Menuju konten utama

Saat Bollywood Makin Mesra dengan Narendra Modi

Film merupakan alat propaganda yang efektif: Narendra Modi paham betul akan hal itu.

Saat Bollywood Makin Mesra dengan Narendra Modi
Perdana Menteri India Narendra Modi berpidato di rapat umum pemilihan umum di Prayagraj, India, Kamis, 9 Mei 2019. Pemilihan umum multi-fase India, yang dimulai 11 April dan lima minggu terakhir, dipandang sebagai referendum Perdana Menteri Narendra Modi dan nasionalis Hindu-nya. BJP. AP / Rajesh Kumar Singh

tirto.id - Lima tahun silam, Narendra Modi banyak memperoleh dukungan dari masyarakat yang membuatnya naik ke kursi kekuasaan sebagai Perdana Menteri India. Orang-orang mengelu-elukannya sebagai harapan baru India.

Namun, sekarang, kondisinya berbeda. Dalam menghadapi Pemilu 2019, Modi dan gerbong politiknya, Partai Bharatiya Janata (BJP), tengah berada di bawah tekanan yang cukup besar akibat serangkaian permasalahan dalam negeri: protes keras para petani, angka pengangguran yang kian meninggi, hingga konflik sektarian yang tak ada habisnya. Modi ditempatkan pada situasi terpojok: berpotensi gagal mempertahankan kekuasaannya.

Sebagaimana politikus pada umumnya yang punya banyak cara untuk meraih kemenangan, Modi pun juga demikian. Sadar bahwa posisinya tak menguntungkan, ia kemudian berupaya menggalang dukungan dari industri perfilman Bollywood, dengan harapan bisa memperbaiki citranya, sekaligus mengerek elektabilitas.

Film merupakan alat propaganda yang efektif, dan dalam Pemilu India kali ini, Modi memanfaatkannya dengan cukup baik.

Makin Banyak Film, Makin Tenar

“Saya ingin [Modi] melanjutkan sebagai Perdana Menteri selama lima tahun lagi karena [negara ini] ingin maju.”

Kalimat di atas meluncur dari Sunny Deol, aktor berusia 62 tahun yang melejit lewat film-film blockbuster macam Gadar: Ek Prem Katha (2001) hingga Border (1997). Awal bulan lalu, Deol memutuskan untuk bergabung bersama BJP guna mendukung Modi. Deol hanyalah satu dari sekian contoh betapa mesranya pelaku industri Bollywood dengan Modi.

Beberapa waktu silam, di tengah gelaran Pemilu, aktor Akhsay Kumar mewawancarai Modi di kediamannya di New Delhi. Selama hampir satu jam, keduanya berbincang tentang topik di luar politik: dari selera busana, film kesukaan, sampai teknik makan mangga. Video wawancara ini lantas viral di dunia maya serta punya andil dalam membangun reputasi Modi sebagai sosok pemimpin yang cair dan tak kaku.

Relasi hangat terpampang pula pada awal tahun manakala belasan aktor-aktris Bollywood diundang Modi untuk audiensi di New Delhi. Mengutip Al Jazeera, usai audiensi berlangsung, aktor Ranveer Singh, yang memiliki sekitar 22 juta pengikut di Instagram, mengunggah foto bersama Modi disertai takarir bertuliskan “Joy” dan menarik lebih dari tiga juta likes.

“Mungkin tidak ada politisi dalam sejarah politik India yang mampu menjangkau dunia selebritas layaknya Narendra Modi,” papar Joyojeet Pal, profesor Universitas Michigan yang telah menganalisis gerak-gerik Modi di media sosial sejak 2009.

Tak sekadar menyasar para kehidupan selebritas, upaya Modi menggandeng Bollywood juga nampak ketika banyak bermunculan film yang mengangkat sosoknya. Film pertama yakni Uri: The Surgical Strike (2019), yang berkisah mengenai operasi rahasia militer India terhadap Pakistan pada 2016, sebagai pembalasan atas serangan teroris di wilayah konflik Kashmir.

Dalam Uri, Modi ditampilkan sebagai sosok patriark yang kuat, peduli terhadap kepentingan nasional, serta mampu dengan begitu baik menghadap “musuh-musuh” India. Di pasar, film ini sangat laris: menghasilkan pendapatan senilai 35 juta dolar.

Euforia terhadap Uri berlangsung cukup lama. Bahkan, salah satu ungkapan dalam film tersebut, “Bagaimana josh (merujuk pada antusiasme untuk membela negara)?” mendadak populer; digunakan Modi dan jajaran kabinetnya dalam acara-acara resmi maupun unggahan di media sosial untuk menggambarkan karakter kepemimpinan yang tegas.

Kemudian ada pula PM Narendra Modi (2019), dibintangi Vivek Oberoi dan mengisahkan bagaimana perjalanan hidup serta karier politik sang petahana. Akan tetapi, film ini baru bisa diputar secara umum selepas Pemilu. Komisi Pemilihan India, seperti dilansir CNN, melarang PM Narendra Modi diputar selama masa pemilihan karena dianggap menyebarkan propaganda politik.

Tema yang diangkat nyatanya tak cuma berputar pada citra Modi yang digambarkan “serba baik.” Dalam perkembangannya, lahir pula film-film yang menyerang kelompok oposisi dan minoritas. Film Kesari (2019), ambil contoh, menggambarkan kelompok Muslim Pashtun sebagai sekumpulan jihadis fanatik, sedangkan prajurit Sikh direpresentasikan sebagai patriot pemberani.

Sementara untuk film yang melemahkan reputasi oposisi hadir dalam wujud, salah satunya, The Accidental Prime Minister (2019). Film ini, dengan jelas, menggambarkan Partai Kongres, rival BJP, sebagai pihak yang lemah, hanya bisa memecah belah, serta tak cakap memimpin India ke arah yang benar.

Contoh-contoh di atas seperti memperlihatkan fenomena yang marak terjadi selama kurun lima tahun terakhir di mana Bollywood kian patuh terhadap agenda politik partai yang berkuasa, dalam hal ini adalah BJP. Pengamat mengatakan, film-film yang kental dengan propaganda tersebut dapat berperan mengubah persepsi publik, yang diisi orang-orang dewasa buta huruf yang merupakan konsumen rakus televisi dan film.

Bagi Modi, Bollywood memainkan kontribusi penting dalam proses kampanyenya: menjadi pendukung (setia) di layar dan luar, dalam cara yang halus sekaligus jelas. Modi, entah secara langsung atau tidak, meminta para produser dan sineas untuk membikin film yang berbicara tentang patriotisme, budaya, nilai-nilai, serta nasionalisme India. Dengan Bollywood, di saat bersamaan, Modi hendak meraih target suara yang besar, terutama dari kelompok usia muda—berjumlah sekitar 15 juta orang—yang memilih untuk kali pertama.

Tidak semua pelaku Bollywood memeluk Modi dan BJP. Sekitar 800 aktor dan sutradara yang tergabung dalam “Unite Artist” mendesak para pemilih untuk tidak memberikan suaranya kepada Modi.

“Pria yang digambarkan sebagai penyelamat bangsa, lima tahun lalu, kini malah menghancurkan mata pencaharian jutaan orang lewat kebijakannya,” terang Unite Artist dalam situsweb-nya. “Kami menyerukan kepada sesama warga untuk memilih cinta dan kasih sayang, untuk kesetaraan dan keadilan sosial, dan untuk mengalahkan kekuatan kegelapan dan kebiadaban.”

Bukan Tren Baru

Bollywood dan politik di India punya relasi yang cukup istimewa, jauh sebelum Modi memanfaatkannya sebagai alat menuju kursi kekuasaan. Rasheed Kidwai, penulis Neta Abhineta: Bollywood Star Power in Indian Politics (2018), dalam “Indian Politics Has a Long History of Seeking Help from Bollywood” yang terbit di Quartz, menyatakan pada era 1920-an film dipakai untuk menyebarluaskan ideologi Mahatma Gandhi yang bertumpu perjuangan tanpa kekerasan, cinta dan pengorbanan, persatuan Hindu-Muslim, emansipasi perempuan, hingga penolakan terhadap komersialisasi. Nilai-nilai semacam ini dapat dijumpai dalam karya-karya Dadasaheb Phalke maupun Aamir Khan.

Setelah India merdeka, Jawaharlal Nehru juga mendekati beberapa sineas dan aktor macam Sohrab Modi, Mahboob Khan, Dilip Kumar, sampai Nargis Dutt untuk membikin film yang bisa mendanai angkatan bersenjata India selama perang dengan Cina di kawasan perbatasan (1962), diplomasi budaya, dan mewujudkan konsep Nehruvian tentang sosialisme dan sekularisme.

Seperti ditulis Polly Datta dalam “Participation of Bollywood Film Stars in Indian Politics: A Recent Phenomenon” (PDF), relasi sinema dan politik di India bukanlah sesuatu yang baru. Menjelang pemilihan, misalnya, partai politik, BJP dan Kongres, ramai-ramai memanfaatkan jasa aktor-aktris Bollywood untuk mendulang suara. Para pemain film ini dipilih sebab selain bisa mendatangkan sisi glamor dalam kampanye, juga menjadi alternatif lain bila politikus partai tidak maksimal dalam mendongkrak elektabilitas.

Kedua elemen ini kemudian menciptakan simbiosis mutualisme. Politisi akan memanfaatkan ‘kemewahan’ para artis, begitu juga sebaliknya. Untuk bintang Bollywood, partisipasi dalam kampanye dapat menjadi cara mempertahankan citra di mata publik, meningkatkan profil, serta memperkuat daya tarik. Kemudian bagi partai politik, para artis bisa digunakan untuk menjaring massa.

Infografik Bollywood dan Politik Sayap Kanan

Infografik Bollywood dan Politik Sayap Kanan. tirto.id/Fuad

Dengan adanya aktor-aktris Bollywood, partai politik punya harapan untuk menggaet suara dari sebagian besar kelas menengah sampai kelompok miskin yang tidak berpendidikan. Pasalnya, mereka merupakan audiens utama film-film Bollywood. Bagi masyarakat India, film Bollywood adalah cara untuk melarikan diri dari ketidakdilan dan kehidupan yang nelangsa.

Maka dari itu, bintang dan film-film Bollywood tidak hanya menghibur mereka dengan membangkitkan fantasi maupun hasrat seksual, tetapi juga berpotensi besar membantu orang-orang ini “menyelamatkan diri” sejenak dari ketidakadilan—membawa ke dunia impian yang berisikan pemenuhan harapan dan kelimpahan materi.

Meski begitu, tidak semua artis Bollywood otomatis mendatangkan suara dalam skala yang masif. Banyak di antara mereka yang justru gagal menginterpretasikan gagasan-gagasan partai selama masa kampanye sehingga suara yang diperoleh pada akhirnya tak sesuai ekspektasi.

Fenomena merapatnya Bollywood ke gerbong Modi --atau Modi yang merapat ke Bollywood-- tak selamanya dibaca secara politis. Beberapa pihak, mengutip laporan The Guardian, menyebut bahwa industri perfilman India, pada dasarnya, selalu ingin berada di sisi kanan pemerintah, siapa pun yang berkuasa nantinya.

Di lain sisi, lahirnya film-film pro-Modi maupun pemerintah juga didasari faktor uang. Tidak ada pelaku industri Bollywood yang menghabiskan miliaran rupee untuk membuat film semacam itu kecuali mereka yakin film bersangkutan dapat menghasilkan keuntungan.

“[...] Dan jika seseorang membuat film tentang kehidupan Modi, itu karena ia adalah Perdana Menteri dan itu dapat dilihat sebagai peluang bisnis, bukan karena sutradara mencintai Modi,” ungkap analis perdagangan Bollywood, Komal Nahta.

Terlepas dari argumen yang berkembang, kenyataannya, di bawah kepemimpinan Modi dan BJP, India telah menjadi saksi kelompok minoritas jadi target kampanye kebencian secara sistematis, hukuman mati tanpa proses pengadilan terjadi, kerusuhan komunal, hingga meningkatnya angka kemiskinan akibat kebijakan fiskal yang gagal.

Rana Ayyub dalam “Bollywood and the Politics of Hate” yang dipublikasikan Al Jazeera (2019) menegaskan India, saat ini, berada di titik kritis di mana multikulturalisme dan sekulerisme negara diuji. Oleh karenanya, tak dapat dipungkiri, industri film India memainkan peran penting dalam membentuk pola pikir maupun narasi politik tertentu. Bila Bollywood memberikan perhatian khusus pada BJP dan ideologinya, Rana bilang, maka ia “berkontribusi besar dalam normalisasi politik kebencian dan promosi nasionalisme Hindu.”

“Jika Bollywood tidak berhenti dan mempertimbangkan kembali keputusannya, risiko yang muncul yakni Bollywood tidak hanya dapat kehilangan kemandirian kreatif, tetapi juga turun kelas sebagai industri dalam sejarah yang menampilkan penjilat sampai pengecut yang mendukung ideologi yang merusak,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait NARENDRA MODI atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono