Menuju konten utama

Saif al-Islam, Putra Muammar Khadafi yang Dulu Disukai Barat

Jika rezim Muammar Khadafi tak tumbang saat revolusi Libya pada tahun 2011, Saif al-Islam Khadafi yang dekat dengan negara Barat itu diprediksi menjadi pengganti ayahnya.

Saif al-Islam, Putra Muammar Khadafi yang Dulu Disukai Barat
Saif al-Islam Gaddafi. Reuters/Sergei Karpukhin.

tirto.id - Enam tahun lalu, tepatnya pada tanggal 27 Juni 2011, International Criminal Court (ICC) yang bermarkas di Den Haag, Belanda, mengeluarkan perintah untuk menangkap Muammar Khadafi atas tuduhan melakukan kejahatan kemanusiaan dalam menekan pemberontakan orang-orang Libya.

Anak keduanya yang bernama Saif al-Islam Khadafi juga masuk dalam daftar orang yang harus ditangkap, selain paman Saif yakni Abdullah Senussi yang saat itu menjabat sebagai kepala intelijen Libya. Ketiganya dituduh dengan soal yang sama.

Jaksa ICC, Luis Moreno Ocampo mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengumpulkan bukti langsung menyangkut perintah-perintah Khadafi, peran Saif al Islam dalam merekrut tentara sewaan, serta keterlibatan Abdullah Senussi dalam serangan yang dilakukan pasukan pemerintah terhadap para pengunjuk rasa pada 15 Februari hingga 28 Februari 2011.

Pada Agustus 2011, Saif al-Islam bersama saudaranya Saadi Khadafi dilaporkan ditahan oleh milisi Zintan, sedangkan sang ayah tewas setelah diberondong peluru ke kepalanya pada Oktober 2011. Mutassim, salah satu anak Muammar Khadafi juga dinyatakan tewas dalam penembakan di Sirte, Libya.

Setelah tumbangnya Khadafi, ICC meminta milisi Zintan untuk menyerahkan Saif al-Islam untuk diadili di ICC. Namun milisi Zintan menolak untuk menyerahkan Saif al-Islam dengan alasan “keamanan” dan memilih untuk mengadili Saif al-Islam di Zintan.

Menurut penguasa di Zintan, negaranya bukanlah negara pihak pada Statuta Roma atau yang membentuk ICC, sehingga secara hukum internasional kasus di Libya tak termasuk dalam yurisdiksi ICC. Pihak ICC sendiri merasa berkewajiban untuk mengadili Saif al-Islam karena Dewan Keamanan PBB pada Februari 2011 menyerahkan kasus Libya ke ICC.

Dewan Kemanan PBB juga mengesahkan resolusi yang mengizinkan semua negara anggota PBB untuk menggunakan langkah apapun yang diperlukan untuk melindungi warga sipil Libya dari kekerasan pemerintah yakni Muammar Khadafi.

Drama perebutan kekuasaan untuk mengadili Saif al-Islam antara yang berkuasa di Zintan dan ICC terus berlangsung.

Pada 2014, sebuah video menyebar di dunia maya yang menunjukkan Saif al-Islam di sebuah ruangan sidang di kota Zintan. Meski sudah diadili oleh pemerintah Libya, ICC tetap pada keputusannya untuk mengadili Saif di Den Haag, Belanda.

Akhirnya, pada beberapa hari lalu, Saif yang ditahan di Zintan itu dibebaskan. Brigade Abu Bakr al-Sidiq yang menguasai kota di Libya barat itu mengungkapkan bahwa Saif al-Islam dibebaskan di bawah amnesti yang diberikan parlemen penguasa Libya, terkait Ramadan. Sejauh ini belum ada komentar ICC terkait pembebasan Saif al-Islam.

Saif al-Islam Sang Pangeran Libya

Saat seluruh dunia mengintimidasi ayahnya Muammar Khadafi sebagai seorang pemimpin diktator, Saif al-Islam berdiri di garis depan membela sang ayah. Menurut Saif al-Islam, ayahnya adalah seorang visioner dan bukan “presiden atau raja” di Libya.

Di sisi lain, ia melakukan tindakan yang sedikit berbeda dari ayahnya. Dalam kepemimpinan ayahnya terjadi penahanan hingga pembunuhan bagi para pembangkang, menurut catatan para pengamat, Saif al-Islam mengupayakan pembebasan bagi para tahanan. Pada 2004, tercatat ratusan tahanan politik ia bebaskan. Ia juga mengizinkan delegasi dari Amnesty Internasional untuk mengunjungi penjara Libya untuk pertama kalinya.

Profesinya sebagai presiden dari salah satu lembaga amal juga membuatnya memiliki banyak relasi di luar Libya. Ia sering menjadi perwakilan Libya di kancah internasional. Beberapa media Timur Tengah memprediksi bahwa ia akan menjadi pengganti ayahnya untuk memimpin Libya. Saif al-Islam bahkan dipanggil “Pangeran Libya.” Ia memiliki relasi yang baik dengan pemimpin Eropa dan disebut memiliki hubungan yang dekat dengan politisi dan aristokrasi Inggris.

Selain Inggris, Presiden Perancis yang saat itu dijabat oleh Jacques Chirac menganggap Saif al-Islam sebagai pewaris kepemimpinan Libya dari ayahnya. Ia mengungkapkan hal tersebut saat menjamu Saif al-Islam di Paris, meski Saif al-Islam selalu menampik jika dirinya adalah pengganti ayahnya dan mengatakan ia tak mampu menggantikan ayahnya memimpin Libya.

Saif juga menjauhkan dirinya dari citra sang ayah dan membawa angin segar soal demokrasi ke Libya. Menurutnya, demokrasi salah satu sistem yang bagus. Baginya, suatu saat penduduk Libya dapat memilih secara langsung pemimpinnya.

Namun yang perlu digarisbawahi menurut Saif adalah bukan soal kebebasan untuk melakukan pemungutan suaranya. Baginya yang paling penting adalah bagaimana caranya agar semua masyarakat Libya dapat terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan seperti memilih pemimpin. Terkadang implementasi dari sebuah demokrasi seperti melakukan pemungutan suara sering dirusak oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan.

Pemikirannya yang lebih moderat dan ungkapannya soal demokrasi menarik perhatian negara-negara Barat. Presiden Amerika Serikat yang saat itu dijabat oleh George W. Bush bahkan kembali membuka kedutaan besarnya di Tripoli, menandai kembalinya hubungan diplomatik kedua negara yang sempat terputus akibat tindakan ayahnya yang dibenci Barat. Tony Blair juga melakukan kunjungan diplomatik ke Libya.

Putra diktator Libya itu menjadi headline media internasional saat yayasannya menjadi mediator antara Abu Sayyaf dengan pemerintah Manila pada tahun 2000. Abu Sayyaf saat itu juga sedang menahan beberapa sandera dari beberapa negara. Perancis salah satu negara yang ikut berterima kasih kepada Libya karena saat itu salah satu warganya ikut disandera Abu Sayyaf yang kemudian dibebaskan berkat bantuan yayasan Saif al-Islam.

infografik Saif al-islam Gaddafi

Citra Baik Saif al-Islam Hancur karena “Badut”

Pada 2007, terungkap bahwa Saif al-Islam berada di balik pemilihan presiden Perancis. Ia membantu membiayai kampanye Nicolas Sarkozy. Rahasia ini diungkapkan sendiri oleh Saif al-Islam. Ia membuka rahasia itu lantaran Sarkozy diketahui membantu para pemberontak di Libya.

Pihak Libya mengancam akan mengungkapkan semua rahasia yang akan menjatuhkan Sarkozy. Saif bahkan memanggil Sarkozy dengan sebutan “badut.”

“Sarkozy harus terlebih dahulu mengembalikan uang yang ia ambil dari Libya untuk membiayai kampanyenya. Kami mendanainya. Kami memiliki semua bukti rincian dan siap untuk mengungkapkan segalanya. Hal pertama yang kita inginkan dari badut ini adalah mengembalikan uangnya kepada orang-orang Libya....” ujar Saif, seperti dikutip The Guardian.

Meski Saif gencar berbicara soal hak asasi manusia serta menyerukan akan membawa Libya pada demokrasi dan citranya yang erat dengan Barat tetapi tetap saja ia adalah anak dari penguasa Libya yang dikenal dunia sebagai seorang diktator. Ia tentu tak ingin adanya pemberontakan dalam kepemimpinan ayahnya sehingga ia sangat marah ketika mengetahui Sarkozy yang ia dukung malah membantu para pemberontak rezim ayahnya.

Pemberontakan dan unjuk rasa terhadap rezim ayahnya bagaimana pun akan mengusik Saif al-Islam. Tak ada cara lain untuk meredakan pemberontakan yang kian memanas di Libya. Pada akhirnya, ia diketahui terlibat dalam aksi pembungkaman para pengunjuk rasa serta para pemberontak bersama dengan ayah dan pamannya untuk menjaga rezim ayahnya. Ujungnya, muncullah surat penangkapan dari ICC terhadap dirinya, termasuk ayahnya Muammar Khadafi dan pamannya Abdullah Senussi.

Ia harus ditahan selama bertahun-tahun sampai akhirnya menghirup udara bebas beberapa hari lalu. Dunia akan menyaksikan bagaimana perjalanan politik Sang Pangeran Libya.

Baca juga artikel terkait LIBYA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Humaniora
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani