Menuju konten utama
Kronik Ramadan

Said Nursi: Ulama Sufi yang Melawan Sekulerisme Turki

Said Nursi adalah ulama sufi dari Turki yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam menafsirkan Alquran. Ia melakukan itu untuk melawan sekulerisme Turki yang berbasis pada modernitas.

Said Nursi (1877-1960), ulama Turki yang menentang sekulerisme ala Mustafa Kemal Pasha. tirto/Sabit

tirto.id - Bediuzzaman Said Nursi lahir di desa Nurs, provinsi Bitlis, sebelah timur Turki pada 1877. Ia berdarah asli Kurdi. Kedua orang tuanya pemeluk Islam yang taat dan menjalani gaya hidup yang saleh dan bersahaja. Said Nursi memulai pendidikannya di rumah dan mempelajari dasar-dasar keislaman dari ibunya yang menginspirasinya untuk menekuni persoalan-persoalan keislaman.

Menurut Muhammad Mojlum Khan dalam 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah (2008), sejak kecil, Said Nursi tertarik kepada sufisme dan ajaran-ajaran pendiri tarekat Qadiriyyah yang berpengaruh, Abdul Qadir al-Jilani. Hubungan spiritual dan kasih sayangnya terhadap Syeikh al-Jilani terus menumbuh dari hari ke hari. Dia mengklaim telah “dibimbing” oleh syekh sufi yang mulia ini, tatkala melakoni masa-masa paling bergolak dalam kehidupannya (hlm. 797).

Abdullah, abang Said Nursi, kemudian memotivasinya untuk memasuki sekolah di desanya ketika Nursi berusia 9. Diberkati ingatan kuat dan otak yang tajam, dia berhasil menghafal Alquran tanpa harus bersusah-payah. Setelah meraih gelar diploma dalam ilmu-ilmu keislaman pada usia 14, Said Nursi mempertimbangkan untuk meninggalkan pendidikan formal. Setelah itu, dia mengaku bermimpi bertemu Nabi Muhammad, yang mendorongnya untuk kembali melanjutkan studi.

Said Nursi menguasai ilmu-ilmu keislaman tradisional di bawah bimbingan para ulama terkemuka, seperti Syekh Mehmed Celali dan Syekh Mehmed Emin Efendi. Setelah lulus sebagai sarjana Islam, Said Nursi pindah ke dekat Siirt. Di sanalah seorang ulama terkemuka bernama Syekh Fetullah Efendi menjulukinya 'Bediuzzaman' (keajaiban zaman), karena keluasan ilmu dan pengetahuannya. Ketika popularitasnya menyebar ke penjuru Siirt, para ulama lokal dikabarkan menjadi sangat iri kepada Said Nursi (hlm. 797-798).

Setelah menguasai ilmu-ilmu keislaman tradisional, Said Nursi mengejar pendidikan lanjutan dalam bidang filsafat, mistisisme, sejarah, matematika, dan fisika. Pendekatan terhadap ilmu pengetahuan modern membuka cakrawala intelektualnya atas bahaya pemikiran sekuler Barat.

Hal ihwal itu mendorong Said Nursi untuk tidak hanya menentang pembagian sistem pendidikan Turki, tetapi juga mengimbau para pemimpin politik dan religius Turki untuk mereformasi kurikulum pendidikan agama. Dengan begitu, sebuah generasi ulama baru dapat dididik untuk menghadapi pelbagai tantangan yang dimunculkan oleh filsafat dan ideologi Barat—sistem berpikir yang, menurut Said Nursi, tidak mengenal Tuhan (hlm. 799).

Selama periode ini, dia aktif terlibat dalam urusan sosial-politik Kekhalifahan Turki Usmani. Sukran Vahide meneroka dengan cerkas-puitis dalam Islam in Modern Turkey: An Intellectual Biography of Bediuzzaman Said Nursi (2005) bahwa Said Nursi ikut serta dalam perang melawan Rusia di garis depan Kaukasia. Tertangkap oleh pasukan Rusia, Said Nursi menghabiskan waktu selama dua tahun sebagai tawanan perang di Rusia. Pada 1918, Said Nursi berhasil meloloskan diri dan kembali ke Istanbul lewat Wina. Di pinggiran kota Istanbul, dia berziarah ke makam Abu Ayub al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah (hlm. 113).

Pengasingan spiritual di dekat makam Abu Ayub mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan. Said Nursi kemudian melakukan sebuah studi mendetail atas Alquran, Futuh al-Ghaib (Menyingkap Alam Gaib) karya Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan Maktubat (Surat-surat) karangan Imam Rabbani Syekh Ahmad Sirhindi. Sesudah itu, Alquran menjadi sumber utama bimbingan dan pencerahan spiritual baginya (hlm. 114).

Menentang Sekulerisme Attaturk

Pada 1923, Mustafa Kemal “Attaturk” (Bapak Turki) mengundang Said Nursi ke ibu kota Republik Turki, Ankara, untuk secara resmi mengakui kontribusinya dalam perang kemerdekaan. Tetapi, setiba di Ankara, Said Nursi merasa kaget dan masygul dengan kesurutan budaya yang mencengkeram ibu kota itu pada masa kekuasaan Attaturk. Menurut Said Nursi, kebijakan westernisasi Mustafa Kemal tak sesuai dengan sejarah, budaya, etika, dan akidah rakyat Turki.

Dari Ankara, Said Nursi pulang ke Van untuk bermeditasi dan melakukan praktik-praktik spiritual. Kunjungan singkat ke Ankara membenarkan ketakutan terburuknya bahwa penguasa baru Turki tidak lebih baik ketimbang para pendahulunya.

Dia menganggap kengototan Mustafa Kemal untuk mendeislamisasi rakyat Turki dengan memberlakukan reformasi ala Barat sebagai sesuatu yang berbahaya. Dengan menghapus sistem kekhalifahan, melarang pakaian tradisional, mengganti kalender Hijriah dengan kalender Gregorian, dan mengubah sistem pendidikan tradisional dengan pendidikan sekuler Barat, Mustafa Kemal berharap dapat memakzulkan seluruh simbol Islam tempo dulu (hlm. 180).

Para ulama sufi menentang reformasi ala Mustafa Kemal itu dan ia merespons para penentangnya secara brutal. Said Nursi menjadi terlibat dalam konflik ini, walaupun dia tidak berperan langsung dalam pemberontakan para ulama sufi.

Meski begitu, lantaran pemerintah mencurigai semua ulama sufi, Said Nursi terpaksa melarikan diri ke Anatolia Barat. Di sana dia tinggal dalam pengasingan selama dua puluh lima tahun. Said Nursi melakukan perjalanan dari Burdur ke Isparta, dan berlanjut ke Barla, Kastamonu, dan Afyon. Selama periode ini, dia memiliki ratusan murid. Kelak, para muridnya ini menjadi anggota Nurculuk (Gerakan Nur) yang didirikan Said Nursi guna menyelamatkan sejarah, budaya, dan warisan Islam di Turki (hlm. 287).

Meski berada dalam pengasingan, penguasa Turki terus mengganggu Said Nursi. Mereka tetap melecehkan, mengintimidasi, dan menyerangnya. Kemudian, karena dituduh melakukan “kejahatan” (seperti menulis buku yang bersifat menghasut, serta membantu dan melakukan persekongkolan politik terhadap penguasa), dia dibawa ke meja hijau lebih dari sekali. Said Nursi menolak semua tuduhan itu.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/06/07/kronik-ramadan-said-nursi-01-1_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Kronik Ramadan Said Nursi" /

Alquran dan Tafsir Ilmiah

Dalam masa pengasingan, Said Nursi menulis Risala-I Nur (Risalah Cahaya), sebuah ulasan monumental mengenai Alquran yang berisi enam ribu halaman lebih. Walaupun karya ini tidak mirip dengan kitab tafsir pada umumnya, Risala dianggap sebagai salah satu ulasan Alquran paling berpengaruh di abad ke-20.

Dalam kitab itu, Said Nursi memberikan penjelasan sistematis perihal akidah dan konsep fundamental Islam dengan cara yang logis, rasional, dan ilmiah. Seiring mulai digemarinya ide-ide sekuler Barat di Turki, dia merasa pendekatan ilmiah terhadap wahyu sangat dibutuhkan. Bila Mustafa Kemal dan para penerusnya sangat bersemangat mendukung pemikiran sekuler dengan selubung modernisme dan kemajuan, Said Nursi bertekad membuktikan bahwa Alquran tidak pernah ketinggalan zaman (hlm. 333).

Di sisi sebaliknya, menurut Said Nursi, kekayaan intelektual, budaya, dan spiritual Islam jauh lebih unggul ketimbang pemikiran dan kebudayaan Barat. Baginya, pandangan dunia Islam berbasis pada pemahaman holistik dari seluruh makhluk, di mana manusia dan alam dianggap sebagai "rekanan kerja"; bukannya saling berkompetisi seperti di Barat.

Selama bertahun-tahun, apa yang diajarkan Said Nursi menarik minta ribuan orang. Ketika mengembuskan napas terakhirnya pada usia 83, Said Nursi memiliki ribuan pengikut di seluruh Turki. Gerakan Nurculuk juga menjadi kekuatan sosial yang diperhitungkan.

Bediuzzaman Said Nursi wafat pada 25 Ramadan 1379 Hijriah, bertepatan dengan 23 Maret 1960, di kota Urfa. Pemikiran dan ajarannya masih sangat populer di Turki hingga sekarang.

================

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.

Baca juga artikel terkait KRONIK RAMADAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Humaniora
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->