal 2000-an. Bukan juga musisi yang menjadikan keytar (keyboard guitar) dikenal banyak orang. Di album ini, Fariz RM adalah Fariz RM yang benar-benar membikin album untuk memuaskan hasrat serta kreativitas yang tengah melimpah ruah. Sebelum akhirnya narkoba membuatnya perlahan redup di antara senjakala usia.

Baca juga artikel terkait MUSISI POP atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara