Menuju konten utama

Saat Sikap Ibu Merusak Mental Putrinya

Tak semua hubungan orangtua anak berjalan lancar. Ada hubungan ibu dan anak perempuan yang penuh racun.

Saat Sikap Ibu Merusak Mental Putrinya
Ilustrasi toxic mom. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Suatu hari, Sophie, perempuan 15 tahun, mengatakan kepada ibunya, Annie, bahwa ia ingin menghadiri pesta yang diselenggarakan seniornya. Dengan enggan, Annie memberi izin. Itu pun setelah dibujuk sahabatnya yang merupakan ibu teman dekat Sophie.

Izin telah Sophie kantongi, tetapi Annie tidak melepaskan anaknya begitu saja karena khawatir Sophie akan minum minuman keras di pesta tersebut. Ia akhirnya memilih menguntit Sophie sampai keberadaannya diketahui oleh sang putri. Sekalipun Annie berulang kali meminta maaf karena telah mempermalukan Sophie lewat kehadirannya di tengah pesta, masih ada kesal yang tersisa dalam batin putrinya.

“Sudah kubilang aku tidak minum alkohol di sana. Menyebalkan sekali Ibu tidak mempercayai aku. Aku merasa buruk sekali,” gerutu Sophie.

“Tentunya begitu…aku juga dulu merasa hal serupa saat orangtuaku tidak mempercayaiku. Aku tahu, aku yang salah. Kamu anak yang baik.”

“Aku berusaha untuk menjadi anak yang baik.”

Baru saja mereka berekonsiliasi, Annie kembali naik pitam saat menangkap Sophie memakai anting kesayangannya tanpa izin. Lebih parah, Sophie menghilangkan satu antingnya. Suara Annie meninggi, dibalas sikap acuh tak acuh Sophie yang segera melenggang ke kamarnya.

“Tinggal selangkah lagi sebelum aku mengirimmu ke rumah nenek!” Annie mengultimatum.

Petikan kisah ini diambil dari serial I Hate My Teenage Daughter yang disiarkan Fox tahun 2011. Hubungan Annie dan Sophie memang bak roller coaster. Sewaktu-waktu mereka tampak begitu harmonis dan mencoba saling pengertian, kali lain mereka saling meneriaki dan membenci pilihan tindakan satu sama lain.

Konflik verbal adalah bagian dari keseharian Annie dan Sophie. Sementara Sophie sedang senang-senangnya bereksplorasi, Annie menjelma menjadi sosok paranoid yang kerap bilang tidak saat Sophie meminta izin melakukan ini itu.

Kendati diambil dari cerita fiksi, kejadian-kejadian yang ditampilkan dalam serial ini bukan hal langka ditemukan pada relasi ibu-anak perempuan, terlebih saat sang putri menapaki masa remaja. Tidak dinafikan bahwa dalam setiap relasi, pasti ada sederet konflik. Namun, yang perlu dicermati adalah apakah relasi tersebut termasuk relasi beracun antara ibu-anak perempuan—dengan mempertimbangkan pola bersikap yang berulang dan efek terhadap diri si putri?

Kondisi relasi ibu-anak perempuan yang silih berganti bisa menjadi salah satu tanda hubungan beracun, demikian disebutkan oleh Peg Streep dalam artikel berjudul 8 Toxic Patterns in Mother-Daughter Relationships” di Psychology Today. Penulis Daughter Detox: Recovering from an Unloving Mother and Reclaiming Your Life (2017) ini mengungkapkan, sikap ibu yang kadang begitu suportif, kadang sangat menekan, bisa berimbas terhadap cara si putri berelasi dengan orang-orang lain di kemudian hari.

Satu perempuan yang sempat diwawancarai Streep mengatakan, akibat sikap ibu yang berubah-ubah, ia tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri. Selain itu, ia juga kerap menduga-duga apakah ada kesalahan yang dibuatnya sehingga sikap ibunya inkonsisten.

“Sekarang saya mengerti dia [sang Ibu] memang suka bersikap semaunya tanpa memikirkan saya sedikit pun. Tetapi saya masih sering mendengar suaranya di kepala saya saat saya merasa kesulitan atau tidak aman,”imbuh dia.

Gila Kontrol

Di samping sikap yang sering berubah, tanda relasi beracun ibu-anak perempuan lainnya ialah keterlibatan ibu yang terlalu jauh di kehidupan putrinya. Contoh pertama adalah saat Annie menguntit Sophie tadi. Contoh lainnya, seperti dilansir Reader’s Digest, adalah ibu yang begitu berniat berteman dengan sahabat-sahabat anaknya.

Alih-alih memberikan privasi, sikap ibu yang seperti ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi yang meresahkan putrinya. Memang ada ibu-ibu yang ingin tampak bersahabat atau gaul di mata anaknya, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, putrinya potensial dijauhi teman-temannya karena mereka merasa tidak leluasa beraktivitas sebagaimana anak-anak seumurnya.

Terkait privasi, contoh lain sikap ibu yang mengganggu adalah mengorek informasi personal putrinya. Hal ini dikemukakan oleh Dhilla (25) yang menyatakan ibunya dulu sempat membaca-baca buku hariannya.

Selain itu, upaya untuk masuk ke kehidupan anak yang berlebihan juga dilakukan dengan cara ibu mengambil alih semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan si anak. Ibu yang seperti ini yakin bahwa si anak belum mampu independen atau bertanggung jawab atas keputusannya. Ini juga digolongkan sebagai bentuk relasi ibu-anak yang beracun menurut Dr. Barbara Greenberg, psikolog anak dan keluarga di Connecticut.

“Melakukan segalanya untuk anak-anak memberi pesan bahwa Anda tidak merasa mereka kompeten serta mencegah mereka mengembangkan kemampuan-kemampuannya,” ujarnya.

Saat berhadapan dengan ibu yang gila kontrol, bukan hanya anak akan berkembang menjadi sosok peragu lantaran masalahnya biasanya ditangani ibunya. Ia juga potensial mengalami masalah kepercayaan dan memiliki penilaian diri yang minim.

Tak Acuh, Meremehkan, dan Membanding-bandingkan

Apakah Anda pernah mendapati sikap ibu yang sering kali tak acuh, meremehkan, atau senang membanding-bandingkan? Lagi, menurut Streep, hal ini merupakan indikasi lain relasi beracun ibu-anak perempuan. Coba tengok testimoni Maria Agnes (24) berikut.

“Macam-macam pencapaian saya selama ini seperti nggak ada artinya untuk Ibu. Kalau saudara-saudara yang lain punya prestasi, pasti dia ceritakan itu ke saya, terus dia bilang, ‘Kok kamu nggak bisa kayak mereka?’"

Di lain waktu, ibu Maria juga kerap menganggap putrinya berlebihan. Misalnya saat Maria bercerita ia tak mau berhubungan dengan kakek nenek dari keluarga ayahnya karena khawatir menjadi terlalu dekat dan ambruk saat mereka meninggal. Maria saat itu menangis karena tak bisa mengungkapkan betapa takut dan cemasnya ia, dan reaksi sang ibu adalah menyebutnya "lebay."

"Atau waktu saya demam panggung saat masih kecil dan nangis-nangis karenanya, Ibu lagi-lagi bilang saya lebay. ‘Ngapain takut, di depan teman-teman sendiri juga?’ kata dia begitu.”

Dari waktu ke waktu, catatan Maria tentang sikap Ibu yang kurang suportif, bahkan cenderung melemahkan mental anak, terus bertambah. Saat dewasa ia menyadari, ada gangguan psikis yang kerap menghambat perkembangan dalam hidupnya.

Anxiety disorder saya dari situ [perlakuan Ibu] sepertinya. Saya sempat benci sama dia. Saya jadi enggak berani menunjukkan emosi apa pun di depannya, takut menikah, takut punya anak, iri dengan abang kandung atau adik-adik tiri saya. Lalu, karena ada sikap menghakimi dari Ibu, saya jadi grogi parah ketika Ibu menonton lomba-lomba yang saya ikuti. Sementara kalau Ibu tidak menonton, saya jadi juara. Sampai sekarang juga, saya enggak mau bilang kalau ikut lomba apa pun.”

Perlakuan yang Timpang Kepada Anak yang Lain

Bukan hanya membanding-bandingkan, ibu beracun pun kerap kali memperlakukan anak-anaknya dengan cara tak sama. Menurut Dhilla, perlakuan ibunya terhadap anak laki-laki cenderung lebih cuek ketika mereka berulah. Hal ini dikarenakan adanya stigma bahwa sah-sah saja laki-laki badung dan berani membangkang, sedangkan perempuan masih sering dilekatkan dengan anggapan semestinya bersikap penurut, pasif, dan tak badung.

Senada dengan Dhilla, Maria juga melihat kecenderungan yang sama. Ibunya jauh lebih permisif kepada sang abang dibanding dirinya.

“Abang saya ketahuan merokok, Ibu enggak mempermasalahkan. Sedangkan begitu dia tahu saya merokok, marahnya seperti saya baru zina dengan 10 laki-laki. Padahal, ibu saya sendiri juga merokok. Lalu, soal keluar malam. Sebelum usia 21, saya enggak boleh ke mana-mana melebihi jam malam yang dia tetapkan. Sementara abang saya, sejak kuliah pun sudah dilepas Ibu saat dia bilang mau ngekos. Padahal, masih memungkinkan buatnya untuk pulang-pergi kampus-rumah setiap hari karena jaraknya enggak begitu jauh."

Tak Segan Melakukan Kekerasan Fisik

Tanda paling kentara dari relasi ibu-anak perempuan yang beracun adalah adanya kekerasan fisik di samping verbal atau psikologis. Survei Kekerasan terhadap Anak Indonesia yang dirilis Kementerian Sosial tahun 2013 menunjukkan, kekerasan fisik dan emosional pada anak perempuan cenderung dilakukan oleh ibu. Hal ini terlihat dari 66,34 persen anak perempuan mendapatkan kekerasan fisik dari ibu dan 49,81 persen dari mereka merasakan pula kekerasan emosional dari sosok yang sama.

Bagaimana efek kekerasan dari ibu yang dihadapi anak perempuan?

Menurut Oshio dan Umeda (2016) yang meneliti tentang kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua berjenis kelamin sama dengan si anak, perilaku bermasalah seorang anak perempuan di kemudian hari lebih terkait dengan kekerasan yang sempat dialaminya dari ibu dibanding dari ayah.

Baca juga:

Soal kekerasan fisik ini, Dhilla mengaku ibunya kerap marah seraya mencubiti dirinya saat ia masih kanak-kanak. Karena ibunya suka mencubit ini, Dhilla dulu berprinsip akan menuruti apa saja kemauan ibunya asalkan dia senang.

“Tapi kadang, saya melawan saat dimarahi Ibu. Pernah saking emosinya, satu kali Ibu mencakar pipi saya, mendiami saya, karena saya nekat meneruskan hubungan dengan laki-laki yang dia tidak sukai. Baru esoknya dia menyesal setelah melihat luka cakar di wajah saya,” imbuh Dhilla.

Karena sering bertindak keras pula, Dhilla mengaku lebih suka bercerita kepada ayahnya.

Kekerasan fisik dari Ibu yang lebih jauh pernah pula dirasakan Maria. Ia menyatakan, “Sampai kuliah, saya masih merasakan kekerasan fisik dari Ibu. Sejak kecil, dia sudah suka nabok saya. Ember, hanger, sapu pernah dipakainya waktu melakukan kekerasan fisik. Beranjak kuliah, sewaktu kalap, pernah saya melawan dia balik dengan menendang dan memukul. Dia shock. Sejak itu, Ibu mengurangi kekerasan fisik, tapi masih sering teriak-teriak saat memarahi saya.”

Baca juga: Save The Children: Kekerasan Anak di NTT Capai 93 Persen

Kebiasaan melancarkan kekerasan fisik kerap kali dinormalisasi dalam lingkungan keluarga. Dhilla mengatakan, perkara mencubit itu sudah jadi hal yang lumrah dilakukan ibu-ibu di sekeliling tempat tinggalnya.

Infografik Relasi Buruk Ibu & Anak Perempuan

Rekonsiliasi atau Sepakat untuk Tidak Sepakat?

Konflik-konflik yang dihadapi Dhilla dan Maria mendatangkan reaksi berbeda terhadap ibu mereka. Kendati pernah mengalami hal menyakitkan pada masa lampau, Dhilla tidak menutup diri untuk bernegosiasi dan memperbaiki hubungan dengan ibunya, terlebih setelah ia menikah dan hamil.

“Ketika dewasa, saya mulai menyadari kalau saya tetap butuh sosok ibu buat tempat mengadu. Ibu pun semakin mau membuka diri dan mendengarkan saya, mulanya sejak saya berkuliah di luar kota. Saya berinisiatif memulai percakapan lebih intim dengan Ibu juga karena saya susah menemukan teman yang membuat saya merasa aman dan nyaman menceritakan masalah saya. Soal susahnya kuliah, kerja, hidup jauh dari keluarga. Kadang dia memang masih suka menghakimi, tetapi sekarang saya lebih punya kebebasan untuk mengambil keputusan,” jabar Dhilla.

Pertambahan usia kerap disamakan dengan pertumbuhan kedewasaan seseorang. Ini pula yang mungkin perlahan-lahan mengikis kecenderungan sikap mengontrol dan kekerasan yang dilakukan ibu. Namun, perubahan sikap ibu ini tidak melulu berujung rekonsiliasi seperti yang dialami Dhilla.

Luka kekecewaan masih merah di batin Maria. Karenanya, ia lebih memilih sepakat untuk tidak sepakat dengan sang Ibu. Pernah ia berpikir untuk bernegosiasi dengan ibunya, tetapi kondisinya tidak memungkinkan saat itu. Maria berkisah,

“Karena dulu sempat bercerai, situasi psikis ibu tentu terpengaruh. Dia harus menghidupi anak-anaknya juga dalam keadaan begitu. Sampai usia 10 saya diasuh Nenek. Begitu ibu bertemu saya dan Abang, kami beranjak remaja, usia yang sedang rebel. Waktu saya lulus S1, apa-apa mulai dibicarakan walau seringnya kami berbeda paham. Karena itu, kami jarang berkomunikasi. Intinya, saya dan Ibu sepakat untuk tidak sepakat.”

Tentu, gambaran-gambaran tersebut tak mewakili pola ibu dan anak perempuannya secara keseluruhan. Namun, ada perlunya kita berkaca pada hasil survei yang telah dipacak di atas: kekerasan fisik dan emosional pada anak perempuan cenderung dilakukan oleh ibu.

Jika Anda akan atau sudah menjadi ibu, dan dikaruniai anak perempuan, ada baiknya memeriksa kembali harapan dan tuntutan atas putri Anda.

Baca juga artikel terkait POLA ASUH atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani