Menuju konten utama
4 Desember 1980

Saat Musik Rock Led Zeppelin Dituduh Merayakan Satanisme

Pemutaran terbalik "Stairway to Heaven" konon bisa mengungkap lirik tersembunyi Led Zeppelin berkongsi dengan iblis.

Saat Musik Rock Led Zeppelin Dituduh Merayakan Satanisme
Ilustrasi Mozaik Led Zeppelin. tirto.id/Sabit

tirto.id - Mata Robert Plant berkaca-kaca. Ia seakan melihat John Bonham hidup kembali, bermain dengan berapi-api, terutama saat 'Stairway to Heaven' dibawakan oleh duo personel Heart, Ann dan Nancy Wilson. Padahal yang duduk di balik set drum adalah Jason Bonham, anak lelaki John.

Jimmy Page terlihat menikmati penampilan musisi lain, baik yang seangkatan maupun yang lebih junior, pada nomor-nomor populer lain Led Zeppelin. John Paul Jones duduk manis di samping Plant. Ia turut menampakkan raut muka bahagia sepanjang acara. Sesekali ia terkesima oleh kejutan-kejutan kecil.

Kennedy Center Honors ke-35 pada 12 September 2012 berlangsung dengan meriah. Led Zeppelin dianugerahi banyak hal: penghargaan prestisius, kesempatan satu balkon bersama Presiden Amerika Serikat ke-44 Barack Obama dan, tentu saja, tepuk tangan meriah para penonton.

Aktor tambun Jack Black yang ditugaskan untuk memperkenalkan Led Zeppelin mengucapkan banyolan:

“Mereka bilang Led Zeppelin menjual diri kepada iblis. Ayolah kawan-kawan (melirik ke ketiga personel), ngaku aja... Ini satu-satunya penjelasan kenapa kalian bisa bikin mahakarya yang menakjubkan itu.”

Sebagian penonton cekikikan.

“Aku sih cuma mau bilang terima kasih. Soalnya, selama kalian nanti di neraka, umat manusia tetap akan menikmati lagu-lagu kalian sampai kiamat. Harga yang 'murah' untuk kalian bayar.”

Hampir seluruh penonton tertawa renyah.

Kini mudah untuk menertawakan candaan itu. Di masa masyarakat makin rasional, teori konspirasi dari mulut segelintir pemuka komunitas spiritual semakin tak diacuhkan. Namun, ada masa ketika gorengan isu itu menghangatkan perbincangan khalayak—sekaligus jadi kenangan mengesankan bagi Plant dan kawan-kawan.

Pada Januari 1982, misalnya, Paul Crouch mengklaim banyak lagu rock populer yang mengandung pesan tersembunyi. "Stairway to Heaven" adalah salah satunya, kata penyiar program Trinity Broadcasting Network itu.

Erik Davis adalah salah satu penulis yang merekam klaim tersebut. Dalam Led Zeppelin’s Led Zeppelin IV (2005), Davis menulis bahwa Crouch menggunakan teknik memutar lagu secara terbalik (backmasking) sehingga pesan tersembunyi itu bisa terdengar.

Usai dibalik, Crouch mengklaim bagian lirik “if there's a bustle in your hedgerow, don't be alarmed now...” akan terdengar menjadi "here's to my sweet Satan" (ini untuk Setan manisku) ... "there was a little tool shed where he made us suffer, sad Satan" (ada gudang tempat ia menyiksaku, Setan yang sedih).

Kanal YouTube memuat banyak konten mengenai isu ini. Reaksi sebagian orang yang mempercayainya jauh lebih sedikit ketimbang yang membuatnya bahan tertawaan, atau minimal menganggapnya sebagai teori konspirasi yang keterlaluan. Para penggemar lebih percaya pada apa yang dikatakan Plant kepada awak media. Dalam arsip Majalah Rolling Stone edisi November 2012, contohnya, sang vokalis menyebutnya sebagai kebetulan yang ganjil semata.

“Musisi mana sih yang pernah berpikir untuk melakukan hal itu? Anda-anda ini punya waktu luang yang terlalu banyak hingga menganggap benar-benar ada orang yang melakukannya.”

Kru band berkomentar serupa: menyelipkan lirik Satanis secara terbalik itu bodoh dan buang-buang waktu rekaman. Label yang dimiliki Led Zeppelin, Swan Song Records, mengeluarkan pernyataan: “Musik kami hanya berjalan ke satu arah—Progresi.”

Sekali lagi, masyarakat era kini berbeda dari yang terdahulu. Isu "Satanisme" yang berkembang sejak 1960-an hingga 1970-an masih dianggap sebagai ancaman nyata bagi sebagian masyarakat konservatif di Amerika Serikat.

Massimo Introvigne, sosiolog asal Italia yang menekuni pergerakan agama baru atau sempalan-sempalannya, dalam Satanism: A Social History, menerangkan bagaimana ketakutan massal atas Satanisme pada era 1980-an menyebar di sepanjang dataran AS dan Kanada, lalu “diekspor” hingga ke Inggris, Australia, dan negara-negara lain.

Tak mengherankan jika ada anggota parlemen California saat itu yang mengusulkan untuk membentuk undang-undang negara bagian, yang akan memaksa produsen kaset menyematkan peringatan soal "lirik-lirik Satanis nan tersembunyi."

Sebelum media sosial mendekatkan musisi dan masyarakat dunia seperti sekarang, banyak warga AS yang berpikir macam-macam soal Led Zeppelin. Plant dan Page menyatakan hal ini saat wawancara eksklusif dengan Cameron Crowe dari Majalah Rolling Stone, Maret 1975.

Tur Amerika tahun 1973 dijadikan Plant sebagai upaya mengenalkan diri secara lebih baik kepada warga AS. Ia mendengar gosip dari mulut ke mulut bahwa personel band hobi “makan perempuan dan membuang tulangnya ke luar jendela”.

“Semua kegilaan itu yang orang-orang tahu tentang kami. Kami bukan dan tak pernah jadi monster. Cuma pemuda-pemuda baik hati yang dicintai penggemar dan dibenci kritikus.”

Tuduhan lirik Satanis hanya satu perkara. Persoalan lain berasal dari salah satu tokoh idola Page: Aleister Crowley.

Mr. Crowley yang Jadi Idola Jimmy Page

Crowley lahir di Warwickshire, Inggris, pada 12 Oktober 1875. Sepanjang tujuh dekade hidupnya, sebelum meninggal pada 1 Desember 1947, Crowley dikenal dalam sejarah sebagai ahli ritual magis sekaligus okultis.

Okultisme (dalam bahasa Inggris “occultism”, dalam bahasa Latin “occultus” atau yang tersembunyi/rahasia) merujuk pada kepercayaan atas hal-hal supranatural, khususnya ilmu sihir. Crowley mendirikan agama Thelema dan mengidentifikasi diri sebagai "nabi yang akan memimpin umat manusia menuju Æon of Horus" pada awal abad ke-20.

Terdengar kekanak-kanakan. Tapi di luar persona itu, Crowley punya dasar filosofis—meski aneh bagi konsesi umum. Ia bukan orang gila. Ia justru dikenal sebagai salah satu figur paling berpengaruh dalam komunitas spiritual dan budaya tanding (counterculture) Barat. Crowley pernah dibahas oleh Ronald Hutton, sejarawan Inggris yang mendalami paganisme kontemporer, termasuk membahas teori serta praktik kepercayaan Crowley, dalam The Triumph of the Moon: A History of Modern Pagan Witchcraft (2001).

Crowley adalah manusia paradoks sekaligus ambigu. Hutton menafsirkan beberapa karya Crowley menunjukkan sisi ateisnya. Bagian lain bisa diinterpretasikan jika Crowley penganut politeisme, sementara lainnya lebih meyakininya pelaku monoteisme-mistis.

Crowley punya gelar lain yang disematkan media: Satanis. Ia menolaknya. Ia hanya tak menyepakati perspektif Kristen atas setan. Ia tidak mempraktikkan persembahan manusia, meski demikian ia menikmati lekatnya pandangan sensasional itu dalam citranya di dunia luar.

Walaupun menolak disebut Satanis, ia kerap menggunakan lambang-lambang Satanis, semisal menyebut dirinya sebagai Binatang 666. Ia punya sentimen anti-Kristen dan pernah mengirim kartu Antikristus kepada temannya. Dalam satu tulisan, ia kadang mengidentifikasi makhluk supernatural dalam kepercayaannya, Aiwass, sebagai Iblis.

Infografik Mozaik Led Zeppelin

Infografik Mozaik Led Zeppelin. tirto.id/Sabit

Jimmy Page, mau tak mau, harus menjelaskan mengapa mengidolakan Crowley. Rumor yang berkembang sudah pada tahap "Page menjual jiwanya kepada Iblis" demi mendapatkan popularitas sebagai bintang rock.

Page, dalam wawancara eksklusif lain bersama Rolling Stone, menyatakan heran mengapa banyak orang bertanya kepada dia tentang Crowley. Padahal Page mengidolakan pemikir, penyair, dan seniman lain. Namun, Page tahu jawabannya: orang akan selalu mengaitkan dirinya dengan Crowley terkait gosip Satanisme.

Perjumpaan Page dan Crowley pertama kali saat Page berusia 14-15. Saat itu ia membaca buku The Breat Beast: The Life of Aleister Crowley (1951) karya John Symonds. Rasa penasaran menuntunnya untuk membaca literatur Crowley lain, berikut pemikirannya.

Tidak ada bukti Page adalah Satanis. Meski demikian, Page percaya pada filosofi pembebasan diri ala Crowley. Page juga mengambil diktum tersohor Crowley, “Do what thou wilt” dan dicantumkan dalam rilisan piring hitam orisinal Led Zeppelin III.

Tak hanya itu, Page membeli bekas rumah Crowley di Loch Ness, Skotlandia. Ada dua-tiga pemilik lain sebelum Page mendapatkannya.

“Hal-hal aneh memang terjadi di rumah itu, dan tidak ada hubungannya dengan Crowley. Memang dari sananya. Seorang pria pernah dipenggal kepalanya di sana, dan kadang kau bisa mendengar suara seperti kepala menggelinding. Itu kata temanku, yang awalnya mengira kelakuan kucingku. Tapi kucingku selalu dikunci di kamarnya tiap malam," ujar Page dalam wawancara dengan Cameron Crowe pada 1971.

Motivasi Page membeli rumah tersebut didorong rasa penasarannya pada hal-hal misterius. Page tak suka mengumbar kepercayaan pribadinya atau keterlibatannya dalam hal-hal mistis. Ia membiarkan orang-orang mencari inspirasi di rumahnya di Loch Ness, juga rumah dia yang lain di daerah Sussex.

Sebagai pendiri Led Zeppelin, Page sempat mendeskripsikan Led Zeppelin sebagai “sihir”. Beberapa orang memang merasakan aura itu, seakan band ingin mempersembahkan sesuatu yang melampaui nada dan irama, yang membuat para penggemar merasa tersihir.

Barangkali Page dan kawan-kawan memang punya kepercayaan spiritual. Barangkali mereka hanya menjadikannya inspirasi utama dalam berkarya—sebagaimana kelompok musik lain. Kontroversi itu akan tetap hidup selama masih ada segelintir manusia yang hobi mengunyah teori-teori konspirasi berbau mistis.

Untuk perkara kontroversi Satanisme itu, Page berkata kepada Crowe: "Aku tak peduli apa yang orang lain pikirkan, apa kata kritikus. Sejauh ini aku sangat-sangat beruntung karena tampaknya orang-orang suka mendengar musik yang suka aku mainkan. Bukankah itu keberuntungan terbesar bagi seorang musisi?”

Led Zeppelin bubar pada 4 Desember 1980, tepat hari ini 40 tahun lalu, setelah pemain drum mereka, John Bonham, meninggal dunia.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 21 September 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait MUSIK ROCK atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Musik
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nuran Wibisono & Irfan Teguh