Menuju konten utama

Sajen: Niatnya Baik Melawan Bullying, tapi Cuma Niat

Lagi-lagi formula klasik film horor lokal: jumpscare, jumpscare, jumpscare.

Sajen: Niatnya Baik Melawan Bullying, tapi Cuma Niat
Adegan dalam film Sajen. FOTO/Starvision

tirto.id - Dalam beberapa minggu terakhir, rubrik Misbar di media kesayangan Anda ini rutin membahas film horor Indonesia terkini. Mulai dari Kembang Kantil sampai The Secret: Suster Ngesot. Secara garis besar, kedua film itu punya banyak kesamaan: masih mengandalkan jumpscare, karakter-karakter tak berguna, dan penceritaan yang kelewat buruk.

Baru-baru ini, di tengah gempuran The Avengers: Infinity War yang hampir menguasai slot layar di seluruh Jakarta, film horor lokal kembali muncul. Judulnya Sajen.

Sajen berkisah mengenai arwah gentayangan yang menuntut balas dendam. Latar ceritanya di sebuah SMA bernama Pelita Bangsa. Sekolah ini jauh dari sekolah ecek-ecek, setidaknya dari segi fisik. Gedungnya luas, bertingkat, dan nampak mewah. Saat pertama melihat, saya kira sekolah ini bangunan kampus di Singapura. Tapi, nyatanya tidak.

Murid-murid Pelita Bangsa juga bukan dari golongan biasa. Kebanyakan dari mereka merupakan anak keluarga tajir yang orangtuanya minimal punya jabatan penting di pemerintahan atau pengusaha taipan yang saban akhir pekan plesir ke luar negeri. Maka tak heran apabila anak-anak itu setiap berangkat ke sekolah naik Mercedes Benz keluaran terbaru.

Tokoh utama dalam Sajen adalah Alanda (Amanda Manopo) yang digambarkan sebagai murid perempuan pintar, supel, serta disukai banyak teman. Ia duduk di kelas 3 dan sedang mengejar kesempatan untuk memperoleh beasiswa di luar negeri.

Di luar rutinitasnya yang kelihatan asyik dan keren (dan tentu saja membuat masa SMA saya tidak ada apa-apanya), Alanda rupanya menyimpan misi besar. Ia ingin menghapus segala bentuk perundungan (bullying) yang dilakukan gerombolan pimpinan Bianca (Steffi Zamora) serta Davi (Jeff Smith) di Pelita Bangsa. Jika teman-teman lain terkesan takut dan pasrah atas apa yang mereka alami, tidak demikian dengan Alanda.

Alanda hanya punya satu kata: lawan.

Tapi, upayanya memberantas bullying kandas di tengah jalan. Musibah datang menghampirinya secara berurutan. Ia dijebak Bianca dan konco-konconya, dipaksa mabuk, dan diperkosa oleh Davi yang biadab. Tak berhenti sampai situ saja, video yang memperlihatkan Alanda dalam keadaan mabuk menyebar luas. Pihak sekolah yang mengetahui hal itu lantas mencabut dan menghapus nama Alanda dari calon penerima beasiswa.

Menghadapi kenyataan yang pahit itu, Alanda depresi dan akhirnya bunuh diri dengan menyilet urat nadinya di lift sekolah. Dari situ, Alanda berubah jadi arwah gentayangan dan mulai melancarkan teror kepada mereka yang sudah membuat hidupnya berantakan. Konflik Sajen pun turut bergulir.

Sebetulnya, narasi yang diangkat Sajen menarik dan dekat dengan realitas. Sajen menyajikan pemandangan yang jamak ditemui di lingkungan sekolah hari ini ketika sekelompok orang yang merasa superior mencoba menghancurkan mereka yang lemah dengan menyerang fisik dan mental.

Tapi, isu sosial yang seharusnya bisa lebih dalam dieksplorasi itu akhirnya cuma jadi tempelan semata akibat jeleknya eksekusi film ini. Sajen mengulangi kekacauan Kembang Kantil dan Suster Ngesot: logika film yang amburadul, anakronisme, dan kecanduan jumpscare.

Kekonyolan Sajen sudah muncul sejak awal tatkala Alanda menjalankan misinya untuk menghentikan bullying. Cara yang ia tempuh adalah diam-diam merekam segala perundungan yang dilakukan Bianca. Namun, di tengah kehidupan yang serba modern dan zaman saat media sosial jadi elemen penting kehidupan, Alanda justru menggunakan handycam untuk merekam semua aksi jahat tersebut.

Pemilihan handycam sebagai alat perlawanan terhadap bullying tentu menggelikan, jika bukan menyedihkan. Terlepas dari faktor kenangan yang dibawa Alanda (handycam-nya adalah saksi kebersamaan bersama almarhum ayahnya), tidakkah lebih efektif apabila ia merekam perundungan itu lewat telepon pintar lalu mengunggahnya ke media sosial?

Hellooo, setting film ini tahun 2018 'kan?

Ihwal bullying ini, pihak sekolah juga nampak bebal dan terkesan tidak peka dengan situasi di sekitarnya. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa sekolah yang katanya menyandang status elit dengan murid-murid dengan kualitas di atas rata-rata tak mengetahui kenyataan bahwa mereka punya masalah kronis berupa perundungan?

Kepala sekolah (Minati Atmanegara) memilih diam seolah tak sedang terjadi apa-apa. Padahal, tercatat ada enam murid meninggal dunia. Empat di antaranya, termasuk Alanda, bahkan dikisahkan bunuh diri akibat depresi karena dirisak teman-teman sepergaulannya.

Namun, agaknya masalah itu memang tak terlintas di pikiran mereka. Bagi para petinggi Pelita Bangsa yang terpenting adalah mempersiapkan diri untuk menyambut ujian kelulusan. Terlebih tahun ini adalah momentum Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dengan adanya HOTS—High Learning Order Thinking Skill—yang bikin pening kepala.

infografik sajen

Sederet karakter dalam Sajen juga tak jelas fungsinya. Riza (Angga Yunanda), sahabat sekaligus pesaing Alanda dalam memperebutkan beasiswa tak punya kontribusi apa-apa selain datang ke perpus, menangis, dan selalu meminta semuanya untuk ikhlas. Garisbawahi: Ikhlas.

Keyra (Chantiq Schagerl), sahabat Alanda lainnya, juga sami mawon. Kerjaannya hanya mondar-mandir menghampiri Alanda, menanyakan kabarnya, dan begitu seterusnya. Keyra malah sama sekali tak menangis saat menyaksikan sahabatnya itu dikubur akibat bunuh diri.

Yang lebih konyol lagi, kedua karakter di atas yang disebut-sebut sebagai sahabat Alanda juga diam saja ketika melihat Alanda dan teman-teman lainnya di-bully oleh geng Bianca.

Saya lalu jadi bertanya-tanya, mereka ini sebetulnya berteman dekat, baru kenal kemarin sore, atau sekadar teman Tinder?

Sang sutradara, Hanny R. Saputra, mengatakan bahwa Sajen berangkat dari fenomena perundungan di Indonesia. Niat yang sangat mulia itu rupanya hanya berakhir sebagai ... niat.

Bullying memang isu sosial yang umum dijumpai di sekolah-sekolah. Dengan memilih genre horor dengan plot karakter utama di-bully, bunuh diri, jadi hantu, lalu gentayangan dan balas dendam, Sajen malah mengusung pesan fatalis: "Nggak apa-apa di-bully, enggak bisa balas di dunia nyata, toh nanti saya bisa balas dendam sebagai roh penasaran." Apa jadinya jika semua kekerasan dituturkan dengan cara serupa? Petani yang dirampas tanahnya hanya perlu ikhlas, toh nanti setelah mati jadi hantu dan balas dendam ke si perampas tanah. Aktivis-aktivis yang tewas dibunuh aparat zaman Orba direlakan saja, toh nanti mereka akan menghantui para jagal.

Menggelikan bukan?

Demikian, Sajen menawarkan dunia roh sebagai candu masyarakat.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Film
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf