Menuju konten utama
12 Mei 1928

Saat Mussolini Memerintahkan Perempuan Kembali ke Dapur

Mussolini menyerukan agar Italia meningkatkan jumlah penduduk dari 40 juta ke 60 juta jiwa. Masing-masing perempuan minimal harus punya anak satu.

Saat Mussolini Memerintahkan Perempuan Kembali ke Dapur
Mussolini berdiri di balkon Pallazo Venezia. Foto/Istimewa

tirto.id - "Perempuan tak pernah menciptakan apa-apa … Coba lihat di sekelilingmu—seni, drama, hukum, kedokteran—tak ada bukti perempuan pernah bikin sesuatu yang bisa diturunkan ke anak cucu," demikian Benito Mussolini menulis di Plain Talk Magazine pada Mei 1937.

Sebulan kemudian, aktivis asal Amerika Margaret Sanger membalas di majalah yang sama: “Konyol. Perempuan tidak pernah menciptakan sesuatu? Bagaimana dengan bayi? Bagaimana dengan Anda, Signor Mussolini? Anda tidak akan pernah bisa ngoceh dan teriak-teriak … jika perempuan tidak pernah menciptakan apa-apa."

Hari ini, 12 Mei 90 tahun lalu, diktator fasis Benito Mussolini berpidato di depan Senat Italia dan bersumpah mengembalikan perempuan ke sumur, dapur, kasur. Di Jerman, diktator fasis lainnya Hitler melakukan hal yang sama dengan mengumumkan tiga tugas kodrati untuk perempuan: Kinder (anak-anak), Küche (dapur), Kirche (gereja). Seandainya mereka hidup pada zaman sekarang dan mengeluarkan dekrit tersebut, tak terbayangkan berapa ribu meme tentang pencapaian perempuan yang bakal membanjiri fanpage dan akun twitter kedua tiran.

Namun pada tahun itu, 1928, Mussolini membayangkan satu hal: membangkitkan imperium Italia. Empat tahun berselang, ia menggelar kampanye militer berturut-turut untuk menaklukkan Libya, mencaplok Etiopia, Albania, dan terakhir Yugoslavia. Untuk itu ia butuh serdadu, lebih tepatnya calon serdadu—dan itulah sebabnya para perempuan Italia ditugaskan melahirkan sebanyak-banyaknya anak yang kelak bisa dikirim perang.

Mussolini menyerukan agar Italia meningkatkan jumlah penduduk dari 40 juta ke 60 juta jiwa. Masing-masing perempuan minimal harus punya anak satu.

Militerisasi Sipil

Militerisasi sipil Mussolini terhadap perempuan dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dengan penghapusan pajak untuk rumah tangga yang memiliki enam anak. Negara mendorong aktif tiap warganegara usia dewasa untuk menikah dengan cara memberikan mereka pinjaman. Dalam skema pinjaman tersebut, jumlah yang harus dikembalikan ke negara berkurang tiap kali sang istri beranak. Sebaliknya kaum lajang dipajak tinggi. Cerai juga dilarang.

Dalam ranah publik, gerak perempuan semakin dibatasi. Lowongan pekerjaan PNS dan kenaikan pangkat di jajaran birokrasi hanya berlaku untuk laki-laki yang sudah menikah. Pada 1933, negara mengeluarkan aturan mewajibkan lembaga dan perusahaan milik pemerintah untuk membatasi jumlah pegawai perempuan maksimal 10 persen. Pada 1938, aturan ini diperluas hingga ke perusahaan-perusahaan swasta. Masih dalam Plain Talk edisi yang sama, Mussolini menulis: "Perempuan modern cenderung melupakan tugas utama yang wajib ia dedikasikan untuk peradaban, dan karena itu saya tidak mendukung perempuan terlibat dalam politik."

Pada 1926, Mussolini melarang aborsi dan alat kontrasepsi, menyusul kriminalisasi homoseksualitas pada 1931. Larangan kontrasepsi terutama membuktikan bahwa playboy Roma itu sungguh-sungguh memposisikan perempuan sebagai pabrik anak. Namun, ketika berkunjung ke Italia pada tahun 1932, Sanger menemukan maraknya gerakan kontrasepsi bawah tanah.

Kebijakan Mussolini berkebalikan dengan posisi yang diambilnya pada 1913, ketika ia mendukung distribusi alat kontrasepsi untuk perempuan serta kontrol atas pertumbuhan penduduk. Ia bahkan menulis: “Buat saya, prokreasi bukanlah doktrin amoral dan porno, melainkan juga sebuah pilihan yang bijak, bertanggungjawab, dan jujur yang seharusnya tapi juga tindakan kebijaksanaan, tanggung jawab dan kejujuran yang seharusnya ada pada tiap laki-laki."

Namun, sikap yang diambil Mussolini justru menuai reaksi keras dan memicu terbentuknya gerakan pro-nikah/pro-beranak dan anti-KB.

Perlu diingat bahwa pada tahun itu Mussolini masih menjadi kader top Partai Sosialis Italia. Ia didepak dari partai dan beralih ke sayap kanan lantaran membelot dari keputusan partai yang mendesak agar Italia mengambil posisi netral pada Perang Dunia I.

Kebijakan misoginis rezim fasis Italia didukung penuh oleh Gereja Katolik—yang dibebaskan dari Pajak oleh Mussolini—kendati untuk beberapa isu lainnya, negara mendapat tentangan keras dari Paus.

Infografik Mussolini Sang Misoginis

Kegagalan Mengontrol Perempuan

Dalam produk-produk propaganda populer, kampanye rezim fasis sangat agresif. Di bawah Mussolini, figur perempuan sempurna adalah istri beranak. Perempuan bersuami dan beranak tapi pakai kontrasepsi, dipandang tak patut; perempuan lajang dipermalukan, perempuan merokok dianggap sundal. Lajang, merokok, dan tak punya punya anak jelas tidak selamat.

Propaganda serupa berlangsung di Jerman era Hitler—bahkan dalam beberapa rezim Reich Ketiga mengadopsi kebijakan yang lebih ekstrem. Undang-Undang Nuremberg yang disahkan pada pertengahan 1930an, misalnya membatalkan pernikahan antara laki-laki atau perempuan dengan orang Yahudi.

Namun, hingga Italia kalah dalam Perang Dunia II dan Mussolini digantung, kebijakan misoginis terbukti gagal. Robert Townley dalam Mussolini and Italy (2002) memaparkan bahwa pada tahun 1950, populasi Italia hanya bertambah tujuh juta sejak pidato Mussolini pada 1928—jumlah yang jauh dari proyeksi populasi 60 juta jiwa. Kriminalisasi alat kontrasepsi justru mendorong antipati perempuan Italia; hanya 10 persen perempuan Italia yang melahirkan anak pada tahun 1930-40an. Jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah memang menurun, namun tidak signifikan: hanya turun ke angka 28% (1936), alias hanya turun 5% dari keseluruhan persentase 33% populasi perempuan yang bekerja ketika kebijakan kuota maksimum 10% pekerja perempuan.

“Di luar kaum modernis yang jumlahnya segelintir itu, kebanyakan perempuan tidak ingin berpolitik,” tulis Mussolini di Plain Talk pada 1937. Sang diktator fasis mestinya belajar jika politik juga juga bisa diungkapkan dengan antipati diam-diam, melampaui mimbar dan parlemen, sampai-sampai menggerogoti rezimnya sendiri.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Humaniora
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti