Menuju konten utama
K O N F R O N T A S I

RUU PKS Bukan Perkara Sulit, tapi DPR Tak Punya Kemauan Politik

Revisi UU KPK sulit, Revisi UU Pemilu juga sulit, begitu pula RUU Penyadapan. Tapi ketiganya berbeda nasib dengan RUU PKS.

RUU PKS Bukan Perkara Sulit, tapi DPR Tak Punya Kemauan Politik
Ilustrasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. tirto.id/Sabit

tirto.id - Soal yang sulit tidak akan menjadi sulit apabila tidak dikerjakan. Kelakar itu mungkin pernah didengar sebagian besar orang Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita benar-benar menganut dan melakukannya.

Pada Juni 2020 Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga selesai. Ternyata, Komisi VII DPR RI yang bertanggung jawab terhadap selesainya pembahasan itu telah menyurati Badan Legislasi DPR pada Maret 2020.

Surat itu meminta agar RUU PKS dicabut dari Program Legislasi Nasional DPR tahun 2020. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari fraksi PKB, Marwan Dasopang, menjelaskan alasan pencabutan itu tidak rumit-rumit amat. Anggota dewan yang terhormat di Komisi VIII DPR menganggap RUU PKS tidak akan sempat diselesaikan hingga Oktober 2020, jadi lebih baik tak usah dibahas sama sekali.

"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit," kata Marwan.

Pernyataan itu menyulut reaksi berbagai elemen masyarakat, salah satunya Komnas Perempuan. Semakin pemerintah dan DPR menunda, maka kekosongan hukum pada masalah kekerasan seksual juga bertahan. Dan tentunya, kasus kekerasan seksual tidak akan ikut berhenti.

Dalam dua tahun terakhir, kasus kekerasan seksual (kepada perempuan) masih tercatat di angka ribuan. Itu pun sebatas pada hasil survei. Tidak semua korban kekerasan seksual mau mengakui atau sadar dirinya menjadi korban. Sepanjang 2018, menurut laporan Komnas Perempuan (PDF), jumlah kasus mencapai 348.466 dan pada 2019 jumlahnya 406.178 kasus.

Wajar saja Komnas Perempuan kemudian tidak percaya bahwa “sulit” adalah alasan utama penghentian pembahasan RUU PKS. Bagi Komnas Perempuan, ini hanya masalah kemauan dan DPR tidak punya niatan untuk membahas penghapusan kekerasan seksual, apalagi untuk menghentikannya.

"Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban," kata Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad lewat keterangan tertulisnya, Selasa (1/7/2020).

Satu hari setelah kritik itu menyebar, DPR dan pemerintah tetap abai. Dalam rapat kerja Baleg DPR RI, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, Baleg, dan Panitia Perancang UU DPR RI sepakat RUU PKS akan dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020. Kini alasan yang dipakai bukan cuma sulit.

"Alasannya karena masih menunggu pengesahan RUU tentang KUHP yang akan sangat terkait dari sisi penjatuhan sanksi," ujar Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas dalam Rapat Kerja Baleg DPR RI, Kamis (2/7/2020). “Kita berharap nanti setelah RUU KUHP diselesaikan antara pemerintah dan Komisi III, maka RUU Kekerasan Seksual ini akan kita masukan lagi dalam program legislasi nasional.”

RUU PKS Berjalan Mundur

RUU PKS diusulkan beberapa anggota Baleg DPR. Presiden Joko Widodo juga sudah memberikan dukungan untuk pembahasan RUU PKS. Komisi VIII kebagian tugas untuk menyelesaikannya.

Pembahasan pertama dilakukan pada 25 Oktober 2016 yang hanya menyertakan poin awal pentingnya RUU PKS untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual. Dalam rapat kelima di Baleg pada 31 Januari 2017, RUU PKS disetujui seluruh fraksi DPR agar diteruskan dan dibawa ke pembahasan tingkat I.

Pembahasan tingkat I adalah rapat dengan pemerintah yang diwakili Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum dan HAM. Semuanya menyetujui pembentukan panitia kerja untuk membahas kelanjutan RUU PKS di tahun 2018.

Pada 2018 panja RUU PKS dipimpin Marwan Dasopang. Ada setidaknya lima rapat tahun itu dengan agenda mendengarkan pendapat para ahli. Di tahap inilah pembahasan RUU PKS mulai menemui jalan berliku. Beberapa anggota parlemen mulai mempermasalahkan hal-hal di luar perlindungan pada korban kekerasan seksual. Di antaranya adalah masalah agama dan kaum marjinal dengan orientasi seksual berbeda seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Dalam rapat pada 23 Januari 2018, seperti dilaporkan CNN, politikus PKS Iqbal Romzi mempertanyakan pemidanaan terhadap suami yang melakukan pemerkosaan terhadap istri. Berdasarkan dalil agama yang dianut Iqbal, istri seharusnya wajib melayani suami.

