Menuju konten utama

RUU Penyiaran Bisa Jadi Senjata Kriminalisasi Bila Disahkan

Ada pasal mengenai sanksi pemidanaan, dikhawatirkan sudah disahkan RUU penyiaran akan menjadi senjata kriminalisasi terhadap pelaku industri penyiaran.

RUU Penyiaran Bisa Jadi Senjata Kriminalisasi Bila Disahkan
Ilustrasi pria melihat Televisi LCD. FOTO/iStock.

tirto.id - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran oleh Komisi I DPR RI telah rampung dilakukan dan sudah berada dalam proses di Badan Legislasi DPR RI. Dalam RUU ini, ada aturan mengenai ralat yang berpotensi sanksi pemidanaan dan dianggap bertentangan dengan kode etik jurnalistik.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta Nawawi Bahrudin mengatakan apabila keberadaan pasal mengenai ralat tersebut diaktifkan maka akan berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap pelaku industri penyiaran dari pembawa acara, moderator, hingga jurnalis.

“Ralat adalah bentuk kerendahan hati media karena melakukan kesalahan sebelumnya. Oleh karenanya perlu diapresiasi, bukannya dikriminalisasi,” tegas Nawawi dalam diskusi publik berjudul “Pasal Kriminalisasi di RUU Penyiaran: Kebebasan Pers Terancam?”, Minggu (17/9/2017) lalu di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat.

Rencananya, RUU Penyiaran yang baru akan menggantikan Undang-Undang Penyiaran sebelumnya (Nomor 32 Tahun 2004).

Dalam acara diskusi tersebut menyoroti bagaimana keberadaan pasal yang rentan menjadi senjata kriminalisasi bagi para pelaku di industri penyiaran di samping membicarakan juga mengenai kondisi penyiaran Indonesia saat ini.

Selain itu, keberadaan RUU ini menjadi landasan utama bagi pelaksanaan migrasi dari televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menuju digital.

Sehubungan dengan kesepakatan dari negara-negara anggota International Telecommunication Union (ITU), batas akhir penggunaan frekuensi tipe analog di Region 1 dan wilayah perbatasan antarnegara atau biasa dikenal Analog Switch Off (ASO) maupun Digital Switch Over (DSO) adalah 15 Juni 2020.

Sementara itu, Indonesia yang masuk dalam Region 3 memperoleh pengecualian untuk menetapkan tanggal lain sesuai dengan situasi industri penyiarannya.

Bagi sebagian pihak, proses perpindahan tipe dari analog ke digital ini merupakan sebuah kesempatan untuk mengatur kembali sistem telekomunikasi penyiaran agar efisien dan efektif dari segi perangkat kerasnya ataupun dana yang dibutuhkan.

Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah RUU Penyiaran tersebut benar-benar hanya memperhatikan kondisi migrasi tipe semata.

Hal yang dikritisi dari RUU penyiaran antara lain DPR telah menyiapkan UU Penyiaran yang mengabaikan kepentingan publik dan semangat demokratisasi penyiaran.

Selain itu, dalam diskusi juga disebutkan RUU melanggengkan pemusatan siaran televisi di Jakarta. Peningkatan porsi iklan yang diijinkan akan mengganggu kenyamanan khalayak dan menunjukkan keberpihakan tinggi kepada pemodal. Sebab dalam RUU disebutkan porsi iklan paling tinggi 40 persen, meningkat dua kali lipat dari UU Penyiaran 2002 yang menetapkan angka 20 persen saja.

Ditambah lagi, RUU mengijinkan adanya iklan rokok. Hal ini, dianggap bertentangan dengan ketentuan lain yang juga termuat dalam draf RUU yang menyatakan iklan tidak boleh mengiklankan zat adiktif. Berdasarkan UU Kesehatan, rokok dinyatakan sebagai zat adiktif.

Hal senada juga dipertegas Aktivis Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran Nina Armando saat diskusi berlangsung. Menurut Nina, sebetulnya pada draf Komisi I dan Baleg masih terdapat banyak kekurangan.

“Hakikatnya, RUU dibuat untuk mengayomi kepentingan masyarakat. Akan tetapi, dalam RUU yang baru ini nampak terlihat bagaimana parlemen ingin mengakomodasi kepentingan industri televisi,” papar Nina.

Baca juga artikel terkait UU PENYIARAN atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: FRI
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri