Menuju konten utama

SAFEnet: Pembatasan Internet di Papua Hambat Verifikasi Informasi

Pembatasan internet di Papua oleh Kominfo menunjukkan pemerintah melenggar hak digital warga yang sebenarnya dilindungi oleh pasal 19 ICCPR.

SAFEnet: Pembatasan Internet di Papua Hambat Verifikasi Informasi
Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019). ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama.

tirto.id - SAFEnet mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tak lagi menggunakan strategi pembatasan akses internet untuk mencegah hoaks di Papua.

Executive Director SAFEnet, Damar Juniarto mengatakan, pembatasan internet justru telah menghambat upaya pencarian informasi yang benar. Menurut dia, justru Kominfo membuat pernyataan terkait hoaks yang tak sesuai fakta.

"Salah satu bukti yang disodorkan sebagai hoaks ternyata tidak terverifikasi dengan benar, sehingga langkah pembatasan tersebut tanpa dasar yang jelas," kata Damar dalam keterangan tertulis, Selasa (20/8/2019).

Informasi hoaks yang dimaksud yakni mengacu rilis Kominfo terkait cuitan Veronika Koman di Twitter terkait insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Sabtu (17/8/2019).

Veronika dalam cuitannya menyebut ada dua pengantar minuman ke asrama ditangkap polisi. Namun, Kominfo justru mengganti diksi 'ditangkap' dengan 'diculik', kemudian melabelinya dengan hoaks.

Kominfo lalu berdalih ada hoaks, sehingga membatasi informasi dalam bentuk bandwith throttling (pencekikan internet) di Papua sejak pukul 13.00 WIT hingga 20.30 WIT, Senin (20/8/2019).

Namun, kata Damar, menurut relawan SAFEnet yang berada di Jayapura, sampai dengan hari Selasa (20/8/2019) pukul 13.00 WIT jaringan telekomunikaso di Jayapura dan Abepura belum normal kembali.

Kepala Divisi Akses Informasi SAFEnet, Unggul Sagena menambahkan, pembatasan internet justru membuat masyarakat di luar Papua tidak bisa mencari kebenaran peristiwa yang terjadi, mengecek keselamatan sanak-saudara, karena masyarakat di Papua tidak bisa mengirim pesan.

Akibatnya seperti yang terlihat di Makassar, Senin (19/8/2019) malam, justru hoaks beredar di Makassar dan tidak bisa diverifikasi, karena ketiadaan akses informasi di Papua.

"Tindakan pembatasan informasi ini harus berhenti cukup sampai hari ini. Tidak perlu dilanjutkan dan diulangi kembali di kemudian hari karena prasyarat terukur dan terkendali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara transparan ke publik," kata Unggul.

Unggul juga mengatakan pemerintah telah terbukti melenggar hak digital berupa pembatasan akses informasi yang sebenarnya dilindungi oleh pasal 19 ICCPR.

Kebebasan berpendapat, kata dia, termasuk kebebasan menyatakan tuntutan terkait self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri, adalah hak asasi manusia yang diatur dalam pembukaan UUD 1945, Konvenan Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi Indonesia.

Unggul juga memandang aksi di beberapa kota di Papua dan Papua Barat merupakan reaksi wajar dan bersifat damai, karena sampai saat ini tidak ada warga pendatang yang terkena dampak langsung dari aksi, kecuali infrastruktur sebagai bentuk kekecewaan dan kemarahan.

"Justru yang harus dilakukan pemerintah sekarang adalah menindak tegas para pelaku rasisme di insiden Surabaya dan memberikan keadilan dan perlindungan yang layak bagi seluruh masyarakat Papua sebagai warga negara," ujar Unggul.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Penulis: Zakki Amali
Editor: Agung DH