Menuju konten utama

Saat Cinta Menjelma Jadi Bahaya yang Tak Lekas Pudar

Kecanduan cinta bisa bikin orang terobsesi dan jadi tak sehat.

Saat Cinta Menjelma Jadi Bahaya yang Tak Lekas Pudar
Ilustrasi CInta. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada 1947, di Toko Artic yang menjual es krim di kawasan Jalan Kramat Raya, penyair Chairil Anwar mengenang birahinya. Di sana, sepertinya dia bertemu dengan seorang perempuan bernama Tuti. Dalam Derai-derai Cemara (1999), yang diterbitkan oleh majalah Horison, Asrul Sani menyebutkan bahwa Chairil kerap pergi ke pesta, bergaul dengan anak-anak Indo dan nongkrong di tempat-tempat para pelajar sekolah Belanda biasa berkumpul, salah satunya Toko Artic itu.

Tapi tak ada yang tahu benar siapa Tuti itu. Yang banyak orang tahu, Chairil mengabadikan nama Tuti dalam puisi berjudul "Tuti Artic". Di puisi itu, Chairil tampak benar seperti lelaki flamboyan yang penuh api gairah.

Kau pintar benar bercium

Ada goresan tinggal terasa

Namun sebagai pria yang punya rentetan kisah asmara dengan banyak perempuan, Chairil tahu bahwa kisahnya dengan Tuti hanya selewat saja. Semacam etalase romansa singkat yang berkobar-kobar. Di ujung puisi, Chairil menuliskan, "...cinta adalah bahaya yang lekas pudar."

Mungkin Chairil bisa bersikap demikian. Namun bagaimana dengan mereka yang tak pernah bisa memperlakukan cinta sebagai sesuatu yang lekas pudar?

Rachel Uchitel adalah salah satunya. Mantan kekasih Tiger Woods ini mengalami apa yang disebut sebagai love addiction. Kecanduan cinta. Laiknya banyak orang yang kecanduan, Uchitel tak pernah sadar dirinya mencandu cinta hingga akhirnya dia bertemu dengan psikolog dan memasuki rehabilitasi.

Ketika hubungan gelapnya dengan Woods berantakan dan Uchitel masuk banyak tabloid gosip sebagai "perusak rumah tangga Woods", di saat itulah Uchitel merasa hidupnya hancur. Saat itulah dr. Drew Pinsky, dokter populer yang banyak menangani kasus kecanduan menawarinya rehabilitasi. Menurut Drew yang menjadi pembawa acara program radio Loveline sejak 1984 hingga 2016, Uchitel mengalami kecanduan cinta, dan itu bisa disembuhkan.

Awalnya, Uchitel menyangkal diagnosis ini. "Aku bingung: hah, kecanduan cinta? Apaan itu?" katanya. Dalam bayangan Uchitel, kecanduan selalu berhubungan dengan narkotika: kokain, meth, juga heroin. Setelah akhirnya setuju rehab, Uchitel menghabiskan banyak waktu untuk penyembuhan.

Brian D. Earp dkk dalam penelitian berjudul "Addiction to Love: What is Love Addiction and When Should it be Treated?" (2017), menyebut bahwa ditengok dari bukti behavioral, neurochemical, dan neuroimaging, cinta itu adalah candu, atau setidaknya bisa jadi candu, sama seperti definisi kecanduan para pecandu narkoba.

Lantas, apa sebenarnya kecanduan cinta itu?

Ann Smith, dalam Psychology Today, menulis bahwa istilah kecanduan cinta itu cukup sulit untuk didefinisikan secara ajeg. "Karena pada dasarnya kita semua, secara alamiah, kecanduan terhadap cinta. Dalam artian, kita ingin cinta, mencari cinta, dan susah untuk tidak memikirkannya. Kita butuh keterikatan untuk bertahan hidup, dan secara naluriah mencari hubungan, terutama hubungan romantis."

Namun kecanduan cinta berbeda dengan keinginan manusiawi yang disebut Ann. Kecanduan cinta, tuturnya, "adalah obsesi kompulsif nan kronik terhadap cinta romantis, yang bertujuan untuk mendapatkan perasaan aman dan dihargai."

Karena tujuan awal mencari cinta itu adalah untuk mendapatkan keamanan, maka ketika hubungan cinta itu kandas, seseorang bisa merasa kosong dan insecure. Kecanduan cinta juga tak hanya berlaku bagi cinta tunggal. Bisa pula terjadi pada hubungan segitiga, seperti yang terjadi pada Uchiel, Woods, dan istrinya.

Pertanyaannya kemudian: bagaimana seseorang bisa menjadi pecandu cinta?

Menurut Smith, penyebabnya cukup mudah dikenali. Misalkan kekurangan atau malah tak punya sosok yang mengayomi. Bisa pula disebabkan oleh rendahnya rasa percaya diri, atau tiadanya panutan dalam hubungan asmara. Atau, ini yang sering terjadi pada masyarakat modern: kena doktrin tentang gambaran hubungan romantis yang sempurna dan bahagia selamanya --seperti banyak ditampilkan di film romantis.

Thomas Timmreck dalam berjudul “Overcoming The Loss of a Love: Preventing Love Addiction and Promoting Positive Emotional Health", menyebut bahwa orang yang kecanduan cinta bisa merasakan kosong, dan akan sesegera mungkin mencari penggantinya. Tindakan itu lantas berpola: jatuh cinta, merasa bahagia dan aman, putus, sedih, merasa tidak aman, lalu sesegera mungkin mencari penggantinya.

Infografik Cinta itu

Infografik Cinta itu

Lalu bagaimanakah untuk sembuh dari ketergantungan dan kecanduan ini?

Timmreck menyebut bahwa cara terbaik adalah mendatangi terapis atau psikolog yang ahli di bidang ini. Namun, perlu dicatat. Bagi pecandu cinta yang sedang mengalami kehilangan cinta, bisa dilakukan pertama-tama dengan mendalami kemarahan si pecandu itu atas cintanya yang hilang. Bagaimana sikapnya atas kepercayaan, rasa frustasi, persepsi, hingga komunikasi.

Sedangkan Smith mengingatkan bahwa langkah pertama yang sebaiknya dilakukan para pecandu cinta ini adalah memutus pola hubungan. "Ketika kita mencari pacar baru secepat mungkin, kita akan menuju ke kutub ekstrem lagi, dan berakhir sama lagi," kata Smith. "Masalahnya ada di pola, bukan dengan siapa kamu berkasih-kasih."

Maka Smith memberi saran pertama: berhenti sejenak, dan amati perilakumu sendiri. Kamu bisa mulai dengan mencatat apa saja pola yang disfungsional dalam hubunganmu sekarang atau di masa lalu. "Jujurlah, tanpa menyalahkan orang lain atas pilihanmu sendiri." Setelah itu, coba untuk menahan diri tidak terikat dalam hubungan romantis selama setidaknya enam bulan.

"Termasuk tidak kirim pesan, email, cari gebetan di situs kencan online, atau dikenalkan ke orang lain oleh teman atau keluarga," kata Smith.

Tahapan awal itu kemudian bisa dilanjutkan dengan menengok ke belakang: seperti apa masa kecilmu, misalnya. Apakah itu ada hubungannya dengan hubunganmu saat ini? Sama seperti yang disarankan Timmreck, Smith juga menyarankan pecandu cinta ini untuk menemui para profesional di bidang kesehatan jiwa.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN JIWA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nuran Wibisono