Menuju konten utama

Saat Niat Turunkan Harga BBM & Listrik Terganjal Pelemahan Rupiah

Presiden meminta adanya penyesuaian harga BBM seiring menurunnya harga minyak dunia. Namun sejumlah pengamat menilai langkah tersebut tak mudah di tengah perlemahan kurs rupiah.

Petugas melakukan perawatan papan harga penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Kamis (5/1). Terhitung 5 Januari 2017, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi naik, yakni Pertamax Rp 8.050 dari sebelumnya Rp7.750, Pertamax plus Rp8.750 dari sebelumnya Rp8.450, Pertamina Dex Rp8.400 dari sebelumnya Rp8.100, Dexlite Rp 7.200 dari sebelumnya Rp 6.900, Pertalite Rp 7.350 dari sebelumnya Rp 7.050, dan Pertamax Turbo Rp 9.050 dari sebelumnya Rp 8.750. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama/17

tirto.id - Rencana pemerintah untuk menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tarif listrik PLN nampaknya tak mudah dilakukan.

Meski harga minyak dunia tengah turun dan harga gas industri telah dipangkas per tanggal 1 April mendatang, penurunan harga masih perlu mempertimbangkan pelemahan rupiah terhadap dolar AS sepekan terakhir.

Hal ini mengingat kurs rupiah dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang jadi patokan pemberian subsidi BBM, telah ditetapkan di kisaran Rp14.000/dolar AS.

Sementara pada perdagangan hari ini, Senin (23/3/2020), nilai tukar rupiah di pasar spot berada di level Rp16.550/dolar AS, atau melemah 4,09 persen dibandingkan dengan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Ada pun harga minyak entah golongan West Texas Intermediate untuk kontrak April 2020 berada di angka 22,50 dolar AS per barel, sementara harga minyak mentah jenis Brent berada di angka 28.02 dolar AS per barel.

“Besaran subsidinya harus wajar, bagaimana pun mereka (Pertamina) juga perlu survive,” ucap Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro kepada Tirto, Jumat pekan lalu(20/3/2020).

Direktur Eksekutif Institute for Essesntial Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga yakin penurunan ini bakal sulit. Pasalnya pengadaan BBM selalu dilakukan 3 bulan ke belakang sebagaimana harganya juga.

Kalau pun mau membeli minyak sesuai harga hari ini, setahunya porsinya hanya bisa sekitar 20 persen dan pendatangannya pun ada jeda 2 pekan.

Fabby juga mengingatkan risiko yang perlu diwaspadai terkait dinamika harga minyak. Ia bilang Presiden harus sadar kalau harga bisa berubah sewaktu-sawktu dan posisi hari ini belum tentu merefleksikan dinamika harga minyak 6-12 bulan lagi.

“Presiden harus paham. Jangan harga minyak melonjak 50-60 dolar AS/barel dan pemerintah enggak siap adjust naikan lagi,” ucap Fabby.

Penurunan tarif listrik memang mungkin karena dari penurunan harga gas industri dari 8 ke 6 dolar AS per mmbtu bisa memangkas biaya pokok produksi (BPP) PLN 5-6 persen.

Namun, karena tarif listrik bergantung pada banyak faktor seperti kurs rupiah terhadap dolar dan faktor inflasi, penurunan tarif juga tak mudah dilakukan.

Lantaran itu lah, menurutnya, meski ada penurunan harga minyak dunia, harga batu bara, hingga harga gas industri, pelemahan rupiah akan mengganjal penyesuaian tarif listrik di dalam negeri.

PLN pun juga bakal kesulitan mengatur ulang harga kerana mereka mengikuti kontrak 1 tahun untuk bahan baku primer. Alhasil meski harga pasar berubah, nilai energi primer yang dibeli oleh PLN belum tentu ikut disesuaikan.

Fabby mengingatkan penurunan yang terjadi pun harus dilakukan secara wajar dan memperhitungkan keberlanjutan PLN.

Dalam hal ini tetap menjaga margin PLN di kisaran 8 persen kecuali pemerintah memang lebih memilih mengakomodasi kepentingan politik alih-alih merefleksikan biaya dan margin yang layak.

“Kenapa? Itu penting keberlanjutan usaha PLN. Untuk investasi ke depan dan menanggulangi risiko lainnya terutama kurs,” ucap Fabby.

Terjebak Populisme

Fabby menambahkan penurunan harga bahan bakar primer ini seharusnya menjadi momentum pemerintah berbenah kebijakan harga energi. Menurutnya selama ini kerap terjebak pada siklus populis.

Misalnya saat harga bahan bakar primer turun, pemerintah berjibaku menurunkan BBM dan listrik. Namun ketika naik, pemerintah malah enggan menyesuaikan harga dan akhirnya mengorbankan APBN untuk menutup kenaikan dengan subsidi.

Langkah ini kata Fabby bertolakbelakang dengan kebijakan Jokowi di awal periode pertama.

Waktu itu, hingga akhir 2015, harga minyak anjlok ke posisi 40 dolar AS per barel, yang merupakan level terendah sejak 2009. Dan langkah yang diambil pemerintah adalah mencabut subsidi yang waktu itu mengurangi tekanan pada APBN.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang selalu sibuk menekan harga bahan bakar fosil dinilai akan semakin menghambat perkembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia.

Alhasil tanpa disadari pemerintah justru mengondisikan agar EBT susah bersaing padahal jangka panjangnya lebih murah dari fosil.

“Kalau ada EBT, kita tidak perlu terlalu khawatir dengan gejolak harga energi primer. Jangan mikirnya populis terus,” tandas Fabby.

Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menyampaikan bahwa penyesuaian BBM non subsidi dilakukan setiap bulan secara periodik dengan mengacu pada kebijakan dan ketentuan Kementerian ESDM.

Di samping itu, kata VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, pertimbangan lain penyesuaian harga BBM adalah harga minyak dunia dan harga BBM di pasaran.

"Pertamina akan mengacu pada kebijakan dan ketentuan Kementerian ESDM dalam hal penyesuaian harga BBM non subsidi. Sedangkan harga BBM subsidi atau penugasan adalah kewenangan pemerintah untuk penetapan harga jualnya," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Senin(23/2/2020).

Baca juga artikel terkait BBM atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana