Menuju konten utama

Saat Peneliti Pertanyakan Survei PPPP yang Menangkan Prabowo-Sandi

Hamdi Muluk mengaku tak tahu PPPP, lembaga yang surveinya memenangkan Prabowo-Sandi. Peneliti lain meragukan metodologi mereka yang mengambil sampel via telepon.

Saat Peneliti Pertanyakan Survei PPPP yang Menangkan Prabowo-Sandi
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi memaparkan hasil survei Indikator Politik Indonesia terkait "swing voters' pada Pemilu 2019 di Jakarta, Rabu (3/4/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Mayoritas hasil survei selalu menempatkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin di atas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019. Selisih keduanya rata-rata hingga belasan persen. Di antara sekian banyak survei itu, yang selisihnya paling kecil adalah survei dari Litbang Kompas: 11,8 persen.

Namun hari ini (9/4/2019), sebuah lembaga survei bernama Precision Public Policy Polling (PPPP) mengatakan sebaliknya. Dalam rilis yang diterima reporter Tirto, Director of Operations of PPPP Amerika, Jokovic Martinez, mengatakan hanya 36 persen yang memberi suara pada petahana.

"Sebanyak 51 persen memberikan suaranya pada Prabowo-Sandiaga," kata Jokovic. Sisanya, sekitar 13 persen, belum menentukan pilihan.

Survei yang hasilnya anomali ini mendapat sorotan dari Guru Besar Psikologi UI Hamdi Muluk. Hamdi mengaku tak tahu PPPP.

"Enggak pernah dengar saya PPPP," katanya kepada reporter Tirto, Selasa (9/4/2019).

Hamdi bukan orang baru dalam dunia riset. Dia adalah anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), sebuah wadah organisasi perhimpunan bagi lembaga survei di Indonesia.

Karena jabatannya itu, ia berkali-kali bicara soal kredibilitas lembaga survei. Pada Februari lalu, misalnya, ia pernah mewanti-wanti agar masyarakat mencermati rekam jejak lembaga survei. Ini ia katakan untuk merespons survei lembaga bernama Indomatrik yang menyebut elektabilitas Prabowo-Sandi sebesar 44,04 persen, sementara Jokowi-Ma'ruf 47,97 persen (hanya terpaut tiga persen).

Hal ini pula yang disorot Hamdi soal PPPP. Menurutnya memang banyak muncul lembaga survei baru menjelang pemilu--apa pun jenjangnya. Ia menyebut ini dengan istilah "tibad" alias "tiba-tiba ada." Dan PPPP, bagi Hamdi, termasuk di dalamnya.

Rekam jejak PPPP memang tak jelas, setidaknya demikian jika menelusurinya lewat mesin pencari Google. Tak ada satu pun alamat yang menunjuk ke situs pribadi mereka. Yang ada hanya berita-berita berbahasa Indonesia. Itu juga hanya terkait survei hari ini. Tak ada apa-apa lagi sebelum itu.

Padahal, dalam rilis resmi, PPPP mengklaim telah "memiliki pengalaman lebih dari lima tahun." Mereka mengklaim telah menangani klien politisi, organisasi politik, dan bahkan serikat pekerja. Adalah hal yang aneh ada lembaga survei yang telah berusia selama itu tapi informasi tentangnya tak terindeks Google.

Hasil dan Metodologi Bermasalah

Selain mempertanyakan rekam jejak PPPP, Hamdi juga menyoroti soal survei. Menurutnya adalah hal aneh bin ajaib ada lembaga yang hasil surveinya berbeda 180 derajat dengan mayoritas hasil lembaga survei lain.

"Kalau opini itu berubah cepat, [elektabilitas] tidak bisa berubah drastis. Tadi [Prabowo-Sandi] kalah belasan persen, sekarang unggul sekian persen. Itu, kan, seakan-akan sikap masyarakat berubah drastis," kata Hamdi.

Memang perubahan elektabilitas secara drastis bukan mustahil. Namun syaratnya adalah ada peristiwa yang benar-benar besar.

"Berubah itu kalau ada kejadian drastis dan ada sentimen-sentimen negatif, seperti kasus [penistaan agama] Ahok dulu. Tadinya Ahok unggul, tiba-tiba kalah. Kalau saya lihat hal seperti itu [saat ini] tidak ada," terangnya.

Hal serupa diungkapkan Direktur Riset Populi Center Usep S. Ahyar. Selain bilang tak tahu apa-apa soal lembaga survei ini, ia juga mempertanyakan metodologi survei yang mengambil sampel via sambungan telepon.

Masih dalam rilis, PPPP bilang memanfaatkan teknologi Interactive Voice Response (IVR) dengan melakukan panggilan langsung ke telepon. Alasannya, "untuk melakukan polling dengan cepat, hemat biaya, dan akurat."

"Polling by phone itu masalah. Soalnya populasinya itu yang punya telepon saja. Jadi mereka yang terdaftar di DPT tapi tak memiliki telepon, tidak mendapatkan kesempatan yang sama menjadi sampel" ujarnya kepada reporter Tirto.

Tuduhan Tim Prabowo

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ferdinand Hutahaean, merasa tak masalah dengan hasil survei PPPP yang berbeda dengan yang lain. Ia justru bilang itu seharusnya membuat lembaga survei dari Indonesia berkaca.

"Lembaga-lembaga survei yang selama ini dicurigai publik tidak jujur sedikit banyak harus berkaca dan malu jika membandingkan dengan hasil survei yang dilakukan PPPP dari Amerika," katanya kepada reporter Tirto.

Ia lantas menuduh lembaga survei di Indonesia dibayar untuk kepentingan politik tertentu.

"Ini pukulan telak bagi lembaga-lembaga survei Indonesia yang menjual dirinya untuk kepentingan politik tertentu," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan & Haris Prabowo
Penulis: Rio Apinino