Menuju konten utama

Saat Soetomo dan St. Takdir Berdebat Soal Pesantren

Soetomo membela sistem pendidikan ala pesantren, Soetan Takdir mengkritik pesantren dengan tajam.

Saat Soetomo dan St. Takdir Berdebat Soal Pesantren
Dr. Soetomo. Foto/istimewa

tirto.id - “Pesantren dan pondoknya memberi pengajaran lahir-batin bagi murid-muridnya.”

Pernyataan bernada simpatik itu disampaikan Dr. Soetomo — pendiri organisasi Budi Utomo sekaligus lulusan sekolah kedokteran ala Barat, School tot Opleiding van Indlansche Artsen (STOVIA).

Saat Soetomo mengatakan itu, pada dekade 1930-an, bahkan hingga jauh setelahnya, penilaian udik, tradisional atau bahkan kolot masih melekat kuat pada pesantren. Sebagai institusi pendidikan, pesantren saat itu pun tersisih dari skema atau sistem pendidikan rancangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Tumbuh suburnya sekolah-sekolah modern, terutama dipicu oleh politik etis yang sudah dimulai sejak akhir abad-19, membuat keberadaan pesantren benar-benar dianggap remeh. Banyak bangsawan dan pejabat bumiputera yang lebih senang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah modern dengan harapan bisa bekerja di birokrasi-birokrasi pemerintah kolonial.

Kendati demikian, Soetomo yang notabene dibesarkan dalam iklim pendidikan modern ala Barat, percaya bahwa sekolah ala Eropa hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebutuhan birokrasi pemerintah. Walhasil, cenderung menggantungkan hidup dari “belas kasih” penjajah sebagai ambentaar. Atau dalam istilah Soetomo: hanya menghasilkan “buruh gajian”.

“Karena itulah, pemuda-pemuda hasil sekolahan ini kebanyakan mempunyai sifat loba [logistisch-materialistisch], dan kegemarannya akan bekerja merdeka kian lama kian berkurang semangatnya,” ujar Soetomo seperti dikutip Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a (2012).

Tren bangsawan dan pejabat bumiputera mengirim anak-anaknya di sekolah Eropa memang tidak terhindarkan. Fenomena itu mewakili semangat zaman yang sedang berderap kencang menyongsong kemajuan sains dan teknologi. Dampaknya bagi pesantren juga cukup serius. Pesantren mulai kehilangan sumber pendanaan. Para kiai tidak lagi dapat sepenuhnya berkonsentrasi mendidik para santri karena dihantui kebutuhan hidup sehari-hari.

“[…] Setelah didirikan sekolahan yang membentuk kaum buruh gajian, lalu tiada menyukai pesantren lagi. Sehingga karena itu, kiai-kiai pesantren lalu tiada mendapat sokongan untuk hidupnya, dan karena inilah maka hidupnya tiada tenteram sebagai kiai yang sejati di masa sebelum ini,” kata Soetomo.

infografik soetomo alisjahbana

Kritik Pendidikan ala Soetomo

Soetomo mengingatkan, lembaga pendidikan tidak hanya bertugas membekali siswa dengan ilmu bertahan hidup. Lembaga pendidikan haruslah berperan menanamkan nilai kebangsaan, rasa cinta tanah air, budi pekerti, dan kasih sayang sesama manusia. Dalam konteks tersebut, Soetomo berpendapat pesantren memainkan peran yang signifikan.

Menurut Soetomo sistem pondok di pesantren memungkinkan setiap murid menyerap ilmu seorang guru di luar jam belajar. Ilmu-ilmu itu, misalnya, tentang adat-istiadat, sopan santun, dan tabiat yang dicontohkan seorang guru dalam hidup sehari-hari.

“Di dalam pondok itu bukan saja pengajian anak-anak itu terjaga, tetapi juga hidupnya sehari-hari akan dapat tuntunan dan pengawasan,” kata Soetomo.

Pada akhirnya Soetomo menganjurkan sistem pemondokan seperti pesantren bisa kembali dihidupkan di lembaga-lembaga pendidikan lain. Dia menilai sistem pendidikan pesantren sangat relevan untuk mengisi idealisme kaum pergerakan masa itu sekaligus memperkuat nilai-nilai kebudayaan di masyarakat.

Ki Hadjar Dewantara mengemukakan pendapat yang hampir serupa dengan Soetomo. Dalam kongres pertama Taman Siswa yang berlangsung di Yogyakarta pada 13 Agustus 1930, ia menyatakan pesantren menyumbang banyak hal dalam membentuk sifat dan karakter pengajaran nasional sebagai antitesis pendidikan kolonial. Sifat kedekatan pesantren dengan rakyat memperkaya pendidikan kultural dan kerohanian masyarakat, memupuk solidaritas, serta ikut mengukuhkan semangat kebangsaan yang terdiri dari persatuan, kemandirian, dan kemerdekaan.

Hingga kini, terutama melalui Taman Siswa, Ki Hadjar dianggap sebagai tokoh pendidikan yang gigih menggali nilai-nilai tradisional untuk diadopsi dalam sistem pendidikan yang dirancangnya. Kendati mengajarkan ilmu-ilmu modern, pendidikan ala Ki Hadjar mengakomodasi pola-pola lama pendidikan yang eksis di berbagai institusi pendidikan tradisional, sembari menekankan pentingnya nilai-nilai moral yang di kemudian hari kita kenal sebagai "pendidikan karakter".

Respons Sutan Takdir Alisjahbana

Pandangan Soetomo dan Ki Hadjar mengundang respons Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A). Dalam artikel “Didikan Barat dan Didikan Pesantren: Menuju ke Masyarakat yang Dinamis” ia menolak usul untuk menerapkan sistem pendidikan pesantren yang disampaikan kedua tokoh tersebut. Menurut Takdir, kembali ke pesantren berarti kembali kepada “anti intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialistik”. Dengan kalimat bernada sarkastis, Takdir menghantam pendapat Soetomo dan Ki Hajar.

“Apabila tuan dr. Soetomo mengatakan terpecah-belahnya persatuan yang berpusat kiai itu racun bagi bangsa kita, saya menyebut perpecahan persatuan yang demikian ini ialah obat yang semujarab-mujarabnya,” kata Takdir.

“Agaknya tidak berlebihan jika saya berkata bahwa semangat persatuan yang berpusat pada kiai dan pesantren-lah yang menyebabkan jatuhnya bangsa kita.”

Takdir adalah juru bicara yang ulet dari pandangan yang memuja modernitas. Pandangan optimistik Takdir terhadap modernitas tak hanya tampak dalam soal pendidikan, seperti yang sudah dikutip di atas, melainkan juga dalam bidang-bidang yang lain: dari kesusastraan, filsafat, hingga dalam diskusi mengenai perkembangan bahasa Indonesia.

Menurut Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a, sebutan pesantren kiai, santri adalah hal-hal yang tidak masuk dalam lingkup pemikiran Takdir. Dengan nada menyindir, Baso menyebut istilah-istilah itu kelewat asing untuk masuk dalam “database” intelektual Takdir. Takdir, kata Baso, juga tidak menyangka mengapa seorang pendiri organisasi modern seperti Soetomo bisa terpikir untuk membela pesantren.

“Takdir merayakan kebebasan individu sebebas-bebasnya. Tapi pada saat bersamaan ia menafikan sosok kiai sebagai individu-individu, anonym, tanpa jiwa, tanpa humanisme. Takdir menyebut mereka ‘seorang saja’,” tulis Baso.

Studi yang dilakukan Baso juga menujukkan bagaimana pesantren memainkan peran yang cukup dominan sepanjang Perang Diponegoro. Hal ini tampak dari survei mengenai pesantren yang dilakukan pemerintah kolonial pada 1831 setahun pasca Perang Diponegoro. Survei itu menurutnya dilakukan untuk memetakan mana penduduk Jawa yang berpihak kepada Diponegoro dan mana yang loyal kepada Belanda.

Studi ekstensif Peter Carey tentang Diponegoro dan Perang Jawa juga memperlihatkan betapa pentingnya jaringnya pesantren dan kiai-kiai kampung. Dukungan para kiai sangat signifikan sepanjang lima tahun perlawanan Diponegoro yang menguras sumber daya pemerintah kolonial itu.

Jawaban Soetomo

Mendapat serangan Takdir, Soetomo tidak tinggal diam. Ia menyatakan di pesantren anak petani, anak saudagar, anak bangsawan berkumpul dalam satu pondok. Hal ini akan memupuk rasa persatuan di antara mereka meski kelak bekerja di bidang yang berbeda-beda. Lantas bagaimana dengan para lulusan sekolah Eropa kebanyakan?

“Anak-anak dari sekolah desa tercerai dari anak-anak sekolahan standar, sedang anak-anak sekolahan HIS dan ELS sudah merasa dirinya lebih tinggi daripada anak-anak lainnya. Faedah pondok dan pesantren-sistem itu sungguh tidak dapat diabaikan,” kata Soetomo dalam tulisan “National-Onderwijs Congres: Menyambut Pemandangan Tuan S.T.A”.

Soetomo memang semakin serius menengok khasanah kebudayaan "asali". Ia menjadi salah satu tokoh yang membela pentingnya menggali ke dalam, dan tidak sekadar menengok ke luar. Bersama Sanusi Pane hingga Poerbatjaraka, Soetomo membela "kebudayaan Timur" dari kritik yang keras dari Takdir Alisjahbana. Perdebatan itu masyhur disebut sebagai "Polemik Kebudayaan".

Takdir pula yang memicu perdebatan dengan merilis artikel berjudul "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia" pada 1935. Dengan tegas ia mengatakan bahwa Indonesia bukanlah kesinambungan dari zaman lampau, entah itu Sriwijaya dan Majapahit, Mataram maupun Minangkabau. Zaman baru benar-benar lain dan sudah seharusnya, kata Takdir, mengarahkan pandangan ke Barat.

Baca juga artikel terkait PESANTREN atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Humaniora
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Zen RS