Catatan rapat saat itu, panja menanyakan tanggapan Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan (FPL) yang diundang sebagai pemberi masukan dengan pertanyaan semacam: Apakah RUU ini condong atau mengakomodasi LGBT?

Pada 2019 situasi kian kacau. Fraksi PPP, misalnya, secara terbuka menyatakan keberatan dengan hal-hal yang menurut mereka bertentangan dengan agama, salah satunya adalah pemidanaan pelecehan seksual dalam rumah tangga.

"Dalam Islam, istri wajib melayani suami, manakala suami udah ngebet, kalau laki-laki sudah ngebet, lalu tidak dilayani istri, maka malaikat marah sampai pagi. Tolong baca hadisnya. Ibu-ibu yang non-muslim baca itu, kita hargai itu," ucap anggota Komisi VIII Fraksi PPP, Achmad Fauzan, dalam rapat pembahasan RUU PKS di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Fraksi Partai Keadilan Sejahteran (PKS) juga gagal memahami pentingnya RUU PKS. Mereka menganggap adanya RUU PKS justru memberi celah masyarakat melakukan zina dan seks bebas.

Sementara anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, sudah memberi sinyal di pertengahan 2019 bahwa RUU PKS tidak akan selesai dibahas pada periode DPR yang sekarang.

Taufiqulhadi justru mendukung RKUHP yang tengah dibahas DPR saat itu harus selesai di akhir masa jabatan DPR. Alasannya, RKUHP menjadi landasan hukum di Indonesia. Jika RUU PKS selesai lebih dulu, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih aturan.

"Soalnya UU KUHP adalah induk dari semua undang-undang di bidang hukum, sehingga Revisi UU KUHP harus diselesaikan lebih dulu. Agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling bertabrakan pengaturan dalam undang-undang teknis lainnya di bidang hukum," kata anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Selasa (30/7/2019).

Kebuntuan soal RUU PKS terus bertahan hingga akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019. Pembahasan di tahun 2019 juga cenderung sedikit karena terpotong dengan masa pemilu serentak. Alhasil, di akhir periode, DPR sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU PKS di periode berikutnya. Status terakhir: judul RUU PKS saja masih menjadi perdebatan.

“Saya sudah berkoordinasi dengan pimpinan Panja (panitia kerja) terkait, karena waktunya yang pendek dan masih banyak masalah yang belum selesai dibahas, maka kita putuskan ditunda," ujar Ketua DPR saat itu, Bambang Soesatyo, di Kompleks MPR/DPR, Kamis (26/9/2019), seperti dikutip CNN.

Hasilnya, omongan Taufiqulhadi menjadi nyata. DPR mencabut RUU PKS dari daftar RUU Prolegnas dengan alasan yang sama dengan DPR periode sebelumnya: sulit untuk diselesaikan. Di sisi lain, DPR periode 2019-2024 menyetujui RKUHP harus diutamakan daripada RUU PKS.

Satu hal yang mungkin tak diperhatikan DPR: beda dengan RKUHP yang banyak menuai protes hingga ditunda pengesahannya, RUU PKS didukung sebagian besar aktivis, utamanya aktivis perempuan, karena UU itu dibutuhkan untuk melindungi korban-korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Jangankan mengalami kemajuan, RUU PKS bisa jadi malah berjalan mundur. Jika ditotal, DPR periode 2014-2019 telah melakukan setidaknya 15 kali pembahasan dan belum bisa menelurkan UU PKS. Sementara DPR periode 2019-2024 belum satu kali pun membahas RUU PKS dan mereka sudah mengenyahkannya dari program legislasi tahun ini.

Tidak Masuk Akal

Sampai pertengahan 2019, DPR mendapat kritik karena baru mengesahkan sedikit undang-undang. Dari 189 RUU Prolegnas Prioritas, setidaknya hanya ada 26 UU yang dihasilkan.

Pada akhir masa jabatan, angka ini melonjak menjadi 36 dan ditambah dengan 55 RUU Kumulatif Terbuka atau RUU di luar Prolegnas. Ketua DPR periode 2015-2019 Bambang Soesatyo mengakui sejumlah RUU dibahas secara ngebut. Ada 12 RUU yang selesai hanya dalam waktu 32 hari.

Selama masa DPR periode yang sama ini ada juga pengesahan revisi Undang-undang KPK. Beberapa pihak menyindir betapa cepatnya pemerintah dan DPR bisa mengesahkan UU KPK yang baru dalam waktu 15 hari. Padahal banyak protes yang meluap dari masyarakat terhadap UU KPK yang baru. Nasib UU KPK tentu berbanding terbalik dengan UU PKS.

Alasannya mudah: revisi UU KPK ditolak masyarakat dan disepakati DPR. UU PKS didukung masyarakat dan ditolak DPR. Jelas, UU KPK sangat penting bagi DPR. Faktanya ada 24 anggota DPR periode 2014-2019 yang dicokok KPK. Masalahnya, apakah anggota DPR banyak yang menjadi korban kekerasan seksual? Sejauh ini tentutnya tidak.

Infografik KONFRONTASI RUU PKS

Infografik Konfrontasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. tirto.id/Sabit

Alasan “sulit” sebenarnya tidak terbatas pada RUU PKS. RKUHP dan RUU Cipta Lapangan Kerja atau Omnibus Law adalah beberapa contoh RUU sulit lainnya. Kendati sudah dibahas berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, mereka tidak kunjung diselesaikan. Tapi tentu itu tidak serta-merta membuat DPR mengesampingkan kedua RUU.

Selain itu ada pula RUU Penyadapan yang sejak 2019 juga dipermasalahkan karena sebagian orang memandang itu bisa melemahkan penindakan kasus korupsi. Nyatanya RUU yang sulit diselesaikan itu juga masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas 2020.

Alasan menunggu RKUHP selesai juga memberatkan pembahasan RUU PKS. Belum tentu pula RKUHP selesai pada 2021, sehingga pembahasan RUU PKS bisa dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021.

RKUHP punya masalah di beberapa pasal, terutama menyangkut pasal korupsi dan bukan pada pasal kekerasan seksual. Seharusnya lebih mudah menyelesaikan RUU PKS daripada RKUHP karena kitab hukum pidana mengatur seluruh hukum pidana, sedang RUU PKS hanya menyangkut satu tema besar yaitu kekerasan seksual.

Dalam RUU PKS diatur 9 jenis kekerasan seksual: eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Sedangkan dalam RKUHP hanya diatur soal perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, dan pemandulan atau sterilisasi secara paksa.

RKUHP juga sebenarnya mengatur soal pemerkosaan dalam rumah tangga. Pasal 600 ayat (1) dan (2) menuliskan: Siapapun yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dalam rumah tangganya bisa dikenakan pidana paling lama 12 tahun penjara. Pelaku hanya bisa diproses apabila korban yakni suami atau istri melaporkan hal tersebut.

Ada pula aturan soal hubungan sesama jenis di Pasal 495 RKUHP. Isinya: Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Artinya, bagi mereka yang berusia di atas 18 tahun, bisa saja melakukan hubungan sesama jenis tanpa terancam pidana asal dengan kemauan sendiri.

Dua Pasal RKUHP di atas sebenarnya bertentangan dengan bahasan Komisi VIII DPR tentang dalil agama dalam rumah tangga dan hubungan sesama jenis di dalam RUU PKS. Satu yang berbeda, RKUHP tidak menyinggung soal pelecehan seksual.

Tapi pada akhir periode jabatan DPR 2014-2019, RKUHP sudah hampir disahkan. Perbedaan utamanya, RKUHP dibahas oleh Komisi III yang membidangi masalah hukum, sedangkan Komisi VIII yang membahas RUU PKS membidangi masalah agama. Akibatnya, dalih agama menjadi salah satu penghalang RUU PKS.

Fajri Nursyamsi, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), menilai RKUHP memang penting dan harus menjadi acuan pidana. Namun seharusnya RUU PKS diperlakukan sebagai lex specialis berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis (aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum). RUU PKS bisa saja diselesaikan tanpa menunggu RKUHP lebih dahulu.

Melihat substansinya, bahwa RUU PKS dibutuhkan untuk melindungi korban pelecehan seksual dan lebih lengkap dari RKUHP, seharusnya tidak ada masalah jika RUU PKS diselesaikan lebih dulu dari RKUHP. Nantinya legislator bisa mengharmonisasikan RKUHP dengan UU PKS agar aturan pidananya tidak tumpang tindih. Entah dengan mengeluarkan usul pidana dari RUU PKS atau sebaliknya.

Tapi sekarang, RKUHP seakan-akan menyandera RUU PKS dengan pasal di dalamnya yang lebih sedikit mengatur soal pelecehan dan kekerasan seksual.

“Dengan begitu kedua RUU enggak perlu saling ketergantungan, karena RKUHP sendiri masih perlu banyak didiskusikan,” kata Fajri kepada Tirto, Sabtu (4/7/2020).

Ini bukan lagi soal kesulitan. Ini masalah kemauan politik para legislator kita.

==========

KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan