Menuju konten utama

Saat Caleg Gagal Ramai-Ramai Daftar Seleksi Calon Anggota BPK

Dari 62 nama yang mendaftar sebagai calon anggota BPK, setidaknya ada 9 nama politikus ikut seleksi. Mereka adalah caleg yang gagal terpilih di Pemilu 2019.

Saat Caleg Gagal Ramai-Ramai Daftar Seleksi Calon Anggota BPK
Gedung BPK RI. FOTO/Antaranews

tirto.id - Seleksi kandidat anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah digelar sejak 1 Juli 2019. Dari 64 nama (kini 62 nama karena Rusdi Kirana dan Ferry Juliantono mundur) memiliki latar belakang berbeda, mulai dari politisi, akademisi, hingga PNS karier bertarung demi menduduki kursi tertinggi di lembaga audit negara itu.

Dari 62 nama, setidaknya ada 9 nama politikus yang menjadi sorotan karena baru selesai “bertarung” dalam pemilu legislatif. Kesembilan nama tersebut adalah Nurhayati Ali Assegaf (Demokrat), Tjatur Sapto Edhy (PAN), Pius Lustrianang (Gerindra), Daniel Lumban Tobing (PDIP), Akhmad Muqowam (PPP), Ahmadi Noor Supit (Golkar), Ruslan Abdul Gani (Golkar), Willgo Zainar (Gerindra), dan Haerul Saleh (Gerindra).

Nurhayati merupakan Caleg DPR Demokrat yang gagal memperoleh suara untuk kembali ke Senayan karena tidak lolos di Dapil Jawa Timur 5; Daniel tidak lolos di Dapil Jawa Barat VII padahal dua periode di dapil yang sama; Akhmad Muqowam juga tidak lolos di Dapil Jawa Tengah 1 padahal sudah dua periode di Senayan; sementara Tjatur gagal maju lewat DPD Maluku Utara padahal ia adalah Anggota DPR dari Dapil Jateng VI.

Di sisi lain, Noor Supit juga gagal melanjutkan ke periode ketiga di Senayan setelah kalah suara di Dapil Kalimantan Selatan 1; Rekan Supit, Ruslan Abdul Gani gagal menjadi anggota DPRD di daerah Kota Pagar Alam; Pius merupakan kader Gerindra yang sudah menjadi legislator sejak 2009.

Pius gagal lolos ke Senayan lewat Dapil NTT 1; Rekan Pius, Willgo Zainar tidak lolos di Dapil NTB 2 padahal sempat lolos di Pileg 2014; terakhir, Haerul Saleh gagal lolos di periode kedua setelah maju di Dapil Sulawesi Tenggara.

Pengamat politik dari Voxpol Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago memandang, keberadaan 9 caleg gagal yang maju sebagai bagian dari proses politik usai Pilpres. Menurut Pangi, perebutan kursi BPK sebagai bagian kompensasi bagi-bagi jabatan usai pemilihan umum.

“BPK ini tetap akan menjadi rebutan juga walaupun kemudian ada pilihan bagi mereka kalau mengambil jabatan ini tentu harus mundur [dari partai],” kata Pangi usai diskusi di Jakarta, Sabtu (6/7/2019).

Pangi menegaskan, BPK merupakan lembaga yang dapat dikategorikan seksi. Sebab, kata Pangi, BPK merupakan lembaga yang mengawasi laporan pertanggungjawaban keuangan, dari pusat hingga daerah.

Pangi memandang, BPK sebaiknya tidak dipimpin oleh orang partai politik. Ia tidak ingin ada kepentingan dalam pelaksanaan kerja BPK.

Ia menilai, BPK dan penegak hukum merupakan lembaga yang harus bebas dari kepentingan politik. Menurut dia, eks caleg sebagai kader parpol berpotensi terjadi conflict of interest dengan komando partai sehingga ia mendorong agar BPK dipimpin dari kalangan profesional.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjajaran Yogi Suprayogi tidak mempermasalahkan kesembilan orang yang maju sebagai pimpinan BPK adalah eks caleg. Yogi memahami ada masalah bila eks caleg maju di BPK, tetapi pendekatan BPK lebih kepada kemampuan daripada afiliasi politik.

“Sebetulnya ada dampak, mungkin kita melihatnya orang gagal, tapi kenapa kalau kita lihat BPK itu lebih kepada eligibilitas dia, maksudnya eligibilitas dia [seperti] kompetensi dia seperti apa, apa dia sanggup atau tidak,” kata Yogi kepada reporter Tirto, Sabtu (6/7/2019).

Yogi memahami maksud konflik kepentingan yang dikhawatirkan oleh publik jika eks caleg duduk di BPK. Namun, Yogi mengingatkan kalau jabatan BPK bukan jabatan yang ditetapkan, tetapi jabatan yang diseleksi.

Dengan demikian, kata Yogi, tim seleksi lah yang punya tanggung jawab untuk mencari orang yang bebas dari masalah dan layak untuk dipilih sebagai pimpinan BPK. Tim bisa memilih orang dari berbagai latar belakang selama memang cakap.

“Kita tidak bisa menutup kemungkinan juga banyak mantan kepala BPK yang tadinya dia politisi, tapi yang penting buat saya integritas dia, nilai-nilai apa yang akan dia berikan nanti ketika sudah menjabat karena godaannya cukup tinggi,” kata Yogi.

Yogi menjelaskan, keberadaan para politikus justru akan melengkapi kepentingan BPK di masa depan. Sebab, eks politikus mempunyai kemampuan melobi.

Dalam permasalahan BPK saat ini, kata Yogi, peran BPK harus lebih luas. Sebab, BPK saat ini hanya berfokus pada audit dan penilaian semata. Menurut Yogi, politikus juga berperan sebagai pengawas pemerintahan.

Selain itu, Yogi pun menyebut tidak sedikit tokoh politik aktif membuktikan kinerjanya di instansi non-legislatif. Hal yang sama juga terjadi bagi politikus yang sempat menjadi anggota DPR kemudian aktif di BPK. Ia mencontohkan Achsanul Qosasi dan Harry Azhar Azis.

Menurut Yogi, BPK butuh pemimpin yang bisa memperbaiki BPK tanpa melihat latar belakang. “PR-nya itu BPK bukan hanya masalah administrasi, kalau masalah administrasi disclaimer atau sebagainya itu belum mencirikan pembangunan nyata,” tutur Yogi.

“Misalnya begini, apakah sudah pasti kalau dia terima WTP (wajar tanpa pengecualian) apakah pembangunan itu bagus? Belum tentu kan? Mohon maaf banyak kasus-kasus oknum-oknum yang menjual belikan WTP sebagai sebuah prestise, apalagi di daerah kan? Ini bagaimana tantangan teman-teman calon ini, terutama saya menyorot pansel bagaimana memilih orang yang tepat,” kata Yogi.

Baca juga artikel terkait BPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher & Alfian Putra Abdi
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz