Menuju konten utama

Saat Investasi Era Jokowi Tak Mampu Mengerek Serapan Tenaga Kerja

Ekonom CORE Muhammad Faisal menilai rendahnya serapan tenaga kerja di tengah maraknya investasi erat kaitannya dengan kesalahan dalam mengambil keputusan.

Saat Investasi Era Jokowi Tak Mampu Mengerek Serapan Tenaga Kerja
Presiden Joko Widodo (kiri), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (tengah) dan pemilik pabrik gula PT Prima Alam Gemilang Andi Syamsuddin Arsyad (kanan) berbincang mengunjungi gudang pabrik gula di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, Kamis (22/10/2020). ANTARA FOTO/Biroperskepresiden/JJ/foc.

tirto.id - Sebanyak 295.387 orang tenaga kerja terserap pada kuartal III 2020. Angka ini lebih baik dibandikan kuartal II 2020 yang mencapai 263.129 orang. Demikian bunyi laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jumat (23/10/2020).

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan bila dibandingkan dengan kuartal III 2019, penyerapan tenaga kerja pada kuartal III 2020 mengalami kenaikan yang signifikan. Angkanya saat itu hanya mencapai 212.581 orang.

Secara total selama Januari hingga September 2020, realisasi penyerapan tenaga kerja mencapai 861.581 orang. Seluruh serapan tenaga kerja itu berasal dari 102.276 proyek investasi.

“Kalau target tenaga kerja di 2020 sebesar 1,2 juta. Sekarang 861.000 jadi masih punya waktu Q1 sampai Q4,” ucap Bahlil dalam konferensi pers virtual, Jumat (23/10/2020).

Sayangnya, catatan positif peningkatan angka serapan tenaga kerja itu masih jauh untuk bisa mengimbangi tingginya angka pengangguran di tanah air. Buktinya, data penurunan jumlah pengangguran bukannya makin agresif, justru makin memble.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penurunan jumlah pengangguran terus melambat sejak pengangguran mencapai puncak tertinggi di 2005. Selama 2005-2009 rata-rata penurunan mencapai 6,82 persen. Namun pada periode 2010-2014, penurunannya hanya 3,94 persen. Lebih parah lagi, pada periode 2015-Februari 2020, penurunan jumlah pengangguran hanya 0,96 persen.

Akibatnya, hingga Februari 2020, tercatat sedikitnya ada 6,88 juta rakyat Indonesia yang masih menganggur. Angka tersebut bakal terus meningkat mengingat jumlah angkatan kerja baru terus bertambah.

Padahal pemerintah di bawah kemepimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) gencar menggenjot investasi asing masuk ke Indonesia, dan diklaim bakal banyak mencetak lapangan kerja baru. Dengan kata lain, maraknya investasi asing yang masuk, tak banyak berdampak pada penciptaan lapangan kerja baru.

Dinilai Salah Resep

Ada sejumlah penyebab utama mengapa investasi yang masuk ke Indonesia justru gagal membuka lapangan kerja baru seperti harapan pemerintah. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira berkata, faktor utama dari lambatnya penanganan pengangguran yaitu “investasi Indonesia didominasi sektor jasa.”

“Implikasinya kalau sektor jasa itu tidak banyak menyerap tenaga kerja. Apalagi kita melihat sektor jasa konstruksi itu dalam perkembangan pembangunan infrastruktur yang begitu masif 6 tahun ke belakang ini, tapi teknologi infrastruktur itu semakin mengurangi porsi tenaga kerja,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (23/10/2020).

Kemudian faktor berikutnya terkait dengan sektor jasa digital. Bhima bilang, sektor tersebut tidak banyak menyerap tenaga kerja sebanyak sektor pertanian dan sektor industri manufaktur.

“Ini juga yang terjadi adalah sektor jasa ini tidak punya relasi dengan industri manufaktur dan industri pertanian. Seperti yang kita lihat, kemunculan investasi yang besar di sektor ecommerce tidak berkorelasi dengan produksi industri manufaktur,” kata Bhima.

Artinya, kata Bhima, ecommerce banyak diisi oleh barang-barang impor. “Nah ini jadi kan yang menyebabkan investor memilih untuk masuk ke sektor jasa. Sementara sektor hulunya kurang menarik untuk dimasuki investor,” kata Bhima.

Selain itu, investasi boros juga jadi sorotan Bhima. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR, semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.

“Yang kedua adalah berkaitan mengenai ICOR itu, yang rata-rata di atas 6,5, ICOR yang tinggi ini membuktikan bahwa investasi ini menjadi boros kemudian investor melihat biaya logistiknya juga berpengaruh pada ICOR yang masih 23 persen. Bahkan dalam laporan pertanggungjawaban presiden 2020 itu pernah ada bahasan juga soal konektivitas menurunkan biaya logistik. Tapi di situ diakui bahwa di situ infrastruktur belum mampu menurunkan biaya logistik,” kata dia.

Bhima bilang, ada masalah di proyek pembangunan strategis nasional yang selama ini berjalan untuk meningkatkan serapan tenaga kerja secara keseluruhan.

“Korupsi juga jadi masalah, kemudian suku bunga kita yang mahal, ini juga pernah dibahas. Dalam UU Cipta Kerja tidak dibahas, dalam dialog pemerintah juga jarang dibahas,” kata Bhima.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal. Ia mengatakan, rendahnya serapan tenaga kerja di tengah maraknya investasi ada kaitannya erat dengan kesalahan dalam hal mengambil keputusan, terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja.

“Jangan lihat hanya nilainya saja, tapi arahnya ini ke mana ini investasinya. Tentu saja beda antara investasi di sektor primer tambang dan manufaktur dan jasa. Dalam beberapa tahun terakhir investasi manufaktur itu makin turun dan yang naik itu investasi banyak masuk di sektor jasa dan pertambangan,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (23/10/2020).

Faisal menjelaskan, sebelumnya investasi di Indonesia dominannya selalu di manufaktur, akan tetapi belakangan investasi yang banyak diterima adalah sektor jasa yang sedikit menyerap tenaga kerja.

“Nah kalau yang mengharapkan adanya tenaga kerja makanya itu tadi hubungkan antara strategi investasi itu dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Ya yang pasti inginnya kan ngelink investasi dan penyerapan tenaga kerja, tapi kan arahnya enggak jelas," kata dia.

Faisal bilang strategi ini seharusnya tidak hanya dilakukan BKPM sendirian. Perlu ada koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Koordinator bidang Investasi dan Maritim.

“BKPM itu tempat registrasi saja, tapi kalau sifatnya kosenptual, kita mau bangun investasi apa, stimulusnya apa kebijakannya apa. Ini kan mengenai bauran kebijakan. Dari Kemenko, Kemenkeu dari sisi stimulus fiskal, kemudian dari kementerian perindustrian nih kalau dari sisi manufaktur kan macam-macam,” kata dia.

Capaian BKPM yang kerap kali mengklaim investasi naik, kata Faisal, seharusnya bisa lebih spesifik lagi. Jangan berpatokan pada nilai, namun investasi sektor mana yang bisa menyerap angka pengangguran sebanyak mungkin.

“Kalau BKPM, kan, happy-happy saja investasi banyak masuk, itu plus poin untuk BKPM kan. Tapi masalah hubungan dengan tenaga kerja, kan, ini banyak yang di luar BKPM ini kewenangannya,” kata Faisal.

Selain itu, kata dia, ada permasalahan lain di sektor manufaktur Indonesia yang merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbanyak masih kalah unggul dibanding negara lain. Faisal menyebut, kasus ini terjadi saat Presiden Jokowi marah-marah karena ada relokasi 33 perusahaan dari Cina keluar. Sayangnya, 23 pabrik memilih Vietnam, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Tidak ada satupun relokasi pabrik yang memilih Indonesia.

“Banyak sebetulnya orang yang mau investasi di manufaktur, jadi makanya saya katakan, realisasinya gak serta merta membuat banyak investor yang masuk ke Indonesia di sektor manufaktur. Tapi daya saing kita di manufaktur itu relatif rendah dibandingkan dengan negara lain,” kata Faisal.

Faisal mewanti-wanti sebaiknya BKPM melakukan koordinasi dulu dengan menteri lain yang terkait, mengenai investasi mana saja yang harus diterima.

“Kalau tujuannya menyerap tenaga kerja, investasi mana dulu yang diterima? Terus kalau mau nyerap tenaga kerja, sektor mana yang nganggur. Nah, terima investor yang sesuai dengan kemampuan penganggur kita. Jangan sampai salah resep, kita ini surplus pengangguran yang lulusan SMK, diploma, tapi investasi yang masuk itu sektor tambang. Kan enggak masuk sama kebutuhan,” kata dia.

Baca juga artikel terkait INVESTASI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz