Menuju konten utama

Saipul Jamil Pelaku Kekerasan Seksual Anak, Tak Perlu Diglorifikasi

Saipul Jamil terbukti bersalah dalam kasus pencabulan anak, tapi mengapa ia justru disambut bak pahlawan saat bebas dari penjara?

Saipul Jamil Pelaku Kekerasan Seksual Anak, Tak Perlu Diglorifikasi
Saipul Jamil saat bebas dari Lapas Kelas 1 Cipinang, Jakarta, Kamis (2/9/2021). ANTARA/Yogi Rachman

tirto.id - 14 Juni 2016, Majelis Hakim Pengadilan Negara Jakarta Utara memvonis pedangdut Saipul Jamil 3 tahun penjara atas kasus pencabulan. Ia dianggap melanggar Pasal 292 KUHP. Di tingkat banding, hukuman dia bertambah menjadi 5 tahun kurungan.

Saipul Jamil pun masih mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung karena tak puas dengan vonis itu. Namun, hakim menolak Peninjauan Kembali tersebut.

Tak hanya kasus pencabulan, pada 21 Desember 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Saipul Jamil sebagai tersangka kasus dugaan pemberian suap kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi.

Dalam perkara suap, Saipul disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Saipul Jamil disangkakan bersama dengan Samsul, Bertha dan Kasman memberikan uang Rp300 juta kepada Rohadi agar si panitera menjadi penghubung dan memberikan akses dengan majelis hakim yang mengadili perkara Saipul; sekaligus meminta agar Rohadi mengusahakan vonis yang lebih ringan terhadap Saipul.

Per 2 September 2021, setelah mendapatkan remisi 30 bulan dalam perkara yang membelitnya, Saipul Jamil tak lagi menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Kebebasan mantan suami Dewi Perssik ini menjadi ‘makanan empuk’ bagi media infotainmen. Saipul, yang pagi itu mengalungi karangan bunga, menaiki mobil merah berkap terbuka.

Sembari tersenyum dan mengangkat tangan, wartawan mengerubunginya dan mulai melontarkan pertanyaan. “Perasaannya bahagia banget. Terus terang, ini nyawa belum kumpul,” kata Saipul Jamil di parkiran Lapas Cipinang.

Saipul pun diundang menjadi bintang tamu di program ‘Kopi Viral’ yang tayang di stasiun Trans TV. Kemunculan Saipul di layar kaca dikecam publik. Bahkan muncul petisi ‘Boikot Saipul Jamil Mantan Narapidana Pedofilia, Tampil di Televisi Nasional dan Youtube’.

“Jangan biarkan mantan narapidana pencabulan anak usia dini (pedofilia) masih berlalu-lalang dengan bahagia di dunia hiburan, sementara korbannya masih terus merasakan trauma,” begitu petikan di petisi tersebut.

Belakangan, Trans TV melalui akun instagram resminya memberikan klarifikasi dan meminta maaf telah mengundang Saipul Jamil ke program Kopi Viral yang tayang pada 3 September 2021.

"Kami mohon maaf atas tayangan tersebut. Hal ini menjadi perhatian khusus dan telah melakukan evaluasi menyeluruh untuk menjadi pembelajaran dan perbaikan ke depannya," demikian keterangan mereka.

Jangan Glorifikasi Pembebasan Saipul Jamil

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mulyo Hadi Purnomo menyatakan, pihaknya meminta seluruh lembaga penyiaran televisi untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi pembebasan Saipul Jamil dalam isi siaran. Permintaan ini merespons sentimen negatif publik terkait pembebasan dan keterlibatan yang bersangkutan di beberapa program acara televisi.

“Kami berharap seluruh lembaga penyiaran memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik terhadap kasus yang telah menimpa yang bersangkutan dan sekaligus tidak membuka kembali trauma yang dialami korban,” ujar Mulyo, yang juga merangkap sebagai anggota Bidang Pengawasan Isi Siaran kepada reporter Tirto, Senin (6/9/2021).

KPI juga meminta lembaga penyiaran untuk lebih berhati-hati dalam menayangkan muatan-muatan perbuatan melawan hukum atau yang bertentangan dengan adab dan norma seperti yang dilakukan artis atau publik figur.

Lembaga penyiaran diharapkan lebih mengedepankan atau mengorientasikan unsur edukasi dari informasi yang disampaikan agar hal serupa tidak terulang, serta sanksi hukum yang telah dijalani Saipul Jamil tidak dipersepsikan masyarakat sebagai risiko biasa.

Hak individu memang tidak boleh dibatasi, namun hak publik dan rasa nyaman juga harus diperhatikan karena frekuensi milik publik dan harus dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan termasuk kenyamanan masyarakat, kata Mulyo.

“Mengedepankan hak individu, tapi melukai hak masyarakat tentu tidak patut dilakukan,” terang Mulyo.

Beberapa peristiwa yang sering berulang dalam beberapa kasus serupa, kata Mulyo, momentum revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Tahun 2012 yang sedang dilakukan KPI akan menjadi bahan pertimbangan dan masukan tentang pengaturan secara eksplisit tentang hal ini dalam revisi aturan tersebut. Per 5 September 2021, pukul 23, KPI menemukan 15.439 sentimen negatif perihal penayangan Saipul, sementara sentimen positif hanya 147.

"Maka KPI menyampaikan surat kepada seluruh lembaga penyiaran terkait hal ini. Sambil memantau apakah ada pernyataan yang muncul dari seorang artis untuk tidak takut diboikot,” ucap Mulyo.

Meluhurkan Pencabul Anak, Kemunduran bagi Korban

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti prihatin dengan glorifikasi Saipul Jamil. Apalagi Saipul terbukti melakukan perbuatan tercela kepada anak.

“Saya khawatir, para penonton televisi memaklumi penyebab Saipul Jamil masuk penjara. Pelaku bisa merasa tidak bersalah atas perbuatannya. Menganggap kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal, ini sangat berbahaya,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.

Anak yang jadi korban ataupun korban-korban kekerasan seksual lainnya menjadi makin takut terbuka atau memilih bungkam atas apa yang dialaminya. Psikologis korban menjadi terpukul kembali dan bisa jadi sulit pulih ketika pelaku malah disambut seperti pahlawan. KPAI dan publik harus berpihak pada korban kekerasan seksual dan membantunya untuk pulih.

“Saya mengimbau masyarakat untuk tidak menonton Saipul Jamil ketika tayang di televisi maupun Youtube. Karena ketika menonton sama artinya kita menoleransikan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pelaku juga tidak punya rasa malu, bahkan mungkin tak punya rasa bersalah,” sambung Retno.

Psikolog Klinis dari Yayasan Pulih Gisella Tani Pratiwi menuturkan ketika pelaku kekerasan seksual, baik terhadap anak/remaja atau orang dewasa, keluar dari tahanan, maka seharusnya ada pendampingan psikologis kepada korban untuk mempersiapkan diri menghadapi kenyataan bahwa pelaku sudah tidak lagi ditahan.

Bahkan jika memungkinkan, sebaiknya ada putusan hukum untuk melindungi korban setelah pelaku keluar. “Kalaupun dari sistem pengadilan tidak ada jaminan seperti ini, korban mungkin bisa mengajukan kepada lembaga perlindungan korban,” ucap dia kepada reporter Tirto, Senin (6/9/2021).

Selain itu, kata dia, sebenarnya harus diperhatikan mekanisme yang menjamin pelaku menjalani program perubahan perilaku, tidak termasuk di dalamnya pembenahan cara pandang agar tidak lagi mengulangi perbuatannya; serta tak hanya fokus pada penghukuman pengurungan badan.

Berdasar pengalaman Gisella mendampingi pemulihan penyintas kasus kekerasan seksual dan tinjauan penelitian, biasanya dampak psikologis dari perlakuan kekerasan seksual tidak dengan mudah pulih dalam waktu singkat. Butuh proses yang panjang dan mencakup banyak aspek.

Jika pola respons trauma atau dampak psikologis secara umum masih dialami korban dan belum bisa dikelola dengan baik atau bahkan sudah berkembang menjadi pola respons trauma yang kompleks, maka ketika ada info pembebasan pelaku dan tayang di media, menghadirkan banyak penghayatan pada korban yang kemungkinannya beragam pada masing-masing individu.

Misalnya, korban merasa takut, cemas, merasa tidak adil, tidak aman, mempertanyakan harga dirinya, mengganggu fungsi kesehariannya, mempertanyakan persepsinya selama ini tentang perilaku pelaku.

“Sikap mempertanyakan ini terutama ketika pelaku tampil seakan tanpa beban dan bahkan dielu-elukan, sehingga mungkin korban menangkap sikap banyak orang yang seakan tidak berempati pada kondisi dirinya. Selain itu, ada kesan bahwa perilaku kekerasan seksual adalah perilaku biasa saja,” terang Gisella.

Pada korban yang mungkin sudah mulai bisa mengelola dampak dalam dirinya, ada kemungkinan kembali ‘mundur’ atas kondisinya. Korban yang menyaksikan pelaku di media mungkin juga mengalami kilas balik peristiwa bila dampak psikologis sudah berkembang ke arah gangguan klinis.

“Kilas balik ke kejadian ini terpicu dari hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa dan menimbulkan respons trauma psikologis dan biologis yang mendalam dan cenderung kompleks. Hal ini akan sangat mengganggu korban terutama jika belum mendapatkan pemulihan yang tepat,” kata dia.

Kebebasan Saipul ini tentu kabar baik bagi penggemarnya. Gisella melanjutkan, jika perasaan mengagumi sangat dalam dan bahkan dijadikan sumber pemenuhan kebutuhan diri yang mendasar, maka bisa saja sulit melihat kenyataan bahwa artis yang dikagumi juga manusia biasa yang bisa memiliki sisi kelemahan.

Para penggemar menutup mata atas kelemahan idolanya, seolah agar bisa tetap memiliki pegangan hidup yakni keteladanan atau hal-hal baik yang dilihat dari si idola.

Ogah Kerja Sama

Pemilik rumah produksi Visinema Pictures sekaligus sutradara, Angga Dwimas Sasongko, menolak dua film garapannya, Keluarga Cemara 2 dan Nussa, tayang di stasiun televisi yang menampilkan Saipul Jamil.

"Kami tidak berkenan berbagi platform yang sama dengan predator anak," ujar dia.

Angga menyetop semua pembicaraan kesepakatan distribusi dua film itu setelah stasiun televisi tersebut mengglorifikasi vonis bebas Saipul Jamil dan turut menampilkan sosoknya di hadapan publik.

"Biarlah kesepakatannya batal. Yang penting karya kami yang ramah anak, diinspirasi dari anak-anak, tidak hadir di televisi yang tidak menghargai anak-anak.”

Baca juga artikel terkait KASUS SAIPUL JAMIL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz