Menuju konten utama

"Saat Banjir Tiba, Kendaraan Motor Lebih Berharga daripada Nyawa"

Warga di Tanah Rendah Kebon Pala Jakarta Timur menitipkan motor ke tempat aman saat banjir, sementara itu mereka bertahan di rumah.

Warga berjalan melintasi banjir di Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (5/2/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Deru sepeda motor atau suara orang-orang bercengkerama seolah absen di salah satu sudut kawasan Tanah Rendah Kebon Pala, Jatinegara, Jakarta Timur pada Senin pagi (12/11) saat hujan turun membasahi kawasan. Gemericik air jadi suara yang terdengar dominan dan luapan air Sungai Ciliwung mulai masuk perkampungan.

Sambil menghisap sebatang rokok kretek, Alimin, 55 tahun, menceritakan pengalamannya bergulat dengan banjir selama puluhan tahun. Bagi warga Tanah Rendah Kebon Pala, Jatinegara, Jakarta Timur, banjir dari luapan Sungai Ciliwung adalah agenda rutin yang harus siap dihadapi setiap tahun.

Alimin menuturkan, biasanya setiap terjadi banjir besar, di pelataran kantor Kelurahan Kampung Melayu dan SMP 26 Jakarta Timur berjajar ratusan sepeda motor milik warga. Sebagian besar penduduk, terutama anak kecil dan lansia juga menetap sementara di bangunan sekolah atau berteduh di bawah tenda-tenda darurat.

Kantor Kelurahan Kampung Melayu atau pekarangan SMP 26 Jakarta Timur berubah fungsi menjadi parkiran sepeda motor dan mobil di saat rumah sudah tergenang. Dua tempat itu dianggap aman oleh warga untuk menitipkan kendaraan, termasuk motor milik Alimin.

“Ya aman sih, Yang udah-udah aman enggak ada apa-apa,” kata pria yang sudah punya lima orang cucu ini.

Yang dilakukan Alimin dan warga lain saat banjir tiba, mereka cekatan menyelamatkan barang-barang berharga, terutama sepeda motor. Warga sigap membawa sepeda motor dan barang berharga lain ke tempat yang aman dari air banjir.

Banjir bukan lagi sesuatu yang angker buat pria asal Pekalongan, Jawa Tengah yang merantau ke Jakarta sejak tahun 1974 ini. Tidak ada raut kegelisahan di wajah Alimin saat menuturkan kemungkinan banjir besar kembali melanda kediamannya.

Air Sungai Ciliwung sudah mulai menghampiri lingkungan rumahnya pada pagi hari Senin (12/11/2018). Untungnya genangan tidak terlalu tinggi dan segera surut di siang hari. Sehingga Alimin beserta keluarga, dan para tetangga yang rumahnya berjarak sekitar 50 meter dari bantaran kali belum harus mengungsi.

Air yang tumpah bisa dengan cepat mengubah total kondisi pemukiman warga di Tanah Rendah. Jika Kali Ciliwung mulai meluap, gang-gang sempit yang biasanya ramai dengan lalu lalang warga berubah bentuk menjadi kolam raksasa yang dipenuhi air warna cokelat. Tidak ada pelita cahaya lampu. Sudut-sudut kampung menjadi gelap gulita bagai kota mati.

Haji Sahri, 61 tahun mengungkapkan pernyataan senada dengan Alimin. Walaupun tidak ada yang menjaga secara langsung, motor yang terparkir di kantor kelurahan atau di pinggir jalan aman dari tangan jahil. Ini adalah opsi terbaik daripada mereka membiarkan sepeda motor atau mobil mereka rusak atau hanyut terbawa air.

“Aman. Di daerah sini juga kalau Sabtu dan Minggu warga taruh motor di pinggir jalan. Yang rumahnya di dalam (gang) juga taruh motornya di sini (pinggir jalan). Tidak ada yang hilang,” kata Sahri yang membuka toko kelontong di rumahnya.

Posisi rumah Haji Sahri lebih dekat lagi dengan bantaran Sungai Ciliwung, hanya sekitar 10 meter. Pemandangan aliran air kali bisa dilihat jelas dari warung milik Haji Sahri. “Kalau banjir bisa segini (lantai dua rumah). Tiga meteran,” ujar pria yang menetap di Tanah Rendah sejak 1980-an ini.

Infografik Water hammer di mesin Mobil

Selain kantor Kelurahan Kampung Melayu dan SMP 26, jalanan di daerah Kebon Pala I yang aman dari banjir juga menjadi parkiran darurat. Jalanan sempit di sana kerap dipenuhi motor-motor warga yang rumahnya terendam banjir.

Bagi warga di daerah banjir, menyelamatkan harta benda, seperti sepeda motor adalah prioritas. Jika terlambat, genangan air banjir dapat merusak sepeda motor, mulai dari karatan, sampai kerusakan mesin dan korsleting kelistrikan. Bayangan pengeluaran besar akibat sepeda motor rusak menghantui para korban banjir, karena itu mereka tidak mau terlambat mengevakuasi kendaraannya.

Ironisnya, saat warga mengamankan kendaraannya, di sisi lain mereka ada yang malah bertahan di rumah yang terendam banjir. Alimin dan beberapa tetangga memilih tetap tinggal di lantai atas rumahnya selama berhari-hari ketika banjir, sementara motornya terparkir di kelurahan. Salah satu alasan mereka bertahan di tengah genangan air, yakni mengamankan harta benda lain yang masih tersimpan di dalam rumah.

“Ya kalau anak-anak sama yang takut air diungsikan. (Orang dewasa) tinggal di lantai atas,” kata Alimin.

Selama berhari-hari, mereka yang bertahan di loteng rumah disuguhkan hamparan air tepat di depan mata. Mustahil untuk bisa tidur nyenyak di tengah kedinginan dan rasa was-was, khawatir air semakin tinggi.

Sekalipun terbiasa menghadapi banjir, risiko kemalangan mengintai para warga yang bertahan di tengah kepungan air. Raga mereka bisa kapan saja hanyut dan tenggelam digulung genangan air Sungai Ciliwung. Untuk bertahan dari kedinginan dan kelaparan, Alimin dan warga lain mengandalkan suplai makanan, minuman, dan bantuan lain dari tim SAR.

Saat banjir datang, para warga di Tanah Rendah fokus menyelamatkan harta benda mereka. Sekalipun pada kondisi seperti itu, sepeda motor tidak lagi bisa dikendarai. Pun begitu dengan televisi, kulkas, dan perabot elektronik lain menjadi tak ubahnya kubus kosong yang tidak memberikan fungsi. Bayangan untuk menyelamatkan kerugian materi membuat mereka lupa bahwa nyawa mereka tengah diincar luapan Sungai Ciliwung yang sedang mengamuk kapan saja.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Otomotif
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra