Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Saat Warga Lebih Pilih Penjara daripada Bayar Denda PPKM Darurat

Penetapan PPKM darurat semestinya tetap memberi ruang bagi rakyat untuk mencari penghasilan di masa pandemi COVID-19.

Saat Warga Lebih Pilih Penjara daripada Bayar Denda PPKM Darurat
Seorang warga yang melanggar aturan PPKM Darurat melakukan sanksi sosial berupa menyapu jalanan usai mengikuti sidang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di kawasan Pasar Lama, Kota Tangerang, Banten, Jumat (9/7/2021). ANTARA FOTO/Fauzan/foc,

tirto.id - Penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali mulai berdampak negatif ke masyarakat. Sejumlah warga lebih memilih menghadapi proses hukum hingga dipenjara daripada membayar denda sebagai sanksi atas pelanggaran PPKM.

Salah satunya adalah warga Kota Serang, Banten yang berinisial BH. BH yang bekerja sebagai penjaga toilet divonis hukuman denda Rp100 ribu karena kedapatan tidak memakai masker saat melintas di Jalan Maulana Hasanuddin, Pasar Lama. Namun, ia memilih untuk dipenjara sehari karena tidak mampu membayar denda PPKM.

Bergeser ke Tangerang, Banten. Seorang warga menolak aksi razia masker yang dilakukan petugas. Warga yang merupakan pemotor tersebut mengaku tidak bersalah saat terjaring razia. Warga tersebut akhirnya memilih dipenjara karena menurunkan masker demi merokok.

Hal yang sama terjadi di Subang, Jawa Barat. Ada beberapa pelanggar yang akhirnya tidak membayar denda sesuai putusan. Hakim membayar sebagian denda pelanggar tersebut dalam sidang yang digelar di Alun-Alun Kota Subang.

Kejadian serupa terjadi di Tasikmalaya. Warga pemilik warung kopi berinisial ALS di Kota Tasikmalaya lebih memilih dipenjara daripada membayar denda PPKM. ALS lebih memilih kurungan bui selama 3 hari karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar denda sebesar Rp5 juta.

Peneliti senior Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara mengingatkan bahwa penerapan pidana tidak bisa sembarangan. Ia mengacu kepada insiden di Tasikmalaya yang membuat pemilik warung kopi harus membayar denda hingga Rp5 juta rupiah. Menurut Anggara, pemerintah tidak serta-merta langsung memidana masyarakat.

“Peringatan sudah dilakukan belum? Kalau belum, ya jangan dulu pemidanaan,” kata Anggara saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (15/7/2021).

Anggara mengingatkan pidana denda menjadi opsi sanksi PPKM karena menguntungkan negara akibat tidak menghabiskan sumber daya seperti penjaga, makanan, dan petugas rehabilitasi. Pidana denda juga efisien karena dinilai tidak memerlukan biaya dan warga cukup membayar uang kepada negara.

Akan tetapi, kata Anggara, penetapan denda harus mempertimbangkan sejumlah aspek, yaitu: sistem penetapan jumlah besaran denda, batas waktu pelaksanaan pembayaran denda, tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan menjamin pelaksanaan pembayaran denda bila terpidana tidak membayar, pelaksanaan denda dalam hal khusus dan pedoman atau kriteria penjatuhan denda.

Oleh karena itu, kata Anggara, efektivitas denda mengacu pada 5 faktor. Pertama, aset yang dimiliki pelaku, yakni semakin sedikit aset pelaku, semakin sedikit eksistensi pidana denda. Kedua, kemungkinan pelaku tidak dijatuhi sanksi pidana denda untuk mencegah kejahatan. Ketiga, tingkat keuntungan diperoleh dalam melakukan kejahatan, semakin besar sanksi denda. Keempat adalah tindak pidana akan mengakibatkan kerugian. Kelima, besar kerugian yang ditimbulkan pelaku.

Dalam praktik lapangan, Anggara mencontohkan bagaimana petugas saat menindak pemilik warung kopi. Petugas seharusnya memperhatikan perilaku dan memahami logika pemilik warung kopi dan tidak langsung asal menyita.

“Kalau mau efisien, ya sita dan tindak. Tapi hukum itu harus efektif. Untuk efektif memang perlu usaha lebih," kata Anggara.

Berbeda dengan perusahaan, kata Anggara. Aparat bisa langsung menindak perusahaan yang melanggar karena mereka punya sumber daya. Sementara para pedagang kecil tidak punya sumber daya besar sehingga harus ditindak sesuai tahapan.

Oleh karena itu, kata Anggara, hakim harus melakukan pemeriksaan latar belakang pelaku ketika pelaku sudah dibawa ke meja hijau.

“Persoalan dengan tipiring itu, kan, sidang sederhana karena pembuktiannya sederhana, dalam pandangan saya, harusnya jangan langsung sidang di tempat, tapi kasih waktu untuk si terdakwa kumpulkan background, check soal dia," kata Anggara.

Mengapa Warga Lebih Pilih Penjara daripada Denda?

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sulfikar Amin memandang kemunculan situasi pembangkangan rakyat terhadap aturan PPKM darurat hingga mengarah meminta pemenjaraan adalah konsekuensi dari ketimpangan struktural masyarakat di masa pandemi. Warga terjebak dalam kondisi harus bertindak kriminal demi bertahan hidup. Mereka lantas memilih dipenjara daripada mengeluarkan uang untuk membayar denda.

“Buat mereka pilihan masuk penjara itu pilihan yang lebih baik karena mungkin mereka akan ditanggung makannya, lalu kemudian ya risikonya minimal daripada harus membayar lima juta misalnya, [sementara] mereka tidak punya uang. Jadi basically ini adalah orang-orang yang tidak punya pilihan, tidak punya alternatif lain,” kata Sulfikar kepada reporter Tirto, Kamis (15/7/2021).

Sulfikar mengatakan, situasi masyarakat yang terhimpit adalah konsekuensi pemerintah menerapkan PPKM sebagai solusi penanganan pandemi. Ia mengingatkan, negara tidak mengambil kebijakan karantina sesuai UU Karantina Kesehatan karena aturan tersebut mewajibkan negara memenuhi bantuan sosial dan kebutuhan hidup rakyat.

Penetapan PPKM, kata Sulfikar, seharusnya memberi ruang bagi rakyat untuk mencari penghidupan di masa pandemi, apalagi regulasi PPKM tidak melarang masyarakat seperti membeli makan di pedagang kaki lima.

PPKM darurat di Jawa-Bali, kata dia, hanya membuat masyarakat membeli makan dengan konsep dibawa pergi (take away) dan melarang dine in atau makan di tempat. Ia mengingatkan makanan adalah sektor esensial dalam aturan PPKM sehingga tidak seharusnya ditutup.

Menurut Sulfikar, pemerintah tidak perlu terburu-buru dalam melakukan penindakan tegas bagi pedagang kaki lima. Ia sebut pemerintah bisa mencontoh langkah penertiban di negara lain bagi PKL yang tetap berdagang dan menerima pembeli yang makan di tempat lewat penyitaan bangku dan memberi peringatan. Jika memang masih membandel, maka pemerintah baru bisa menindak tegas dengan memproses hukum secara bertahap.

“Jadi Satpol PP mestinya dikasih tahu. Cuma memang kadang-kadang ada warung yang nakal atau kemudian tidak paham aturannya seperti apa. Jadi membiarkan orang makan di tempat. Itu tinggal didisiplinkan saja, tetapi kalau sampai didenda Rp5 juta, itu menurut saya berlebihan,” kata Sulfikar.

“Jadi jangan langsung main pukul atau main rampas lalu kemudian denda Rp5 juta. Kasihan gitu karena sebenarnya pemerintah melakukan ini tanggung jawabnya setengah saja, menuntut tapi tidak membantu. Bantuan yang diberikan pun sangat kecil cuma Rp300 ribu per keluarga dalam satu bulan mana bisa hidup orang-orang yang tidak punya penghasilan,” kata Sulfikar.

Baca juga artikel terkait PPKM DARURAT atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz