Menuju konten utama

RUU PKS, Momen Kompak Gerindra dan PDI Perjuangan

PKS menolak draf RUU PKS, sedangkan Golkar dan PAN masih abu-abu.

RUU PKS, Momen Kompak Gerindra dan PDI Perjuangan
Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (GEMAS SAHKAN RUU PKS) mengadakan aksi damai di depan Istana Negara untuk mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (8/12/18). Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2018, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 25% dari 259.150 kasus pada 2016 menjadi 348.446 kasus pada 2017. tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - Diah Pitaloka dan Rahayu Saraswati tertawa mendengar pertanyaan yang saya lontarkan.

“Gimana, nih? Enaknya setuju enggak?” Diah menggoda saya.

“Wah, ditanya lagi, nih, kita. Jawab apa, ya?” Rahayu menimpali.

Diah Pitaloka adalah anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, sedangkan Rahayu legislator Partai Gerindra. Mereka anggota Komisi VIII yang membawahi isu agama dan sosial, termasuk persoalan anak dan perempuan.

Pada 4 Februari, setelah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Agama soal biaya haji, mereka saya tanyai ihwal sikap partai terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Kedua politikus ini tertawa dan saling-rangkul, sampai akhirnya menyatakan partai mereka mendukung RUU PKS.

Diah tegas mengatakan partainya setuju. PDI Perjuangan, menurut Diah, juga berharap aturan itu bisa berlaku sebelum masa kerja mereka berakhir.

“Kekerasan seksual ini menjadi problem bagi peradaban bangsa. Jangan sampai fenomena kekerasan seksual ini tidak ada konsekuensi hukuman. Dalam KUHP itu memang ada, tapi enggak spesifik,” terang Diah.

Selain melihat urgensi undang-undang ini sebagai upaya memerangi kejahatan seksual, Diah juga menyorotinya dalam kerangka fungsi edukasi dan pemberi rasa aman tinggal di Indonesia.

Diah pun menjelaskan undang-undang itu bukanlah upaya meloloskan perzinaan, apalagi menurutnya Komisi VIII juga menaungi bidang agama. “Ketika kita tidak membahas pasal perzinaan, bukan berarti kita melegalkan pasal perzinaan. Tapi sayangnya, [RUU PKS] itu diasumsikan akan melegalkan perzinaan,” tuturnya.

Partai Gerindra juga senada. Selain menyatakan sikap setuju dari partainya, Rahayu mengatakan ia telah berkomunikasi dengan Maimon Herawati, pembuat petisi yang menolak RUU PKS. Melalui situs Change.org, Maimon menyebut RUU tersebut pro zina. Hingga Senin, 4 Februari 2019 pukul 22.59, petisi tersebut mendapat 148.325 tanda tangan.

“DPR ini tidak ada niat seperti yang disampaikan [oleh Maimon Herawati]. Kalau memang di dalam RUU tersebut ada kata-kata yang masih multitafsir, itu adalah tantangan kerja keras kita ke depan,” kata keponakan Prabowo Subianto ini.

Memasuki bulan kedua tahun 2019, RUU PKS belum juga dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal, RUU ini merupakan inisiatif DPR yang sudah diusulkan sejak 26 Januari 2016 dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2018 yang berlanjut pada 2019.

RUU ini mengundang beragam tanggapan. Desember 2018 lalu, sekelompok masyarakat melakukan pawai akbar di Jakarta untuk mendesak pemerintah agar segera mengesahkan rancangan undang-undang itu. Dorongan itu juga terus ada di media sosial melalui tagar #sahkanRUUPKS. Di sisi lain, ada respons senada pendapat Maimon Herawati yang melihat RUU ini melegitimasi perzinaan.

Lalu bagaimana suara partai lain di DPR?

PKS Tolak Draf RUU

Secara terbuka, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan bahwa mereka menolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sukamta, Sekretaris Fraksi PKS, menyampaikan isi dari RUU ini berpotensi memberi ruang bagi perilaku seks bebas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan norma agama.

“Sekilas tujuan RUU ini nampak baik, yaitu untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan seksual, namun setelah dipelajari lebih dalam, pasal demi pasal, ayat demi ayat, ada secara makna dan tafsiran bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama,” ungkap Sukamta.

Dalam pembahasan mengenai RUU ini, PKS mengajukan empat poin perubahan penting dan mendasar yaitu usulan pergantian nomenklatur ‘kekerasan seksual’ menjadi ‘kejahatan seksual’. PKS juga meminta definisi dari kekerasan seksual diubah. Mereka menganggap definisi tersebut ambigu sehingga menimbulkan keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan.

“Ketiga, berkaitan dengan peran pemerintah, Fraksi PKS mengusulkan untuk memasukkan klausul langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual […] Keempat, Fraksi PKS mengajukan untuk menambahkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi asas pertama dalam Rancangan Undang-Undang tersebut,” ujar Sukamta.

Dalam membahas RUU ini, PKS menuntut untuk menggunakan pendekatan ketaatan terhadap agama sebagai salah satu perspektif dalam mencegah kejahatan seksual.

PAN dan Golkar Masih Abu-Abu

Jika PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan PKS sudah bersikap terhadap RUU itu, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menyampaikan bahwa mereka masih mendengarkan aspirasi masyarakat. Padahal, Fraksi PAN, bersama PDI Perjuangan dan PKB, adalah pengusul RUU ini untuk masuk Prolegnas.

“Belum sampai ke situ [mendukung atau menolak]. Aspirasi yang sedang kita dengar dari masyarakat ini harus [mencakup] latar belakang sosial budaya, agama dan sebagainya,” ujar Ketua Komisi VIII, Ali Taher.

Ali juga menyatakan saat ini partainya masih melakukan pendalaman substansi RUU PKS, sehingga PAN merasa rancangan aturan itu harus dikaji kembali.

Begitu pula Partai Golongan Karya (Golkar). Wakil Ketua Komisi VIII, Ace Hasan Syadzily, menyatakan pihaknya masih melihat tujuan dari pembentukan undang-undang itu.

“Kalau tujuannya adalah undang-undang tersebut diorientasikan kepada upaya rehabilitasi dan pencegahan terhadap kekerasan seksual yang banyak terjadi pada perempuan, anak, dan kelompok disabilitas, tentu kita harus setujui,” kata Ace Hasan.

Golkar, imbuhnya, mendorong agar materi undang-undang tak dianggap menyalahi norma hukum dan agama yang berlaku di masyarakat. “Kami ingin menegaskan jika undang-undang tersebut mengarah pada misalnya seks bebas, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), tentu kami akan menolaknya,” tutur Ace.

Golkar menilai masih ada beragam penafsiran pada undang-undang, khususnya soal definisi kekerasan seksual. Apalagi di media sosial banyak pihak menyatakan aturan itu akan melegalkan seks bebas dan LGBT.

Bagaimana dengan partai lain? Kami masih kesulitan mendapat suara soal RUU ini dari PPP, Partai Demokrat, Partai Nasdem, dan PKB, baik melalui telepon, pesan singkat, maupun mencoba menemui langsung di kompleks Senayan.

Infografik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Infografik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

RDP Dilakukan secara Tertutup

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PKS, Marwan Dasopang, menyampaikan pandangan masyarakat tentang RUU PKS itu tercermin lewat suara anggota panja. Saat diwawancarai, sebagai legislator dari PKB, Marwan hanya mau berkomentar dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Panja. Ia enggan menyampaikan sikap partainya.

Menurut Marwan, selama ini pembahasan RUU tersebut dalam RDP mengerucut pada tiga suara. Pertama, adanya anggapan bahwa undang-undang ini terlalu berbahaya dan dianggap mengacaukan undang-undang lainnya. Kedua, adanya pandangan bahwa korban kekerasan seksual semakin banyak. Ketiga, adanya permintaan pengubahan pada beberapa pasal.

“[Kami] sudah menyimpulkan [tiga suara di atas]. Sekalipun masih ada kelompok masyarakat yang ingin didengarkan di forum RDP, kami sudah putuskan sudah selesai mendengarkan itu. Siapa pun yang kami terima, pasti [pendapatnya] masuk kategori salah satunya,” Marwan menerangkan.

Meski menimbulkan pro-kontra, ia bilang seluruh anggota panja telah sepakat undang-undang penghapusan kekerasan seksual penting ada untuk melindungi masyarakat. Namun, Marwan mengaku dirinya belum membuat tabulasi suara per fraksi. Hingga kini, DPR baru membahasnya dalam RDP, belum masuk pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Jika menilik proses pembentukan undang-undang, ada lima tahapan penyusunan aturan. Rencananya, DPR baru akan membahas DIM setelah pemilu pada bulan April 2019. Pembahasan DIM masuk ke dalam tahap ketiga, sebelum dilakukan pengesahan dan pengundangan.

Meski proses masih panjang, Marwan menyatakan DPR periode ini akan berusaha meloloskan aturan itu sebelum jabatan mereka berakhir. Jika meleset? Ia menjamin RUU PKS akan dilegislasi oleh anggota DPR periode selanjutnya.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Politik
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani