Menuju konten utama
23 Oktober 1974

Saat Sumatra Bergolak oleh PRRI, Djamin Ginting Setia kepada Pusat

Djamin Ginting adalah perwira Bukit Barisan yang setia kepada pemerintah pusat saat terjadi pemberontak PRRI di Sumatra.

Djamin Ginting. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Likas Tarigan kalut setelah Letnan Jenderal Ahmad Yani dan para perwira Angkatan Darat lainnya diculik dan dibunuh pada dinihari 1 Oktober 1965. Suaminya, Mayor Jenderal Djamin Ginting, yang menjabat sebagai Asisten II (Operasi dan Latihan) adalah salah satu pembantu Yani.

Sejak 29 Oktober 1965, Djamin Ginting tidak berada Jakarta, melainkan tengah bersama Dr. Soebandrio di Medan. Wakil Perdana Menteri yang merangkap Menteri Luar Negeri itu dikenal dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berseberangan dengan Angkatan Darat.

Likas berharap suaminya baik-baik saja. Dari rumahnya, di Jalan Sisingamangaraja Nomor 12, Jakarta, ia menyambar pesawat telepon dan menghubungi Brigadir Jenderal Josef Muskita, wakil suaminya di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD).

“Pak Muskita, Pak, tolong siapkan saya panser, Pak,” ujarnya.

“Untuk apa, Bu? Warga sipil tidak diperkenankan memakai panser,” jawab Muskita.

Likas terus mendesak. Ia khawatir suaminya dicelakakan oleh Soebandrio. Namun, Muskita kembali menjelaskan bahwa suaminya baik-baik saja dan tak perlu panser untuk memastikannya aman.

Djamin Ginitng akhirnya pulang dan panser datang bersamanya. Begitulah adegan dalam 3 Nafas Likas (2013) menggambarkan kekalutan dan kepolosan Likas Tarigan, istri Djamin Ginting.

Dekade Awal di Sumatra

Seperti digambarkan film tersebut, Djamin Ginting adalah perwira cemerlang dari Sumatra Utara sejak zaman Revolusi hingga pergolakan PRRI/Permesta.

Ia dan Likas Tarigan akrab sejak zaman Jepang. Tepatnya saat Likas mengajar di sekolah keputrian dan Djamin mulai jadi perwira tentara sukarela buatan Jepang. Menurut catatan Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal-bakal Tentara Nasional di Sumatera (2005:197), Djamin Ginting masuk dalam Giyugun Sumatra Timur yang dilatih di Soborong-borong bersama Boyke Nainggolan, Nokoh Barus, dan Richardo Siahaan. Pada Oktober 1944, pangkatnya adalah Jun-I, setara letnan.

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Djamin salah satu bekas Giyugun yang memilih membela Republik Indonesia. Ia juga ikut berperan ketika Divisi IV Sumatra membuka Sekolah Kadet Perwira di Brastagi pada September 1945.

Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1988:111), sekitar tahun 1947 Djamin pernah menjadi Komandan Resimen Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Brastagi. Pengalamannya di masa gerilya ia kisahkan dalam buku Bukit Kadir (1964).

Lebih dari satu dekade, karir militernya ia jalani di Sumatra. Pada pertengahan 1950-an, ia menjadi perwira nomor dua di Sumatra Utara yang menjabat sebagai Kepala Staf Tentara & Teritorium I/Bukit Barisan dengan pangkat letnan kolonel. Saat itu, Panglima Bukit Barisan dijabat oleh Kolonel Mauludin Simbolon.

Setia kepada Pemerintah Pusat

Ketika di Sumatra terjadi kemelut yang berujung pada pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Djamin Ginting menjadi perwira yang dipercaya oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution.

Kala itu, seperti diceritakan Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba Kedua (1984:62), Simbolon hendak mengundurkan diri pada pertengahan tahun 1956, dan ia butuh waktu untuk membicarakannya dengan satuan-satuan di Bukit Barisan. Kepada Nasution, Simbolon merekomendasikan Djamin Ginting sebagai penggantinya.

Tak lama setelah itu, Simbolon kemudian pergi ke Padang dan bergabung dengan PRRI bersama Ahmad Husein. Dalam situasi seperti itu, Djamin Ginting memilih tetap bersama pemerintah pusat. Nasution kemudian memutuskan untuk menjadikan Djamin Ginting menjadi Panglima TT I Bukit Barisan. Meski demikian, Djamin Ginting tidak diterima begitu saja oleh para perwira lain yang pangkatnya Kapten ke atas.

Saat itu, Nasution menentukan wilayah Bukit Barisan hanya mencakup Sumatra Utara. Sementara Aceh dan Sumatra bagian tengah akan dibentuk Kodam baru. Jabatan Panglima TT I Bukit Barisan diemban Djamin Ginting antara Desember 1956 hingga April 1959.

Infografik Mozaik Djamin Ginting

Infografik Mozaik Djamin Ginting. tirto.id/Deadnauval

Pada 1957, saat "perang saudara" itu berlangsung, ia sempat mengungsi ke Brastagi hingga Nasution mesti turun tangan.

“Ia tetap setia kepada [pemerintah] pusat, walaupun keadaannya berantakan,” tulis Nasution.

Apa yang terjadi di wilayah penugasannya adalah warisan buruk yang harus diterima Djamin Ginting. Sebagai panglima baru, ia memang sulit mendapat dukungan dari koleganya yang sama-sama berasal dari Tapanuli.

Setelah pasukan dari Jawa dikirim ke Sumatra Utara, PRRI melemah dengan cepat. Para perwira dan prajurit yang terlibat PRRI ditertibkan. Setelah tahun 1959, TT I Bukit Barisan berubah nama menjadi Kodam Bukit Barisan, dan Djamin Ginting menjadi panglimanya. Ia yang setia kepada pemerintah pusat itu menjabat sampai awal tahun 1961.

“Demikianlah secara berangsur-angsur dilakukan penertiban di Tapanuli. Panglima Djamin Ginting kembali mengutuhkan Kodamnya,” tulis Nasution.

Setelah itu, ia ditarik ke Jakarta. Menurut Harsya Bachtiar, Djamin Ginting sempat dikirim ke sekolah staf tentara di Quetta, Pakistan pada 1962. Ia kemudian dijadikan Asisten II (operasi) Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Sejak Oktober 1965, saat Mayor Jenderal daripada Soeharto menjadi perwira yang posisinya paling kuat di TNI, Djamin Ginting dijadikan sebagai Inspektur Jenderal Angkatan Darat.

Ia menjadi Duta Besar RI untuk Kanada sejak 1972 hingga tutup usia pada 23 Oktober 1974, tepat hari ini 45 tahun lalu. Kesetiaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia diganjar penghargaan oleh negara dengan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Baca juga artikel terkait PRRI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh
-->