Menuju konten utama

Saat PDIP Menggeruduk Media Massa dan Tak Mau Disalahkan

Kader PDIP tak suka berita Radar Bogor mengenai Ketua Umum mereka, Megawati Soekarnoputri. Mereka pun beramai-ramai mendatangi kantor Radar Bogor dan berteriak-teriak di dalam gedung.

Saat PDIP Menggeruduk Media Massa dan Tak Mau Disalahkan
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarno Putri memberikan pengarahan kepada kader dan simpatisan saat menghadiri Apel Siaga PDI Perjuangan Setia Megawati, Setia NKRI di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (11/5/2018). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bikin ribut di kantor media massa Radar Bogor, Jawa Barat. Dalam video yang beredar—dan isinya dibenarkan oleh pengurus partai—belasan orang dengan seragam khas berwarna merah berteriak-teriak di dalam ruangan memerintahkan redaksi minta maaf atas berita yang diturunkan Rabu (30/5/2018).

"Kalau puasa jangan menghina. Kalian menghina boleh, kami menghina tidak boleh?" kata salah seorang di antara mereka dengan nada tinggi.

Pangkal masalahnya adalah berita yang tayang sebagai headline Radar Bogor cetak dengan judul "Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp112 juta." Isi beritanya membahas penghasilan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)—isu yang sebetulnya sedang ramai dibicarakan banyak media massa.

Di sebelah kanan-kiri foto Megawati, ada beberapa foto pejabat negara lain seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Presiden Joko Widodo beserta gaji pokoknya masing-masing. Dari tampilan tersebut, Radar Bogor mengemas "penghasilan" Megawati sebagai "gaji pokok" dan menunjukkan bahwa gaji mantan presiden ini lebih besar daripada pejabat negara lain.

Mendatangi kantor berita beramai-ramai dan bicara dengan nada tinggi kepada media massa yang menurunkan berita yang dianggap merugikan pihak tertentu sebetulnya bukan cara yang diperbolehkan Undang-undang, dalam hal ini Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun dalam kasus tersebut, pengurus PDIP di Bogor tak mau mengaku bersalah.

Kepada Tirto, Kamis (31/5/2018), Ketua Dewan Perwakilan Cabang PDIP Kota Bogor, Dadang Iskandar Danubrata, mengatakan tindakan yang dilakukan oleh orang-orang ini tidaklah keliru alias "wajar." Batas wajar ini, menurutnya, karena para kader "tidak melakukan aksi yang gila-gilaan, bakar-bakaran, atau gebukin orang."

Ia juga mengatakan kalau kedatangan kader PDIP hanya sebatas melakukan klarifikasi. Setelah klarifikasi didapat dan Radar Bogor—menurut versinya—mengakui kesalahan, para kader langsung menarik diri.

"Tapi karena dilakukan ramai-ramai kesannya menggeruduklah. Sebetulnya apa yang kami lakukan pun hanya bertanya. Setelah itu mereka pulang. Itu kan hal yang sangat wajar," tegas Dadang lagi.

Dadang mempertegas bahwa aksi para kader partai yang didirikan pada 10 Januari 1973 ini memang "wajar" karena ada polisi di lokasi kejadian. Menurutnya, polisi tidak melakukan apapun.

Dadang bilang kalau apa yang mereka lakukan mirip dengan aksi Front Pembela Islam (FPI) mendatangi kantor berita Tempo, 16 Maret 2018. Motif keduanya sama: tidak suka dengan pemberitaan kedua media. Dalam kasus Tempo, FPI datang karena ilustrasi yang dianggap melecehkan pimpinannya, Rizieq Shihab.

Meski motivasinya sama, akan tetapi Dadang menjelaskan kalau kedatangan para kader kemarin "spontan" ketimbang massa FPI yang memang sudah merencanakannya secara matang. "Maka di sana tidak ada Korlap (koordinator Lapangan). Siapa yang berunding juga dipilih spontan."

Kalau aksi kemarin diniatkan agar jadi gerakan terorganisir, klaimnya, "bakal lebih banyak lagi yang menggeruduk Radar Bogor."

"Tindakan Kader Spontan"

Dalam UU Pers, mekanisme penyelesaian yang bisa ditempuh orang atau kelompok yang merasa dirugikan atas pemberitaan tertentu adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat 2) dan hak koreksi (pasal 5 ayat 3). Hak jawab adalah hak bagi orang atau kelompok yang memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan, sedangkan hak koreksi adalah hak untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan media massa.

Hal inilah yang tadinya hendak diusahakan Dadang sesaat setelah membaca berita yang dipermasalahkan. Menurutnya pada 30 Mei jam 1 siang, Dadang langsung menyampaikan keberatan kepada redaksi Radar Bogor. Radar Bogor langsung menanggapinya. "Mereka bilang sedang rapat dan mengakui bahwa itu salah, bahwa yang mereka cantumkan itu yang benar penghasilan (bukan gaji pokok)."

Agar resmi, Dadang memutuskan membuat surat keberatan. Rencananya surat itu bakal dikirim pada sore hari. Namun pukul 4 sore, Dadang dapat kabar kalau puluhan kader telah mendatangi Radar Bogor.

"Saya nggak tahu juga tindakan kader-kader kami yang spontan tadi," tegasnya.

Orang yang diminta mengantarkan surat keberatan adalah Atty Somaddikarya, Sekretaris DPC PDIP Kota Bogor. Kepada Tirto, ia mengatakan kalau massa sudah berkumpul pukul 15.30, atau ketika Atty masih dalam perjalanan ke Radar Bogor. Rencana ini yang menurutnya "bocor" ke kader.

"Rencananya bocor ke kader di bawah. Waktu saya belum sampai mereka sudah duluan," aku Atty.

Saat Atty sampai pukul 16.15, suasana sudah riuh. Ia melihat memang ada beberapa barang yang rusak di sana. "Saya selaku Sekretaris juga telah meminta maaf ada insiden menerobos dari partai," ujarnya.

Infografik CI Mengangkangi dewan pers

Pernyataan Radar Bogor

Tegar Bagja, Pemimpin Redaksi Radar Bogor, mengaku saat digeruduk massa, ia dan beberapa awak redaksi sedang membahas pesan dari Dadang dan keluhan serupa yang masuk dari pembaca lain. Pernyataan ini membenarkan keterangan Dadang di awal.

Tegar akhirnya menemui massa dan mempersilakan perwakilan mereka naik ke lantai empat gedung. Perundingan berjalan sekitar 10 menit dan menurut Tegar berlangsung dengan "cukup alot." Radar Bogor diminta minta maaf dan diancam dipidana. Sementara Radar Bogor, kata Tegar, tak diberi kesempatan bicara.

Saat pertemuan itu, itu salah seorang wartawan Radar Bogor menelepon Atty yang sudah ada di bawah. Atty diminta menenangkan massa dan ikut berdiskusi.

"Untung ada bu Atty, dia pimpinan DPC juga. Jadi perintahnya untuk membubarkan massa dituruti," Tegar menjelaskan.

Setelah Atty ikut berdiskusi, Radar Bogor akhirnya punya kesempatan bicara dan menyetujui dua hal: pertama, mengakui keteledoran mereka yang menulis "gaji pokok" padahal yang dimaksud adalah "penghasilan"; kedua, Radar Bogor sepakat untuk memuat klarifikasi.

"Kebetulan itu (klarifikasi) memang rencana pemberitaan kami hari ini," kata Tegar.

Kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalah. Tegar, didampingi Atty, berpidato di depan massa lantai satu dengan menyebut kalau mereka memang gegabah dalam memuat berita. Massa pun diminta membubarkan diri oleh Atty dan semuanya menurut.

Sudah Berkali-kali

Terlepas dari kasus ini, Tegar mengatakan keduanya memang sudah beberapa kali berselisih pendapat. Tahun 2015, PDIP juga sempat protes kala Radar Bogor melayangkan berita bernada kritik kepada Wali Kota yang berasal dari PDIP. Namun menurutnya keributan inilah yang paling parah.

Meski begitu Tegar mengatakan belum bakal membawa masalah ini ke ranah pidana. Katanya, tidak ada kerusakan yang terlalu parah, tak ada pula korban luka dari pihak mereka.

Selain itu, bukan kali ini saja PDIP menyerang kantor media massa. Juli 2014 mereka juga menyegel kantor Tv One di Yogyakarta dan mendatangi kantor Tv One di Jakarta Timur. Massa marah karena Tv One dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi edisi 30 Juni 2014 dan Berita Pemilu pada 2 Juli 2014 mengaitkan PDIP dengan Partai Komunis Cina.

Kasus ini selesai setelah Dewan Pers turun tangan. Dewan Pers memvonis Tv One melanggar Kode Etik Jurnalistik dan diminta minta maaf kepada pemirsa.

Ade Wahyudin, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pers, mengatakan bahwa tindakan partai pemenang pemilihan umum 2014 ini patut disayangkan. PDIP sebagai "organisasi politik terdidik", kata Ade, "seharusnya memberikan contoh yang baik dalam menyelesaikan sengketa dengan media."

Toh, meski tadinya hendak menyelesaikan masalah dengan cara yang semestinya, tidak ada tindakan atau sanksi apapun dari pengurus partai terhadap kader yang mendatangi Radar Bogor tanpa koordinasi.

Dadang Iskandar, Ketua DPC PDIP Kota Bogor, kembali menegaskan kalau apa yang dilakukan para kader itu hal yang wajar.

"Sebagai manusia, saat ibunya dicubit atau dizolimi seperti itu, kami punya hak untuk bertanya," ujarnya.

Baca juga artikel terkait MEDIA MASSA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino