Menuju konten utama

Saat Tepat Mengajarkan Anak Mengatakan Maaf dengan Tulus

Sejak dini, anak harus diberi pengertian akan konsekuensi perilakunya dan tidak hanya berhenti pada kata maaf saja.

Saat Tepat Mengajarkan Anak Mengatakan Maaf dengan Tulus
Anak laki-laki menenangkan gadis yang sedang menangis. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Anak bertengkar mulai dari adu mulut, berebut mainan sampai saling pukul kerap terjadi. Orang tua kerap dianjurkan untuk tidak langsung melakukan intervensi dan beri kesempatan anak untuk menyelesaikan sendiri konflik yang terjadi di antara mereka. Namun ada kalanya campur tangan orang tua diperlukan ketika situasi sudah semakin meruncing dan melibatkan kerusakan atau kerugian.

Pertengkaran kakak adik tidak saling sapa, suasana permusuhan sangat mengganggu mood. Saat kakak marah, tetapi adik tidak mau minta maaf. Di sinilah peran orang tua diperlukan untuk membantu adik untuk memahami situasi. Seringkali anak dipaksa minta maaf, namun ia tidak melakukannya dengan tulus dan sambil menggerutu.

Mengajar anak untuk minta maaf atau memaafkan dengan tulus, sama dengan mengajarnya keterampilan mengatasi konflik dan memperbaiki kembali relasi yang sempat rusak.

Minta maaf adalah pengakuan penyesalan atas pelanggaran yang mengakibatkan perasaan tidak senang atau terganggu pada pihak lain. Minta maaf adalah bagian penting dari sebuah relasi.

Ilustrasi Minta Maaf

Ibu yang peduli menenangkan dan memeluk menangis kesal putri kecil. (FOTO/iStockphoto)

Cara Godwin, Ph.D dalam Psychology Today menyatakan, minta maaf adalah keterampilan penting yang harus dipelajari anak untuk memperbaiki hubungan secara efektif setelah terjadi konflik atau melakukan kesalahan.

Orang tua menginginkan anak tumbuh dengan baik, memiliki kebaikan dan ketulusan hati. Mengajar anak untuk meminta maaf atau memaafkan dengan tulus saat masih sangat muda dan konflik belum terlalu rumit, akan lebih mudah.

Keterampilan sosial yang satu ini penting bagi anak untuk dapat membangun dan mempertahankan relasi dalam kehidupan mereka kelak. Namun mengajarkan anak untuk minta maaf tidaklah mudah.

Minta maaf adalah keterampilan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memahami benar dan salah, memahami kesalahannya, memahami dampak perilakunya terhadap orang lain, serta dapat berempati.

Tidak ada patokan usia yang pas kapan anak bisa diajarkan untuk minta maaf.

Feka Angge Pramita, M.Psi, Psikolog Klinis, mengatakan bahwa di usia 4 sampai 7 tahun anak sudah paham tentang sebab akibat dalam situasi sosial.

Di usia itu kemampuan sosial anak sudah semakin berkembang didukung dengan kemampuan regulasi, emosi, komunikasi dan bahasa.

“Anak diharapkan dapat memahami makna dari pernyataan permintaan maaf dan bisa memahami dari sudut pandang orang lain, mengapa perlu minta maaf. Namun diperkenalkan sejak dini, semisal pada usia 2 tahun, itu akan lebih baik,” ujarnya.

Meski sudah diajarkan untuk minta maaf sejak dini pun, bukan berarti anak akan dapat dengan sadar meminta maaf setelah melakukan sesuatu yang membuat orang lain tidak nyaman. Anak-anak pada umumnya sulit minta maaf.

“Karena anak belum memahami konteksnya, belum memahami situasinya kenapa dia harus minta maaf. Kemampuannya dalam memahami situasi sosial masih berkembang sehingga memang masih kesulitan untuk dengan cepat peka akan situasi yang terjadi,” papar Feka yang berpraktek di RS Khusus Bedah Columbia Asia Pulomas, Jakarta Timur.

Itu sebabnya anak perlu bimbingan orang tua terus menerus, sama seperti menanamkan kebiasaan baik lainnya.

Kalau ada anak yang begitu mudah mengucapkan kata maaf, orang tua jangan buru-buru senang.

“Sebab banyak anak yang bisa bilang sorry tapi tidak memahami sudut pandang orang lain. Anak merasa bahwa hanya dengan bilang “maaf” maka masalahnya selesai,” ujar Feka.

Padahal masih ada konsekuensi yang masih dirasakan orang atau anak lain atas perbuatannya.

“Anak harus dijelaskan bahwa bertanggung jawab terhadap konsekuensi perilakunya penting dilakukan, dan tidak hanya berhenti pada kata maaf saja,” lanjut Feka.

INfografik MInta Maaf

INfografik MInta Maaf. tirto.id/Fuad

Belajar Rekonsiliasi dengan Sadar

“Yuk, minta maaf. Baikan lagi, ya….” Orang tua kerap mendorong anak untuk melakukan hal demikian. Menganggap bahwa minta maaf secepatnya dapat menyelesaikan masalah dan memperbaiki relasi dengan cepat pula.

Karena dalam praktek kehidupan orang dewasa, meminta maaf bisa menjadi cara cepat untuk memperbaiki relasi yang sempat terganggu. Orang dewasa dapat dengan cepat memahami situasi hanya dengan melihat ekspresi lawan bicaranya.

Beda halnya dengan anak-anak. Rekonsiliasi membutuhkan kemampuan berempati. Artinya anak yang bisa berbaikan lagi adalah anak-anak yang bisa memahami situasi dari sudut pandang orang lain, mampu merasakan perasaan orang lain.

Empati disebut-sebut sebagai dasar bagi kesuksesan seseorang dalam membangun relasi, apakah itu sebagai pemimpin, politisi, tenaga pemasaran, dan lain sebagainya.

Anak-anak usia prasekolah umumnya sudah mengembangkan sikap empati, demikian riset Nicole M. McDonald dan Daniel S. Messinger dari universitas Miami dalam laporannya yang berjudul "The Development of Empathy, When and Why."

“Ketika kemampuan empati terbentuk, maka dengan spontan anak akan minta maaf karena empatinya sudah bekerja dan memahami perasaan orang lain,” kata Feka.

Untuk mengembangkan empati, Feka mengatakan, anak harus rutin melakukan playdate atau bekerja sama dalam kelompok kecil, sehingga anak menjadi peka bahwa perilakunya memberikan dampak bagi orang lain. Anak-anak yang diberi kesempatan untuk berteman dan mengalami konflik, punya kesempatan untuk terus menerus mengasah empatinya.

Bila terjadi konflik dan orang tua tahu bahwa anaknya yang melakukan kesalahan, sebaiknya orang tua tidak serta merta mendorong anak untuk minta maaf.

“Ajak anak untuk memahami terlebih dulu apa yang terjadi, bagaimana situasinya sehingga anak belajar mengamati lingkungannya, mengamati bagaimana ekspresi orang lain yang menangis atau marah karena perbuatannya. Cara ini adalah cara manusia untuk belajar empati - upaya untuk merasakan perasaan orang lain. Maka penyesalan akan muncul,” papar Feka.

Proses tersebut sebaiknya tidak diintervensi oleh orang tua, karena jika proses itu diintervensi, maka anak tidak belajar merasakan perasaan tersebut.

Terkadang orang tua memaksa anak untuk minta maaf, lalu anak pun akhirnya minta maaf tapi dengan hati kesal, bersungut-sungut dan teriak-teriak. Apakah minta maaf dengan kondisi emosi seperti itu lebih baik daripada tidak minta maaf?

Feka tidak setuju bila minta maaf dilakukan ketika hati masih terasa kesal. Jika hal itu terjadi pada anak, orang tua sebaiknya membantu anak untuk mengelola perasaannya lebih dulu.

“Orang tua dapat mengatakan, ‘sepertinya kamu butuh jeda dulu sebelum main yang lain lagi. Tadi kamu merebut mainan kakak dan kamu belum meminta maaf. Artinya kamu belum benar-benar siap untuk main lagi, jadi tenangkan diri dulu, ya. Setelah tenang, minta maaf.’”

Apakah penting permintaan maaf itu hasil dorongan orang tua, atau dilakukan oleh anak secara spontan?

Godwin mengungkap sebuah riset bahwa ada perbedaan antara permintaan maaf yang didorong oleh orang tua, dengan permintaan maaf yang dilakukan sendiri oleh anak secara spontan. Keduanya bertujuan sama yaitu rekonsiliasi, tetapi hasilnya berbeda.

Ketika anak diminta oleh orang tua untuk minta maaf, orang yang harus memaafkan tidak merasa lebih baik. Riset itu juga menyebut bahwa anak-anak pada usia 7 sampai 9 tahun lebih menghargai permintaan maaf yang dilakukan secara spontan dan tulus.

Sama seperti kita - para orang tua terkadang juga enggan langsung minta maaf. Setelah memarahi anak sampai lepas kontrol misalnya, orang tua butuh waktu jeda untuk memahami situasi dan menenangkan diri terlebih dahulu, kemudian minta maaf dengan tulus.

Ini adalah cara mudah mengajarkan anak tentang minta maaf, yaitu dengan memberi contoh. Anak-anak yang sakit hati dapat merasakan apakah permintaan maaf itu tulus atau tidak.

Hal ini juga berlaku bagi pihak lain yang hatinya telah dilukai anak. Karena yang penting bukan permintaan maafnya, tetapi ketulusannya. Dengan demikian ia dapat memilih untuk melepaskan rasa sakit hatinya, tidak mendendam, dan kembali berteman.

Baca juga artikel terkait TIPS PARENTING atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi