Menuju konten utama

Saat "Merah Putih" Meluncur Bersama Roket SpaceX Elon Musk

Hanya dalam 12 tahun sejak didirikan, SpaceX telah mengantongi lebih dari 100 kontrak peluncuran satelit.

Saat
Peluncuran roket SpaceX Falcon 9 di Vandenberg Air Force Base, California, AS (22/5/18). NASA/Bill Ingalls

tirto.id - Pada 2014, Government Accountability Office, Amerika Serikat merilis laporan tentang berapa biaya yang dibutuhkan untuk meluncurkan wahana ke luar angkasa. Dalam laporan itu, sebagaimana ditulis Karla Lant, jurnalis Futurism, United Launch Alliance (UAC), aliansi perusahaan peluncur yang diperkuat Boeing dan Lockheed Martin, dinilai “kurang transparan.” Biaya peluncuran wahana yang dibanderol oleh UAC kemahalan.

Elon Musk, pendiri SpaceX, startup perusahaan peluncuran wahana ke luar angkasa, melalui akun Twitter resminya mengatakan: “Terdapat perbedaan biaya sebesar $300 juta antara SpaceX dan Boeing/Lockheed. Nilai tersebut melebihi harga rata-rata satelit.” Musk lantas mengakhiri kicauannya itu dengan berujar: “Terbang bersama SpaceX bisa diartikan Anda memperoleh satelit gratis.”

SpaceX merupakan perusahaan transportasi luar angkasa Amerika Serikat yang didirikan pada 2002 oleh Elon Musk. Pada 24 Maret 2006, momentum pertama SpaceX sukses melakukan peluncuran roket. Saat itu, Falcon 1, roket pertama mereka, meluncur ke angkasa dari kawasan Kwajalein di Pasifik. Sejak ujicoba tersebut, SpaceX telah sukses meluncurkan 62 misi peluncuran roket dengan berbagai tujuan, semisal mengirimkan satelit ke orbit. Hingga kini, startup tersebut telah mengantongi investasi sebesar $1,9 miliar, termasuk uang senilai $1 miliar dari Google.

SpaceX, si Peluncur Berbiaya Murah

Hanya 12 tahun sejak didirikan, SpaceX telah punya lebih dari 100 kontrak peluncuran satelit. Salah satu alasannya, SpaceX menghadirkan biaya peluncuran wahana yang murah bagi klien. Sebagaimana dikutip dari laman resmi SpaceX, terdapat dua roket yang mereka tawarkan guna dijadikan “boncengan” wahana, yakni Falcon 9 dan Falcon Heavy. Masing-masing roket, bisa digunakan untuk mengirimkan wahana ketiga tujuan, Low earth orbit (160 hingga 2.000 km di atas permukaan Bumi), Geosynchronous transfer orbit (orbit di ketinggian 42.164 km di atas permukaan Bumi), dan menuju planet Mars.

Biaya jasa dengan roket Falcon 9, merujuk laman tersebut, dibanderol mulai dari $62 juta untuk sekali peluncuran. Sementara Falcon Heavy dibanderol $90 juta untuk sekali mengangkasa.

Eric Berger, jurnalis Ars Technica, dalam salah satu laporannya menyebut secara tersirat tarif yang dibanderol roket-roket SpaceX jauh lebih murah dibandingkan kompetitor, terutama UAC. Delta IV Heavy, roket milik UAC, yang memiliki kemampuan setara Falcon Heavy, memiliki tarif sampai $350 juta untuk sekali terbang. Dalam rapat yang dilakukan House Armed Services Committee, membahas strategi pertahanan AS, disebutkan bahwa untuk konfigurasi tertentu, biaya Delta IV Heavy bisa mencapai antara $400 juta dan $600 juta.

Masih merujuk laporan Berger, institusi antariksa AS, NASA, pun tak sanggup mengungguli murahnya tarif yang dibanderol SpaceX. Pada 2011, NASA mengembangkan roket sejenis Falcon Heavy berbiaya $2,6 miliar. Rencananya, karya mereka akan mulai digunakan pada 2017. Sayangnya, pengembangan molor hingga 2020 mendatang. Biaya pengembangan membengkak jadi $7,8 miliar. Angka pengembangan roket NASA itu setara dengan biaya 86 kali meluncurkan Falcon Heavy dari SpaceX.

Mengapa SpaceX sanggup memberikan harga murah? Jawabannya adalah penggunaan reusable rocket alias roket ulang-alik alias roket daur-ulang.

SpaceX mengembangkan roket ulang-alik semenjak pengembangan Falcon 1. Startup tersebut menggunakan parasut sebagai medium mendaratkan ke Bumi roket yang telah diluncurkan. Versi terbaru roket Falcon 9, awalnya pun dikembangkan untuk menapak Bumi kembali dengan parasut, tetapi bergeser menggunakan descent landing system karena parasut dinilai tidak efektif.

Gwynne Shotwell, Presiden SpaceX, mengatakan penggunaan roket ulang-alik mampu menekan biaya hingga 30 persen.

Elon Musk, sebagaimana dikutip dari Space News, mengatakan kesuksesan SpaceX mengembangkan roket ulang-alik ialah sesuatu capaian yang fundamental. “Ini sesuatu yang mendasar di dunia roket sama seperti platform transportasi lain, semisal mobil atau pesawat atau sepeda,” tegas Musk.

Keunggulan SpaceX dalam memberikan harga yang murah untuk meluncurkan wahana ke luar angkasa jadi salah satu sebab Telkom Indonesia, dalam meluncurkan satelit Merah Putih atau Telkom-4 menggunakan SpaceX.

Arif Prabowo, Vice President Corporate Communication PT Telkom Indonesia Tbk, mengatakan kepada Tirto alasan menggunakan SpaceX ialah “efisiensi. SpaceX lebih murah dibandingkan launcher lainnya [..] Kenapa bisa lebih murah, karena roket dia bisa digunakan kembali.”

Sementara itu, Ricky Kusnandar, Satellite Ground Control System Manager Telkom, mengatakan keterlibatan SpaceX sebagai perusahaan pembawa roket Telkom ke orbit karena startup tersebut “memilih” Telkom, bukan sebaliknya.

“Kita tidak memilih SpaceX, tapi SpaceX memilih kita. Ini terjadi karena proses pengadaan di kita menggunakan e-option (lelang). Kita tawarkan ke beberapa manufaktur, perusahaan peluncur dan yang menang SpaceX,” kata Ricky pada Tirto.

Secara umum, Ricky menyebut bahwa salah satu alasan mengapa SpaceX menjadi pemenang lelang yang diadakan Telkom ialah “harga SpaceX kompetitif dibandingkan (perusahaan peluncur) yang lainnya.”

Selain unggul soal harga, dalam kasus satelit Telkom, jadinya SpaceX mitra ialah karena mereka memiliki tingkat keberhasilan peluncuran yang cukup tinggi. Data yang dilansir Telkom, dari 57 misi peluncuran yang dilakukan SpaceX dari 2010 hingga 2018, hanya satu misi yang gagal. SpaceX memiliki tingkat kesuksesan 98,25 persen.

Infografik Ke luar angkasa naik spacex

Satelit Merah Putih

Rencananya pada 7 Agustus 2018—semula direncanakan 4 Agustus—Telkom Indonesia akan meluncurkan satelit anyarnya ke orbit Bumi, ke slot orbit 108° BT. Satelit tersebut ialah Telkom-4 atau bernama Merah Putih. Merah Putih merupakan satelit yang dibuat Space System/Loral (SSL), yang termasuk jenis fixed satellite service. Merujuk laman resmi SSL, satelit jenis ini umum digunakan untuk mendistribusikan konten televisi dan komunikasi. Selain Merah Putih, satelit berjenis sama ialah BRIsat, satelit milik Bank BRI yang telah sukses mengorbit pada 2016.

Selain fixed satellite service, SSL pun memiliki jenis satelit lain, yakni high throughput satellites dan direct-broadcast satellites. High throughput satellites merupakan satelit yang dirancang memberikan koneksi internet berkecepatan tinggi. Sementara direct-broadcast satellites adalah satelit yang dibuat untuk mentransmisikan sinyal bagi beragam aplikasi, semisal televisi atau radio.

Satelit Merah Putih merupakan satelit yang memiliki 60 transponder—transmitter responder, perangkat otomatis yang menerima, memperkuat dan mengirimkan sinyal dalam frekuensi tertentu. Menurut penuturan Arif, ini merupakan “permintaan dari kebutuhan transponder satelit yang masih cukup tinggi.”

Ricky menuturkan 60 transponder tersebut terbagi ke dalam 24 transponder berkekuatan 36 MHz Std-C Band dan 12 transponder berkekuatan 36 MHz Ext-C Band yang mengarah ke Asia Tenggara serta 24 transponder berkekuatan 36 MHz Std-C Band yang mengarah ke Asia Selatan.

Satelit Merah Putih merupakan satelit ke-10 yang dioperasikan Telkom sejak 1976. Sebelum satelit Merah Putih benar-benar diluncurkan, kini Telkom hanya mengoperasikan dua satelit aktif, yakni Telkom-2 dan Telkom-3S. Ricky menegaskan “secara general fungsi Telkom-2 dan Telkom-3S (sama). (Perbedaan) Telkom-4 (terletak pada kepemilikan) beam (atau antena) yang (mengarah) ke Asia Selatan.”

Arif dan Ricky tak menyebut berapa biaya yang dikucurkan Telkom untuk satelit baru mereka ini. Namun, pemberitaan Space News menyebut The National Broadband Network (NBN) Australia mengeluarkan uang senilai $668 juta untuk membeli dua satelit dari SSL atau $334 juta per satelit. Kedua satelit tersebut dibeli NBN untuk menyajikan akses internet ke seluruh populasi di Australia.

Dalam paper berjudul “Estimating the Cost of Space Systems” yang ditulis David Kanipe dari Texas A&M University, pembuatan satelit komunikasi membutuhkan biaya sebesar $429 ribu per kilogram berat satelit.

Baca juga artikel terkait SATELIT MERAH PUTIH atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra