Menuju konten utama

Saat RKUHP, RUU PAS, dan Revisi UU KPK Hanya Manjakan Koruptor

RKUHP, RUU PAS, dan UU KPK hasil revisi tampak memiliki substansi berbeda, tapi ia mempunyai benang merah yang sama: memanjakan koruptor.

Saat RKUHP, RUU PAS, dan Revisi UU KPK Hanya Manjakan Koruptor
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) menerima berkas tanggapan fraksisaat pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/nz

tirto.id - Pemerintah dan DPR mengebut pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) di pengujung masa kerja 2014-2019 yang hanya tinggal hitungan hari. Setelah merevisi UU KPK pada 17 September 2019, kini mereka menargetkan mengesahkan RUU Pemasyarakatan (PAS) dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Dua RUU itu sudah rampung dibahas pada pembicaraan tingkat pertama oleh panitia kerja (panja). Mereka pun telah sepakat membawa rancangan peraturan tersebut ke pembicaraan tingkat kedua: rapat paripurna.

Namun, pengesahan dua aturan itu ditunda Presiden Joko Widodo setelah DPR dan pemerintah dikritik habis-habisan oleh masyarakat.

Masyarakat mengkritik karena peraturan tersebut dianggap tidak selaras dengan semangat pemberantasan korupsi. Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan tiga peraturan itu punya benang merah: memanjakan koruptor.

"Saya melihat ini satu usaha yang terencana dari DPR dan pemerintah untuk memanjakan para koruptor," tegas Zaenur kepada reporter Tirto, Senin (23/9/2019).

Satu contoh: sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi di RKUHP justru dilengkapi hukuman yang lebih ringan dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.

"[Aturan] ini bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Ancaman pidana bukannya dinaikkan malah diturunkan," Zaenur sinis.

Dalam Pasal 604 RKUHP, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta. Sementara dalam Pasal 2 UU Tipikor yang memiliki rumusan sama persis, hukuman penjara itu minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tidak sepakat dengan kritik ini. "Justru ini dimaksudkan supaya membedakan. Lebih berat hukuman kepada pejabat negara daripada orang yang tidak pejabat negara," tutur Yasonna di Gedung Kemenkumham, Jakarta, Jumat (20/9/2019).

Menurut Yasonna, Pasal 604 RKUHP merupakan sinkronisasi antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

"Di Pasal 3 [UU Tipikor] satu tahun [hukuman minimal], kami bikin jadi dua tahun," kata Yasonna.

Tapi cela RKUHP tidak hanya itu. Ia juga tidak mengatur mekanisme pengembalian kerugian negara. Para koruptor yang sudah divonis bersalah hanya harus menjalani hukuman penjara dan membayar denda--itu pun kalau diputus demikian--tanpa harus mengembalikan duit negara yang terkuras karena perbuatannya itu.

Indikasi lain memanjakan koruptor adalah, di dalam draf RUU PAS, DPR dan pemerintah seperti mempermudah napi korupsi dapat remisi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, syarat koruptor mendapat remisi adalah ia mengantongi rekomendasi KPK. Sementara salah satu kriteria untuk memperoleh rekomendasi, ia harus menjadi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum alias justice collaborator.

Masalahnya, dalam draf RUU PAS, PP ini ditiadakan. Pemerintah dan DPR mengembalikan aturan pelaksanaan remisi ke PP Nomor 32 Tahun 1999.

Mengenai ini, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019), Yasonna menjawab: "Tidak ada [mengistimewakan koruptor]. Kan ada pengaturan lebih lanjut nanti."

UU Baru KPK Melemahkan

UU KPK baru yang disahkan pada 17 September lalu dianggap melemahkan pemberantasan korupsi salah satunya oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.

"Sekarang karena komisioner bukan lagi penyidik dan penuntut, apa dia masih bisa memberi perintah untuk penyadapan penggeledahan dan penyitaan?" kata Laode di kantornya, Jakarta, Kamis (19/9/2019).

Laode sebenarnya tahu jawabannya: tidak bisa. Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), upaya paksa seperti penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan lain-lain, adalah kewenangan eksklusif penyidik dan penuntut umum.

Dan itu hanya satu dari sekian poin yang dianggap melemahkan KPK--dan dengan demikian juga memanjakan koruptor.

Satu poin lagi yang paling disorot adalah keberadaan Dewan Pengawas KPK, yang diberi kewenangan memberi izin penyadapan. Bagi sebagian orang, dengan mekanisme demikian, informasi tentang penyadapan sangat rawan bocor.

Ahli hukum acara pidana dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman Hibnu Nugroho mengatakan revisi UU KPK membingungkan dan melawan prinsip-prinsip hukum universal. Ia memprediksi akan ada kekacauan hukum akibat revisi tersebut.

Contohnya begini: jika mengacu pada UU direvisi, penetapan tersangka dilakukan secara kolektif oleh 5 pimpinan KPK melalui gelar perkara. Upaya paksa pun harus dilakukan dengan persetujuan pimpinan. Bahkan penyadapan harus disetujui seluruh pimpinan tanpa terkecuali.

Namun, mengacu pada UU KPK versi revisi, jika komisioner masih menetapkan tersangka atau memberi perintah dalam penegakan hukum, maka hampir bisa dipastikan mereka kalah jika terdakwa mengajukan praperadilan. Lagi-lagi, karena yang berhak melakukan itu hanya penyidik dan penuntut.

"Ini akan jadi chaos besar nanti," kata Hibnu kepada reporter Tirto, Kamis (19/9/2019).

Mengenai ini, DPR dan pemerintah lagi-lagi membantah. Mereka bersikeras revisi ini semata-mata untuk memperkuat KPK.

Baca juga artikel terkait REVISI KUHP atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz