Menuju konten utama

RUU Minol: Kutip Kitab Suci, Riset Tak Dalam, Rentan Kriminalisasi

RUU Minol menyimpan sejumlah masalah. Selain mengutip kitab suci padahal Indonesia tak hanya Islam, peraturan ini juga rentan kriminalisasi.

RUU Minol: Kutip Kitab Suci, Riset Tak Dalam, Rentan Kriminalisasi
Kapolres Kupang Kota AKBP Satria Binti (kiri) meninjau sejumlah jerigen berisi minuman beralkohol tradisional (sopi) yang akan dimusnahkan di halaman Markas Polres Kupang Kota di Kupang, NTT Jumat, (21/12/18). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/hp.

tirto.id - “Saya rasa tidak hanya minuman beralkohol saja [yang berisiko]. Saya pernah baca di media, ada lomba berlebihan makan Kentucky (KFC), [pesertanya] meninggal juga.”

Ucapan itu keluar dari mulut anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, saat merespons pemaparan pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol, salah satunya politikus PPP Illiza Sa’aduddin Djamal, dalam rapat Baleg DPR RI, kemarin lusa (10/11/2020). Ia juga mengatakan RUU ini sudah lama dibahas dan telah berkali-kali ditunda hanya karena perdebatan perkara judul. Pemerintah ingin bernama 'Peraturan Minuman Beralkohol', sedangkan DPR mau 'Larangan Minuman Beralkohol'.

Lebih dari itu, menurutnya RUU ini berpotensi melanggar keanekaragaman dan kebhinnekaan Indonesia. Pasalnya, minuman beralkohol (minol) juga dikonsumsi di wilayah-wilayah tertentu oleh penganut keyakinan dan agama tertentu untuk kepentingan ritual. Contohnya Bali, Sumatera Utara, hingga Papua. “Indonesia mayoritas muslim, iya. Saya juga muslim. Tetapi kedudukannya tidak bisa dipersamakan,” katanya.

Ia khawatir jika peraturan ini berlaku, Indonesia seperti negara lain yang cenderung lebih homogen seperti Arab Saudi dan Brunei. “Di Mekkah enggak minum, tapi di Jeddah banyak itu orang menggunakan hijab dilepas, nari-nari sambil minum. Saya juga pernah jadi tamu Sultan Brunei. Ketika dijamu, rupanya bukan [cuma] air putih, [tapi] bir juga. Ini, kan, kemunafikan yang tidak bisa [di]adopsi.”

Walhasil, Fraksi Partai Golkar mengusulkan agar RUU Larangan Minuman Beralkohol dikonsultasikan terlebih dulu kepada pemerintah. Kata dia, Baleg DPR RI memiliki RUU lain yang lebih urgen dibahas di sisa 2020.

Selain itu, anggota Baleg DPR RI Fraksi PDIP, Sturman Panjaitan, juga mempertanyakan hal-hal yang dijadikan acuan para pengusul. Salah satunya terkait penelitian WHO yang menyebut 2,5 juta orang di dunia meninggal akibat alkohol pada 2011 lalu.

“Kalau kita mau bandingkan lebih banyak yang meninggal di jalan raya, bapak ibu sekalian, jauh lebih banyak. Apa kendaraan mau kita berhentikan? Enggak usah naik kendaraan lagi. Maksud saya jangan awak yang tak pandai menari, lantai yang dikata miring. Harus jeli mengambil poin-poin supaya kita bisa memahami,” kata Sturman di rapat yang sama.

Pasal-Pasal yang Disorot

Pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol terdiri dari 21 orang anggota DPR RI, 18 orang dari Fraksi PPP, dua dari Fraksi PKS, dan satu dari Fraksi Partai Gerindra. Permohonan untuk pembahasan RUU ini sebenarnya sudah diajukan sejak 24 Februari lalu, namun Baleg DPR RI baru menerimanya pada 17 September lalu. Akhirnya, rapat pembahasan awal baru dijadwalkan pada 10 November.

Di dalam paparan berjudul 'Urgensi Lahirnya UU Larangan Minuman Beralkohol dalam Kehidupan Bernegara', para pengusul mengutip Al Maidah 90-91 yang intinya melarang konsumsi (khamr) dan barang tersebut bisa membuat peminumnya jauh dari Allah karena telah melanggar aturan.

Dari draf RUU Larangan Minuman Beralkohol yang wartawan Tirto terima, terdapat klausul yang melarang siapa pun memproduksi minol. Selain memproduksi, juga dilarang memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minol di Indonesia. Mereka yang melanggar larangan-larangan di atas akan dipidana penjara minimal dua tahun dan paling lama sepuluh tahun.

Sedangkan masyarakat yang mengonsumsi minol akan dipidana penjara minimal tiga bulan dan paling lama dua tahun.

Bab II tentang Klasifikasi Pasal 4 Ayat (1) menjelaskan tiga golongan minol, yaitu golongan A (kadar etanol kurang dari 5 persen), golongan B (kadar etanol antara 5 sampai 20 persen), dan golongan C (kadar etanol antara 20 sampai 55 persen). Selain itu, minuman berlkohol “tradisional dan campuran atau racikan” juga dilarang di pasal 4 Ayat (2).

Pengecualian dari larang-larangan tersebut terdapat dalam pasal 8. Minol diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Di dalam pasal 9, dijelaskan bahwa pemerintah wajib mengalokasikan dana dari pendapatan cukai dan pajak minol—yang didapat dari kepentingan terbatas—sebanyak 20 persen untuk sosialisasi bahaya minol dan merehabilitasi korban minol. Dalam pasal 10 dan 11, pengawasan minol akan dilakukan oleh tim terpadu yang dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang isinya perwakilan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Polri, Kejaksaan Agung, dan perwakilan tokoh agama/tokoh masyarakat.

RUU yang Tidak Matang

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu melihat ada banyak masalah yang terdapat di dalam RUU ini, salah satunya “walaupun memuat pengecualian larangan, namun pengaturan pengecualian tersebut sama sekali tidak jelas.” “Ketidakjelasan pengecualian yang ketat ini dapat memberi dampak terjadi kesewenang-wenangan,” kata Erasmus lewat keterangan tertulis yang diterima wartawan Tirto, Rabu (11/11/2020) sore.

Larangan minol di dalam RUU tersebut menurutnya juga tak ubahnya seperti kebijakan narkotika yang bersifat prohibitionist atau larangan buta yang merupakan “pendekatan usang.” Satu contoh, saat ini, ketika seluruh bentuk penguasaan narkotika dilarang dalam UU, toh lebih dari 40 ribu pengguna narkotika dikirim ke penjara, memenuhi penjara, dan membuat peredaran narkotika di penjara tak terelakkan.

ICJR adalah salah satu organisasi yang telah lama bersuara tentang dekriminalisasi pengguna narkoba, sebab karena membuat lapas jadi kelebihan kapasitas, menurut mereka tak ada bukti ilmiah mengirim orang ke penjara dapat menurunkan angka pengguna narkotika.

“Memang perlu dilakukan langkah-langkah yang memang sejalan dengan perlindungan kesehatan masyarakat, namun pelarangan buta hanya akan membuat alkohol menjadi masalah baru setelah narkotika. Menimbulkan peredaran gelap, sistem yang korup, beban penegakan hukum, dan kerugian besar pada negara serta masyarakat,” katanya.

Saat ini toh pengaturan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan bukannya tidak ada. Ia sudah diatur dalam, misalnya, Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP. Pemerintah pun sudah lama mengeluarkan aturan pengendalian alkohol melalui Peraturan Menteri Perdagangan Indonesia No. 25 Tahun 2019 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Minuman Beralkohol.

Ia semakin menegaskan bahwa RUU ini tidak matang karena Naskah Akademiknya tidak mencantumkan riset mendalam mengenai untung-rugi atas kriminalisasi seluruh tindakan yang terkait dengan produksi, distribusi, kepemilikan, dan penguasaan minuman beralkohol. Malah, yang ada justru RUU tersebut berpotensi besar membebani APBN untuk seluruh tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan pemasyarakatan yang dilakukan atas para calon tersangka, calon, terdakwa, dan calon terpidana pelanggar minol.

Baca juga artikel terkait RUU LARANGAN MINUM ALKOHOL atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino