Menuju konten utama

Saat Kata "Insan Pers" Lenyap dari Pidato Kebangsaan Prabowo

Kata "insan pers" hilang dari pidato kebangsaan Prabowo Subianto, padahal dalam salinan yang sempat dibagi ke wartawan disebut jelas.

Saat Kata
Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (kiri) dan Sandiaga Uno (kanan) menyapa pendukung saat akan menyampaikan pidato kebangsaan di Jakarta Convention Center, Jakarta, Senin (14/1/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Pidato kebangsaan Prabowo Subianto, pada Senin malam (14/1/2019) menuai kritik. Salah satunya hilangnya kata “insan pers” dalam pidato bertajuk “Indonesia Menang.” Padahal dalam naskah salinan yang sempat dibagikan tim sukses paslon nomor urut 02 kepada wartawan, kata “insan pers” itu ada.

Kalimat itu mestinya berbunyi “Kami akan hentikan ancaman persekusi terhadap individu, organisasi dan insan pers yang bisa saja berseberangan pendapat dengan pemerintah.”

Namun, Prabowo dalam pidatonya justru menyatakan “Kami akan hentikan ancaman persekusi terhadap individu, organisasi yang bisa saja berseberangan pendapat dengan pemerintah.”

Dalam video [menit 52.32], terlihat ada jeda sekitar dua detik saat Prabowo singgah pada diksi "organisasi", lalu langsung meloncat ke kalimat "yang bisa berseberangan dengan pemerintah". Raut wajahnya seakan kebingungan.

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional ( BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade mengatakan ‘hilangnya’ kata insan pers karena waktu pidato tergolong singkat. Padahal capres nomor urut 02 itu dijadwalkan berpidato selama 40 menit, tapi berdasarkan catatan transkrip ia berpidato sepanjang 1 jam 23 menit.

“Tidak juga [dihilangkan], itu soal penyampaian pidato saja. Sebab, namanya pidato itu terburu-buru dan disiarkan langsung,” kata Andre ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (16/1/2019).

Politikus Partai Gerindra ini mengatakan Prabowo menginginkan agar pers tidak diatur dan tidak diintervensi oleh pemerintah serta pemilik saham perusahaan media.

Andre menyatakan kebebasan pers penting di negara ini dan capres nomor urut 02 itu tidak menginginkan intervensi pemerintah.

“Jangan menggaungkan kebebasan, tapi faktanya ada yang menekan dari belakang, ada indikasi seperti itu di Indonesia,” kata dia.

Efek dari intervensi terhadap pers, lanjut Andre, ialah kritik dianggap tabu, pemberitaan tidak berimbang. “Prabowo tidak mau pemimpin redaksi dipanggil dan ditekan [intervensi],” ucap dia.

Menurut Andre, Prabowo menginginkan pers independen dalam memberitakan sesuatu. Selama ini, kata Andre, kubu Prabowo-Sandiaga ditolong oleh media sosial dalam pemberitaan.

“Kami tertolong oleh media sosial dalam kampanye, karena media mainstream banyak di tempatnya [berpihak] kepada Jokowi, beruntung peran media sosial sangat signifikan saat ini,” kata Andre.

Media sosial yang Andre maksud ialah akun resmi BPN maupun akun-akun para pendukung Prabowo dan Sandiaga.

Namun, Koordinator Divisi Penelitian Remotivi Muhamad Heychael berpendapat seharusnya Prabowo bisa bersikap demokratis terhadap pers. Akan tetapi, kata Haychael, melihat tindak tanduknya selama ini dirinya ragu akan hal itu.

“Pernyataan dia yang menilai pers kerap bohong, memaki wartawan Jakarta Post, membuat saya ragu kalau Prabowo adalah calon presiden yang pro kebebasan pers,” kata Haychael.

Haychael mengatakan semestinya Prabowo bersikap demokratis terhadap pers, misalnya menggunakan mekanisme penyelesaian di Dewan Pers bila merasa dirugikan, bukan memvonis pers tidak independen.

Ia menduga Prabowo menyerang pers akibat konglomerasi media yang hampir semuanya berada di belakang Jokowi dan Prabowo tahu kontestasi tidak imbang.

“Ini masalah. Namun pada 2014 ketika Prabowo menikmati situasi yang sama seperti Jokowi, dia tidak aneh-aneh. Menurut saya dua capres ini sama saja dalam hal kebebasan pers. Rapornya merah,” kata Haychael.

Kondisi itu, kata Haychael, berawal dari para pemilik media yang berpolitik dan menjadikan medianya sebagai sarana kampanye, sehingga kontestasi tidak imbang.

“Praktik ini tidak berubah sejak 2014, yang berubah cuma peta koalisi. Pada 2014 misalnya, MNC Group terlihat sekali pro-Prabowo, tapi tahun ini mereka bersama petahana,” kata dia.

Karena itu, Haychael mengimbau pers untuk independen dalam tahun politik, yaitu hanya berpihak kepada kebenaran.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan belum menyimpulkan kalau Prabowo dendam terhadap pers.

“Tapi bisa dilihat sejarahnya, pernyataan-pernyataan dia ke pers kurang baik selama ini,” ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto.

Ade menegaskan konglomerasi media tidaklah benar dan membuat pers tidak sehat, serta mengganggu independensi keredaksian. Ia mengaitkan soal konglomerasi media yang saat ini merapat ke Jokowi sehingga membuat Prabowo khawatir diberitakan tidak netral.

“Media harus independen, pers patuh kepada kode etik. Dalam tahun politik, jangan berpihak terhadap satu capres-cawapres,” ucap Ade.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz