Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Saat Kasus Korupsi Tak Lagi Menjadi Extraordinary Crime

Zaenur sebut kemudahan pemberian remisi terhadap napi koruptor akibat putusan MA yang membatalkan PP Nomor 99/2012.

Saat Kasus Korupsi Tak Lagi Menjadi Extraordinary Crime
Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari berjalan usai menjalani sidang pembacaan Putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2/2021). ANTARA FOTO/ Reno Esnir/foc.

tirto.id - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham pada Selasa, 6 September 2022 mengumumkan pemberian kebebasan bersyarat bagi 23 napi kasus korupsi. Hal ini diklaim berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menyebut narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali diberikan sejumlah hak.

Hak dimaksud berupa remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Adapun narapidana tindak pidana korupsi yang sudah dikeluarkan Surat Keputusan PB sebanyak 23 orang, yang langsung menjalani pembebasan bersyarat pada 6 September 2022, yaitu 4 (empat) narapidana dari Lapas Kelas IIA Tangerang dan 19 narapidana dari Lapas Kelas I Sukamiskin,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti dalam keterangan, Rabu (7/9/2022).

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri meminta masyarakat menghormati keputusan pembebasan bersyarat kepada 23 napi kasus korupsi oleh Kemenkumham. Menurut dia, hal itu adalah keputusan hukum yang harus dihormati.

“Begini karena kita sebagai negara hukum, maka setiap keputusan hukum yang dibentuk harus dihormati,” kata Firli di Gedung DPR RI pada Rabu (7/9/2022).

Menurut Firli, selain Kemenkumham, ada hakim yang juga telah memberi keputusan dalam pembebasan bersyarat tersebut. Sehingga hal itu bukan jadi wewenang dia di KPK.

“Karena yang pasti mengetahui menangani perkara adalah hakim. Hakim lebih paham soal perkara yang diputuskan, oleh karenanya KPK menghormati setiap keputusan yang diberikan oleh Mahkamah Agung atau badan peradilan lain,” kata dia.

Salah satu napi kasus korupsi yang menjadi sorotan publik usai bebas bersyarat adalah Pinangki Sirna Malasari. Ia adalah mantan jaksa yang membuat Joko Soegiarto Tjandra atau Djoko Tjandra bebas dari jerat hak tagih atau cessie Bank Bali itu, kini tak lagi mendekam di Lapas Kelas II-A Tangerang.

“Hari ini tidak hanya beliau [Ratu Atut Chosiyah]. Karena bebas bersyaratkan juga Pinangki, Mirawati (Basri), dan Desi Arryani," ucap kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Banten Masjuno, Selasa, 6 September 2022.

Pinangki telah menjalani penahanan kurang lebih 2 tahun, itu yang juga menjadi alasan ia bebas. “Kurang lebih (ditahan) 2 tahun. Sama syaratnya, disamakan semuanya karena sudah tertuang secara tertulis,” imbuh Masjuno.

Dalam perkara yang membelitnya, Pinangki telah menerima 500 ribu dolar AS atau sekitar Rp7 miliar dari 1 juta dolar Amerika Serikat yang dijanjikan Djoko Tjandra. Sedangkan hakim, hanya memintanya membayar denda Rp600 juta.

Hukuman Pinangki bahkan mendapat diskon “cuci gudang,” dipotong 60 persen oleh majelis hakim Tipikor Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pada 14 Juni 2021. Itu hanya berselang sekitar empat bulan dari vonis pertamanya yaitu 10 tahun kurungan penjara. Pinangki mendekam di penjara sejak 11 Agustus 2020.

Kenapa Koruptor Banyak Mendapat Keringanan Hukuman?

Sontak, hal tersebut menuai kritik dari aktivis antikorupsi. Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebut kesalahan penghitungan dalam pemberian kebebasan bersyarat bagi koruptor berkontribusi dalam memberikan keringanan hukuman bagi koruptor.

Boyamin menyebut bahwa penghitungan pemberian kebebasan bersyarat selama ini salah karena tak dihitung dari total masa hukuman, namun terlebih dahulu dikurangi dengan remisi.

“Harusnya kan menghitungnya itu adalah 2/3 dari masa tahanan, bukan dipotong remisi dahulu baru kemudian 2/3. Jadi misal ini 6 tahun, 2/3-nya, kan, mestinya 4 tahun. Selama ini cara menghitungnya dipotong dulu remisi 1 tahun sehingga tinggal 5 tahun, menjadi 2/3-nya tinggal 3 tahun lebih sedikit,” kata Boyamin.

Boyamin menambahkan, “Itu cara menghitung yang salah. Jadi saya menyesalkan penghitungan remisi, bebas bersyarat, dan lain sebagainya itu digabung. Mestinya bebas bersyarat itu tetap 2/3 dari total masa hukuman.”

Selain itu, pemberian remisi bagi koruptor yang tak lagi dibatasi dengan syarat dan ketentuan khusus, juga turut meringankan hukuman para bandit uang rakyat tersebut.

Bermula dari Putusan MA yang Batalkan PP Nomor 99/2012

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menceritakan kemudahan pemberian remisi terhadap napi koruptor akibat putusan Mahkamah Agung yang membatalkan PP Nomor 99 tahun 2012 tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi napi koruptor untuk mendapatkan remisi.

“Remisi itu bisa didapatkan oleh seorang terpidana korupsi karena tahun 2021 Mahkamah Agung membatalkan PP Nomor 99 2012 yang memberi batasan pemberian remisi kepada terpidana korupsi,” kata Zaenur.

Menurut Zaenur, berdasarkan PP Nomor 99/2012, ada dua syarat utama seorang terpidana korupsi mendapatkan remisi. Pertama, menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama membongkar kasus korupsi yang dilakukan. Kedua, sudah membayar lunas denda dan uang pengganti.

“Ketika dibatalkannya PP Nomor 99/2012, maka semua terpidana korupsi itu berhak mendapatkan remisi,” kata Zaenur dalam keterangan tertulis.

Hal senada disampaikan Boyamin Saiman. Ia menyebut DPR menghendaki pemberian remisi untuk semua narapidana termasuk koruptor.

“Memang kehendak DPR membuat remisi berlaku untuk semua, termasuk korupsi. Nampaknya DPR sekarang persepsi terhadap korupsi tidak menjadi penting lagi sehingga membolehkan fasilitas pengurangan pidana jadi milik semua, termasuk koruptor,” kata Boyamin.

Cara Negara Obral Remisi bagi Koruptor

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan, dengan penetapan RUU Pemasyarakatan sebagai UU, maka status warga binaan akan sama tanpa ada perbedaan terhadap kasus korupsi dan lainnya. Termasuk dalam pemberian hak remisi yang sebelumnya tidak bisa diberikan kepada narapidana kasus korupsi.

“Kalau kita bicara doktrin, narapidana kalau sudah sampai pembinaan di dalam lapas, maka sudah tidak boleh ada lagi perbedaan. Karena sekali lagi lapas harus memiliki fungsi restoratif dan rehabilitasi, maka harus direhabilitasi dan dalam konteks due process of law. Maka apabila itu menjadi haknya harus diberikan," kata Edward di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Setali tiga uang dengan ungkapan Edward, DPR pun mengamini kebebasan napi koruptor dengan alasan telah sesuai dengan amanat UU Pemasyarakatan yang telah direvisi.

Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mengatakan, pembebasan bersyarat 23 narapidana koruptor sesuai aturan yang berlaku. “Intinya itu saja. Peraturan perundangan mengatur itu. Nggak mungkin nabrak itu. Dikasih remisi sekian, ada itu peraturan perundangannya pasti,” kata Pacul di Gedung DPR RI.

Selain itu, sebagaimana disebut oleh peneliti Pukat UGM, MA telah membatalkan PP Nomor 99 tahun 2012 yang mengatur tentang syarat khusus bagi narapidana koruptor untuk mendapatkan remisi. Putusan MA mengabulkan uji materiil PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Sejumlah pasal yang turut dicabut akibat putusan tersebut, antara lain: pasal justice collaborator (JC) pada Pasal 34A ayat (1) huruf a dan ayat (3) dan Pasal 43A ayat (1) huruf a dan ayat (3). Sehingga, seorang narapidana koruptor, terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan HAM berat tidak perlu menjadi JC hanya untuk mendapat remisi.

Lalu putusan MA direspons Kemenkumham dengan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Saat itu, setidaknya ada 3 pertimbangan putusan MA yang mencabut PP Nomor 99/2012 tersebut. Pertama, PP 99/2012 dianggap tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice. Kedua, regulasi itu juga dipandang diskriminatif, karena membeda-bedakan perlakuan kepada terpidana. Ketiga, kehadiran peraturan itu mengakibatkan situasi overcrowded di lembaga pemasyarakatan.

Menanggapi pertimbangan MA tersebut, ICW menyebut bahwa MA inkonsisten terhadap putusannya sendiri. Sebab, melalui putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015, MA telah menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana.

Negara Tak Bisa Miskinkan Koruptor

Selain lemahnya pembatasan hak remisi bagi koruptor, Zaenur Rohman menyebut absennya Undang-Undang Perampasan Aset yang membuat para koruptor menilai bahwa risiko korupsi tidak lebih tinggi dibandingkan keuntungan yang mereka dapatkan.

“Pemidanaan korupsi sebagai bermotif ekonomi itu pemidanaannya harus berorientasi kepada penjeraan secara ekonomi. Biasa disebut sebagai pemiskinan. Tidak adanya hukuman ekonomi itu menyebabkan pelaku pidana korupsi itu menganggap potensi keuntungan melakukan korupsi itu lebih tinggi,” kata Zaenur.

Untuk itu, ia mendorong pemerintah untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset. Hal tersebut bertujuan untuk memiskinkan koruptor sehingga pelaku tidak lagi menganggap bahwa potensi keuntungan melakukan korupsi itu lebih tinggi daripada risikonya.

“Maka segera sahkan RUU Perampasan Aset yang di dalamnya terdapat banyak fitur banyak pengaturan yang akan sangat mendukung perampasan aset tersebut," ujar Zaenur.

Zaenur menambahkan, “Nanti jika diperlakukan perampasan aset, harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu kemudian harus akan dirampas oleh negara.”

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola juga menyebut, absennya UU Perampasan Aset merugikan negara. Pasalnya, pemulihan kerugian negara tak dapat dilakukan secara maksimal tanpa adanya instrumen tersebut.

“(UU Perampasan Aset) ini harus dipandang sebagai hal yang positif sebenarnya bagi pemberantasan korupsi, dalam tanda kutip untuk menyelamatkan uang negara," kata Alvin dalam siaran persnya.

Alvin juga menyebut UU perampasan aset dapat membantu negara untuk melakukan penarikan aset yang disembunyikan di luar negeri. Yang saat ini, hal tersebut hanya mengandalkan perjanjian kerja sama antar negara.

“Dalam beberapa kasus korupsi yang memang lintas negara, selama ini kita hanya mengandalkan perjanjian kerja sama saja dengan beberapa negara itu. Untuk itu, beneficial sekali bagi pemerintah untuk segera mengundangkan (RUU Perampasan Aset)," kata Alvin.

Baca juga artikel terkait PEMBERANTASAN KORUPSI atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz