Menuju konten utama
Korps Insulinde

Saat Indonesia Diduduki Jepang, Belanda Membentuk Pasukan Khusus

Ketika Indonesia diduduki Jepang, Belanda membentuk sebuah pasukan khusus di Colombo, Sri Lanka, untuk menyusup ke Sumatra.

Saat Indonesia Diduduki Jepang, Belanda Membentuk Pasukan Khusus
Pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). FOTO/Istimewa

tirto.id - Setelah kedatangan Jepang dan terusir dari Indonesia, Belanda mengungsi ke Australia dan Sri Lanka. Dari negara di Asia Selatan itu Belanda menyiapkan sebuah pasukan khusus. Beberapa personelnya antara lain Fritz Mollinger, Kapten Willem Jan Scheepens, Kapten HGC Pel, dan Letnan Henri Emile Wijnmalen.

Mollinger telah berdinas di militer Belanda sejak 1922 dan sudah berpangkat mayor. Sementara Jan Scheepens pernah bertugas pada Korps Marsose di Hindia Belanda. Kakek dan ayahnya adalah mantan serdadu KNIL. Ayah Jan Scheepens terbunuh di Aceh oleh tusukan rencong.

Sebanyak 38 orang dipilih untuk pasukan khusus itu, yakni 8 perwira, 12 sersan dan 18 kopral. Menurut laporan NRC Handelsblad (25/10/1986), Mayor Frits Mollinger mengatakan bahwa pekerjaan mereka di masa depan akan menimbulkan bahaya perang yang lebih dari biasanya.

Pada 1 Agustus 1942, didirikan Korps Insulinde. Ini adalah nama samaran dari ide Kapten Pel untuk Netherlands Special Operation (NSO). Korps Insulinde berbasis di Kamp D, di pinggiran Desa Laksapitiya, 20 km ke selatan kota Colombo. Mereka mendapatkan pelatihan gerilya ekstensif. Korps Insulinde mulanya tergabung dalam komando Inggris, namun korps ini lalu di bawah Laksamana Helfrich.

Sebelum Korps Insulinde terbentuk, pada Mei 1942 sebuah penyusupan yang dipimpin Letnan Wijnmalen berakhir gagal. Para penyusup yang dipimpin perwira kelahiran Bogor 1910 itu disikat Kempeitai Jepang. Antara Desember 1942 hingga Agustus 1945, Korps Insulide terlibat dalam 8 operasi rahasia dan 13 pendaratan. Banyak pendaratan mereka dibantu oleh kapal selam.

Pendaratan di Trumun, sebelah barat pulau Sumatra, pada Desember 1942 adalah misi pendaratan pertama. Kapal selam O-24 milik Belanda membantu membawa dua kelompok penyusup. Mayor Pel dan Kapten Scheepens mengantar anak buah mereka dengan perahu karet menuju pantai. Mereka mengumpulkan informasi di Aceh yang menjadi daerah pendudukan Jepang. Selain posisi militer Jepang, mereka berusaha mencari tahu tentang kehidupan perekonomian hingga suasana hati rakyat Aceh. Kedua perwira pengantar itu adalah ahli soal Aceh.

Mayor Mollinger tidak lama memimpin Korps Insulinde. Posisinya digantikan oleh Mayor Pel. Mollinger kemudian dipindahkan ke Suriname. Menurut Jaap de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia (2015:165), Mollinger selanjutnya dipekerjakan di Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS) di Australia. Ia bertugas memimpin NEFIS III yang mengurusi pelatihan. Mollinger menduduki jabatan itu sejak Februari 1944.

Saat Mollinger memimpin NEFIS III, terjadi gesekan antara orang Indonesia dengan orang Belanda di tubuh KNIL. Sementara itu di bawah komando Mayor Pel, Korps Insulide terus menyusup. Dengan risiko kematian yang senantiasa mengintai, Kapten Scheepens terus berusaha menyusup ke Lhoksumawe dan banyak tempat lainnya di sekitar Aceh.

Selanjutnya Kapten Scheepens mengambil alih kepemimpinan Korps Insulinde dari Mayor Pel. Pada pertengahan 1945, Letnan Sisselaar mendarat di Padang Lawas, Sumatra Utara, bersama timnya dan dianggap sebagai usaha untuk mempersiapkan pendaratan pasukan dalam jumlah besar ke Sumatra. Para penyusup berusaha bertahan di hutan Sumatra dan berusaha menjaga komunikasi radio dengan Sri Lanka.

Leeuwarder Courant (21/10/1986) melaporkan, Kapten Scheepens dan Letnan Sisselaar menyusup ke Sumatra dengan bantuan orang-orang Indonesia. Setahun sebelumnya, yakni pada pertengahan 1944, bersama tim dari militer Inggris, di Aceh mereka mencari kemungkinan untuk mencari lahan sebagai lokasi pendaratan pesawat terbang. Namun lahan yang cocok tak mereka temukan.

Menyusup yang biasanya dilakukan lewat lautan memang bukan pekerjaan mudah, ombak yang keras membuat anggota tim menjadi lelah ketika tiba di daratan. Begitu berada di daratan, mereka mengalami kesulitan mencari jalan dari barat menuju timur Sumatra. Perjalanan itu juga tidak ringan karena mereka membawa pesawat radio dan pemancarnya. Selain itu, mereka juga memakai sepatu yang buruk untuk berjalan di hutan. Hingga akhirnya ada anggota tim berjalan tanpa alas kaki bahkan harus merangkak. Setelah kembali ke Sri Lanka banyak anggota tim penyusup yang mengalami infeksi di kaki.

Dua bulan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Korps Insulinde dibubarkan. Waktu itu anggotanya sudah 200 orang. Banyak dari anggota korps yang kembali ke Belanda. Mereka yang tersisa kemudian masuk ke School Opleiding Parachutisten (SOP) yang lalu berbaret merah dan Korps Speciale Troepen (KST) yang berbaret hijau. Kapten Raymond Paul Pierre Westerling kemudian berhubungan dengan dua pasukan khusus tadi.

Infografik Korps Insulinde

Infografik Korps Insulinde. tirto.id/Sabit

Scheepens yang sempat memimpin Depot Speciale Troepen (DST) tak memimpin pasukan khusus lagi. Westerling dalam Challenge to Terror (1952) mengaku dia adalah kawan Scheepens dan kemudian menggantikannya memimpin pasukan khusus, lalu membantai rakyat Sulawesi Selatan pada 1946-1947. Seperti ayahnya, Kapten Scheepens juga mati muda dalam bertugas, dia terbunuh pada awal 1949 di Pati, Jawa Tengah.

Sementara Mayor Mollinger adalah alumni Korps Insulinde yang paling cemerlang. Setelah Simon Hendrik Spoor menjadi panglima tentara Belanda di Indonesia, Mollinger dijadikan komandan Brigade Y yang membawahi batalion Stoottroepen (pemukul) Koninklijk Landmacht dari Belanda, dan dua Batalion Gadjah Merah yang dibentuk di Thailand. Pangkatnya yang semula letnan kolonel naik menjadi kolonel.

Pasukan Mollinger pernah bergerak di Bali dan Palembang. Dia sempat menjadi komandan tentara dan teritorial Sumatra Selatan. Pada September 1949, Mollinger dijadikan Panglima Divisi B tentara Belanda di Jawa Tengah. Pangkatnya naik lagi menjadi Jenderal Mayor. Waktu di Jawa Tengah, Mollinger pernah melihat seorang letnan kolonel TNI berusia 23 tahun yang sedang punya urusan dengan salah satu bawahannya, Ohl. Si letnan kolonel itu adalah Slamet Riyadi.

Baca juga artikel terkait PASUKAN KHUSUS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh Pribadi