Menuju konten utama

Saksi Setya Novanto Uraikan Status Penyelidik & Penyidik KPK

Romli Atmasasmita membeberkan status penyelidik dan penyidik KPK yang dalam dalil permohonan praperadilan Setya Novanto dipermasalahkan karena dianggap berstatus ganda.

Saksi Setya Novanto Uraikan Status Penyelidik & Penyidik KPK
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (25/9/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Ahli hukum pidana Romli Atmasasmita menguraikan status penyelidik dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada sidang praperadilan Ketua DPR Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/9/2017).

"Bahwa yang namanya pro justisia baik penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta sidang di pengadilan tidak bisa diintervensi siapa pun. Saya ingin tegaskan dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK punya hak dan kewenangan untuk mengatur sendiri, tentu ada payung hukumnya," kata Romli, saat memberikan pendapatnya pada sidang praperadilan Setya Novanto itu.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon dalam hal ini Setya Novanto.

Sebelumnya, dalam dalil permohonan praperadilan yang diajukan Setya Novanto, salah satu yang dipermasalahkan adalah status ganda penyelidik atau penyidik di KPK.

Menurut Romli, tidak ada larangan bagi KPK untuk mengambil tenaga penyelidik atau penyidik dari luar KPK.

"Ketika sulit peroleh SDM yang baik, KPK silakan angkat sendiri. Sunahnya di luar Polri dan Kejaksaan. Wajibnya dari Polri dan Kejaksaan. Penyidik-penyidik dari dua itu yang memang punya kualifikasi," katanya, seperti dikutip Antara.

Ia pun menyatakan tidak ada larangan bagi KPK untuk mengangkat penyidik dari Polri maupun Kejaksaan, namun harus mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Tidak ada larangan KPK mengangkat dan mengatur, tetapi harus mengacu ASN. Karena ada dua pegawai yang dikenal negara, yakni PNS dan pegawai dipekerjakan. Kalau memang mau mengangkat harus diberhentikan sementara dan harus ada izin dari atasannya, jadi tidak ada masalahnya," kata Romli lagi.

Adapun ahli-ahli yang dihadirkan dalam sidang praperadilan Setya Novanto antara lain ahli hukum pidana Romli Atmasasmita, ahli hukum acara pidana Chairul Huda, dan ahli administrasi negara I Gede Pantja Astawa.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP Elektronik) tahun 2011-2012 di Kemendagri pada 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya, sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP elektronik pada Kemendagri.

Setya Novanto disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra