Menuju konten utama

Saat Perlawanan ke KPK Makin Terang dan Garang

Serangan fisik terhadap pegawai dan pimpinan KPK terus terjadi. Perlu dibangun sistem agar hal serupa tak lagi terulang, misalnya dengan pendirian biro perlindungan pegawai.

Saat Perlawanan ke KPK Makin Terang dan Garang
Penyidik KPK Novel Baswedan (kedua kiri) bersiap menjadi saksi dalam sidang kasus perintangan penyidikan perkara korupsi dengan terdakwa Lucas di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/1/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Tahun 2017, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada delapan manuver pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semuanya dilakukan DPR. Beberapa di antaranya adalah penolakan anggaran, mendorong pembubaran, hingga intervensi dalam penyidikan dan penuntutan.

Selain pelemahan yang sifatnya struktural seperti itu, ada pula perlawanan yang bergaya preman, dalam arti dilakukan dengan kekerasan fisik. Beberapa kasus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Yang paling menyita perhatian publik tentu saja kasus penyidik senior KPK Novel Baswedan. Selasa, 11 April 2017, Novel disiram air keras oleh dua pria yang mengendarai motor. Ia disiram selepas salat subuh di masjid.

Akibatnya mata Novel rusak, hingga kini. Pelaku tak juga terungkap meski peristiwa telah terjadi hampir dua tahun.

Kemampuan satgas yang dibentuk Kapolri untuk mempercepat penuntasan kasus ini pun diragukan. Ini dikatakan sendiri oleh Novel, dengan alasan tim tersebut tidak jauh berbeda dengan tim lama yang gagal menyelidiki kasusnya hingga tuntas.

"Kalau penyidiknya saja diberi surat tugas baru, rasanya permasalahannya bukan di situ," kata Novel, 15 Januari lalu.

Kasus berikutnya adalah pelemparan bom molotov ke kediaman Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif di Kalibata, Jakarta Selatan. Hanya satu yang terbakar.

Pada hari yang sama, ditemukan tas mencurigakan tergantung di pagar rumah Ketua KPK Agus Rahardjo, di daerah Bekasi, Jawa Barat. Di dalamnya terdapat serbuk yang berisi senyawa CAO, Al2O3, SiO2, MgO, SO3, Na2O dan KA02.

"Senyawa tersebut disimpulkan adalah semen putih," kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo, 22 Januari 2019.

Sama seperti kasus Novel, pelaku pelemparan molotov dan pembawa tas belum diketahui. Kabar terakhir, pada 22 Januari lalu tim Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (INAFIS) dan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri mengatakan akan mengirim rekaman kamera pengawas ke kepolisian London.

Perlawanan terhadap anggota KPK terkini baru saja terjadi pada Sabtu, 2 Februari lalu. Dua pegawai KPK digebuki dan barang-barang mereka dirampas ketika berada di Hotel Borobudur, dalam rangka mengecek informasi soal indikasi korupsi.

Di sana sedang berlangsung rapat pembahasan hasil Kemendagri terhadap RAPBD Papua tahun anggaran 2019. Pemukulan terjadi ketika rapat selesai.

Mereka mengalami cedera, retak pada hidung dan luka sobek di wajah, kata Jubir KPK Febri Diansyah.

Kasus ini kini telah ditangani Subdit Jatantras Ditreskrimum Polda Metro Jaya.

Wadah Pegawai KPK mengutuk penganiayaan ini. Mereka jelas sedang bertugas, dan telah memberikan identitas sebagai orang KPK. Tapi toh itu tak menghalangi tindakan beringas para pelaku. "Ini lagi-lagi teror," kata perwakilan WP KPK.

"Kami berharap kepolisian segera menangkap dan memenjarakan pelakunya. Saat ini kami fokus untuk kesembuhan kawan kami," ujar Ketua WP KPK Yudi Purnomo.

Perlu Dilindungi

Tiga kasus inilah yang ramai diberitakan media massa, meski Novel Baswedan pernah bersaksi masih ada yang lain. Misalnya, safe house KPK pernah digerebek, atau pegawai yang diculik meski kemudian dilepaskan lagi.

Kasus-kasus ini membuat apa yang dikatakan Novel Baswedan pada Maret lalu semakin terasa urgensinya. Ketika itu Novel menyinggung soal perlindungan pegawai ketika sedang menjalankan tugas. Ia merasa itu perlu dipertimbangkan pimpinan KPK.

"Dengan perlindungan, kami berharap ke depan pegawai KPK menjadi lebih berani, lebih kuat, dan lebih independen. Kami juga tidak mau apabila orang-orang yang selama ini mengganggu, menyerang orang-orang di KPK, jadi lebih berani. Tentu ini membahayakan," ujar Novel, seperti dikutip dari Antara.

Masalah perlindungan sebetulnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2006 (PDF). Namun yang diatur di sana hanya perlindungan terhadap pimpinan KPK. Sementara dua dari tiga kasus terakhir menimpa pegawai, bukan pimpinan.

Dalam Pasal 12 PP itu dijelaskan, perlindungan (termasuk pengawalan dan persenjataan) tak hanya untuk individu pimpinan, tapi juga keluarganya.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sadar bahwa ancaman terhadap orang lapangan memang tinggi. Oleh karena itu, ia mengatakan salah satu upaya yang mungkin dilakukan adalah membentuk biro khusus perlindungan pegawai.

"Sudah kami kaji. Akan kami tentukan sejauh mana kemungkinan untuk membentuk biro baru itu," kata Alexander, 30 Januari lalu.

Baca juga artikel terkait KASUS PENGANIAYAAN atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih