Menuju konten utama

Saat (Arsitektur) Masjid Raya Aceh Berkiblat ke Arab Saudi

Renovasi Masjid Raya Baiturrahman dengan arsitektur yang meniru Masjid Nabawi semakin menggenapkan penerapan syariat Islam di Aceh pada model Islam ala Arab Saudi.

Saat (Arsitektur) Masjid Raya Aceh Berkiblat ke Arab Saudi
Sejumlah orang menghadiri peresmian proyek perluasan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Senin (13/2). Pembangunan tahap pertama menghabiskan Rp458 miliar buat memasang 12 payung elektrik dan ruang parkir bawah tanah. ANTARA FOTO/Ampelsa/aww/17.

tirto.id - “Maka mesjid yang dalam segala negeri yang lain tiada ada seperti dalam mesjid itu … maka ada luas mesjid itu seyojana mata memandang dan ada mimbarnya daripada (e)mas dan kemuncak mimbar itu daripada suasa…”

Cuplikan dari Hikayat Aceh yang dikutip oleh sejarawan Perancis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh (1967) mencoba menghadirkan gambaran tentang Masjid Raya Baiturrahman pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Beberapa abad setelahnya, pada satu sore Maret lalu, di pelataran Masjid Raya Baiturrahman berlapis marmer putih, para pekerja lalu-lalang buat memperbarui, merancang-ulang, dan menambahkan pelbagai aksen di masjid tersebut yang ironisnya, alih-alih memperkuat khazanah lokal dan memperkokoh tradisi, meniru model Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi.

Itu sesungguhnya menunjukkan perkembangan wacana dominan di seluruh Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Islam secara ketat. Bekas daerah yang dilanda konflik bersenjata dan dihantam tsunami itu dalam beberapa tahun terakhir semakin getol menerapkan varian hukuman yang semakin tidak ramah pada kelompok masyarakat rentan dan kaum minoritas termasuk perempuan.

Sejumlah kelompok masyarakat yang menjunjung martabat manusia, baik di Aceh maupun lembaga-lembaga hak asasi manusia, mempertanyakan hukuman kejam dan ketinggalan zaman macam hukum cambuk lewat Qanun Jinayat, istilah untuk peraturan daerah syariat Islam di Aceh yang mengatur tak cuma hubungan sosial tetapi relasi individual.

Lembaga seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam praktik hukuman cambuk yang disebut "akan terus meningkat" sejak Qanun Jinayat diterapkan pada 2015. Sepanjang 2016, demikian catatan lembaga itu, sedikitnya 339 orang telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh. Memasuki tahun 2017 selama dua bulan pertama, ICJR mencatat 26 orang dieksekusi cambuk. Hukuman ini dilakukan di depan umum, biasanya di halaman masjid, dan sengaja dibuat demikian biar orang-orang menonton adegan kekerasan yang melecehkan martabat manusia tersebut.

Sayangnya, praktik hukum yang mencampurkan antara negara dan agama seperti itu dibilang "belum maksimal" oleh Gubernur Zaini Abdullah. Ia bilang demikian pada Juni 2016. Pada Pilkada serentak lalu, Zaini maupun wakilnya Muzakir Manaf, yang pecah kongsi, kalah oleh Irwandi Yusuf, mantan gubernur Aceh 2007. Ketiganya adalah eksponen Gerakan Aceh Merdeka, kelompok kunci yang menguasai pos-pos strategis pemerintahan Aceh setelah perjanjian damai pada Agustus 2005. (Baca: Kembalinya Propagandis GAM ke Singgasana)

Lewat proyek renovasi Rumah Tuhan yang Pemurah itu, dengan menonjolkan arsitektur yang dekat ke Arab Saudi, syariat Islam di Serambi Mekkah sesungguhnya semakin menggenapkan model keislaman yang dicangkoknya.

Dana Raksasa buat Masjid di tengah Kemiskinan

Namun ada pula sisi ironis. Anak-anak remaja Banda Aceh melihat Masjid Raya Baiturrahman adalah simbol kota yang keren. Mereka datang ke areal halaman masjid yang masih direnovasi itu lalu berswafoto dan memacaknya di akun media sosial. Tren ini berkembang sesudah Gubernur Zaini Abdullah meresmikan renovasi pada Maret 2017.

Anggaran buat renovasi mencapai Rp458 miliar. Termasuk memasang tiang payung elektrik yang harga per unitnya sebesar Rp10 miliar. Akan ada 12 payung di sisi utara dan selatan masjid, dengan tinggi payung bervariasi, serta tambahan lantai dasar dan tempat wudu.

Lantaran pembangunan masjid difokuskan selama dua tahun terakhir pada Baiturrahman, alokasi dana pemerintah tahunan buat masjid-masjid di seluruh Aceh pun berubah. Sejak 2015 seluruh dana terserap buat Masjid Raya Baiturrahman. Ini berbeda saat Aceh mengucurkan anggaran buat pembangunan/perbaikan 997 masjid se-Aceh pada 2012-2014.

Meski begitu, Tengku Azman Ismail, Imam Masjid Raya Baiturahman, mengklaim masyarakat Aceh "tidak mempersoalkan" pengalihan dana alokasi pembangunan masjid yang sepenuhnya terserap buat Baiturrahman karena ia adalah "simbol kebudayaan yang dibanggakan oleh masyarakat Aceh."

Saat ini renovasi Baiturrahman masih 40 persen dengan menghabiskan duit sekitar Rp315 miliar. Bila renovasi tahap pertama rampung, pemerintah Aceh akan melanjutkannya sampai menyerupai Masjid Nabawi dengan menguras duit dari pajak rakyat sekitar Rp2 triliun.

Pembangunan fisik, bagaimanapun, lebih gampang ketimbang membangun manusia. Di tengah megaproyek macam ini, Aceh tetap menjadi provinsi paling miskin kedua se-Sumatera. Jumlahnya sekira 841 ribu orang atau 16,43 persen hingga September 2016. Penduduk Aceh tahun 2016 sebanyak 5,096 juta.

Politik syariat Islam pun semakin menjauh dari korban kejahatan kemanusiaan—lapisan masyarakat Aceh yang jadi tumbal dalam konflik GAM dan TNI yang melanda Aceh di masa Soeharto maupun Darurat Militer di masa pemerintahan Megawati. Hingga kini belum ada upaya-upaya serius untuk keadilan dan pemulihan korban. Meski suara korban semakin tersisih dari dominasi politik syariat Islam, para korban tetap setia menuntut agar negara menggelar pengadilan secara terbuka terhadap penjahat perang, dari tingkat tertinggi sampai terendah, baik dalam kelompok serdadu RI maupun kombatan GAM. (Baca: Rumoh Geudong: Ingatan Korban dan Umur Panjang Kekejian)

Infografik Masjid Baiturrahman

Medan Masjid Baiturrahman: Pergeseran dan Pertentangan

Arsitektur Masjid Raya Baiturrahman sebelum direnovasi sekarang adalah perpaduan pelbagai corak kebudayaan antara Islam, Celtik, dan Hindu. Corak arsitektur ini dikembangkan setelah Masjid Raya dibakar oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1873 dan menyebabkan kemarahan masyarakat Aceh. Untuk menenangkan masyarakat, pemerintah kolonial membangun kembali masjid. Tujuan lain, mengambil hati masyarakat Aceh. Menurut sejarah, masyarakat Aceh sempat menolak beribadah di masjid raya karena telanjur sakit hati.

“Tapi Belanda panjang akal. Belanda terus memandatkan posisi imam di masjid pada seorang pria keturunan Arab, yang dihormati oleh masyarakat Aceh,” ujar Tengku Azman.

Sejarah berulang. Perubahan arsitektur sekarang pada wajah Baiturrahman adalah perpanjangan pengaruh kekuasaan di Aceh mutakhir yang giat menerapkan syariat Islam.

Safwan, pengajar arsitektur dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, mengatakan renovasi masjid raya merupakan contoh bagaimana kekuasaan berperan dalam menentukan simbol-simbol kebudayaan.

Menurutnya, renovasi masjid raya adalah keinginan dari penguasa Aceh agar dikenang oleh masyarakat, tanpa mempedulikan sisi arsitektur yang sesuai budaya lokal. Lewat mencangkok model fisik masjid dan berkiblat ke Masjid Nabawi di Madinah, kata Safwan, itu sekaligus memenuhi imajinasi para pemimpin Aceh tentang Islam.

Hal senada disampaikan Azhari Aiyub, penggiat Komunitas Tikar Pandan yang berfokus pada kebudayaan dan politik di Aceh, juga kolumnis Tirto.

“Mereka punya imajinasi tertentu tentang Islam, imajinasi mereka ada di Timur Tengah. Mereka meniru apa yang jadi simbol kemenangan Islam. Sementara itu, ada peningkatan ziarah dengan travel agen. Biasanya yang pergi ini adalah petinggi, dia lihat Masjid Nabawi punya hidrolik, dia ingin buat juga disini,” ujarnya.

Secara tidak langsung, keputusan perubahan simbol-simbol kebudayaan oleh penguasa Aceh saat ini bisa berdampak pada tergerusnya identitas kelokalan atau apa yang disebut oleh Safwan “lost identity.”

“Tanpa mereka sadar mereka akan kehilangan identitas sendiri jika mengadopsi dari luar tanpa mengombinasi dengan budaya lokal,” ujarnya.

Safwan mencontohkan Masjid Tua Indrapuri yang berdiri sekitar abad 12 dan berjarak 27 kilometer dari Banda Aceh. Ia salah satu masjid tertua dengan arsitektur "otentik", perpaduan antara Hindu dan Islam. Bentuk Masjid Indrapuri masih mempertahankan bentuk lamanya yang dulu dipercaya sebagai kuil Hindu, seperti susunan atap masjid berbentuk persegi dan mengerucut membentuk piramida. Penyesuaian ini, menurut Safwan, salah satu ciri arsitektur Islam yang bersifat "tidak merusak arsitektur lokal tetapi mengikuti bentuk orisinalnya."

Sejauh mana perubahan simbol berpengaruh pada kebudayaan?

Menurut Azhari, ketika simbol-simbol berubah, selanjutnya terjadi perubahan pada tindakan. Ia mencontohkan kasus yang jadi isu publik di Aceh, yaitu perselisihan antara kelompok ulama tradisional Aceh dan kelompok yang penganut aliran Wahabi.

“Berdasarkan masjid dewasa ini kita bisa menganalisis apa isi kepala orang Aceh, bagaimana ketergantungan dengan Wahabisme atau Aswaja (Ahlussunah wal Jamaah)," tutur Azhari. Aswaja sebutan bagi kelompok ulama tradisional di Aceh yang berlandaskan mazhab Syafi’i.

Pertentangan antara Islam yang memangku tradisi lama dan model Islam yang dipengaruhi oleh gerakan Islam transnasional di Aceh ini mengeras pada 2015. Kejadiannya, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) meminta pelaksanaan salat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman dilakukan berdasarkan tradisi, yakni khatib memegang tongkat dan ada kumandang azan kedua.

Laporan setebal 27 halaman dari Institute For Policy Analysis of Conflict (IPAC), “The Anti-Salafi Campaign in Aceh” yang dirilis 6 Oktober 2016, menyebutkan bahwa meningkatnya aktivitas kampanye anti-Salafi bersumber dari kekhawatiran kelompok tradisionalis terhadap pertumbuhan pengaruh Salafi di Aceh sesudah tsunami 2004. Proyek-proyek pembenahan kembali infrastruktur pasca-tsunami juga melibatkan bantuan dana dari Arab Saudi.

Menurut klaim kalangan tradisionalis, Masjid Raya Baiturrahman telah jatuh dalam kontrol kelompok Wahabi terutama setelah dibangun cabang Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), sekolah bahasa Arab yang berafiliasi dengan Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud di Riyadh. Pada September 2012, perjanjian ditandatangani antara Universitas Ibn Saud dan Masjid Raya Baiturrahman untuk membangun kampus LIPIA di Aceh Besar.

Konstelasi perang wacana ini berpusat di Masjid Raya Baiturrahman yang mendorong Wakil Gubernur Muzakir Manaf mendeklarasikan sikapnya yang berpihak pada kelompok Aswaja pada Oktober 2015. Sebaliknya, Gubernur Zaini Abdullah mengusung megaproyek renovasi Masjid Raya Baiturrahman dengan menyulap arsitekturnya meniru Masjid Nabawi di Arab Saudi, negara yang menjadikan paham Wahabi sebagai ideologi resmi. (Baca: Serial Laporan Utama Tirto tentang Pengaruh Wahabisme di Indonesia)

Pertentangan wacana Islam yang merambah ke masjid raya adalah potongan kecil dari gambaran besar tentang peta politik dan kebudayaan di Aceh. Baik kelompok Salafi maupun tradisionalis berkembang lewat koneksinya di jaringan politisi dan pemerintahan. Dengan kata lain, perseteruan mereka di medan Masjid Baiturrahman mencerminkan sebuah kesempatan politik.

Menurut laporan IPAC, kalangan ulama dayah atau tradisionalis berperan dalam memperdalam syariat Islam di Aceh. Mereka mendukung sejumlah regulasi termasuk menutup gereja, mengatur pakaian, hingga menerapkan hukuman cambuk. Perselisihan kedua kelompok berpusat pada cara beribadah, tetapi sama-sama sepakat bahwa pemerintah Aceh harus menegakkan moralitas secara ketat. Ini tentu satu ironi lagi.

Baca juga artikel terkait MASJID atau tulisan lainnya dari Fahri Salam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fairuz Rana Ulfah
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam