Menuju konten utama
Round Up

RUU KUHP: Mengapa Pemerintah Jokowi Pertahankan Pasal Tipikor?

Sejumlah pasal yang menyebabkan demo besar-besaran masih dipertahankan pemerintah Jokowi di draf RKUHP beredar ke publik.

RUU KUHP: Mengapa Pemerintah Jokowi Pertahankan Pasal Tipikor?
Sejumlah pengendara motor melintasi mural kritik sosial "Tolak RUU KUHP" di Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (29/9/2019). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/ama.

tirto.id - Publik kembali dihebohkan dengan beredarnya draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru. Dokumen sebanyak 273 halaman tersebut kembali mengangkat sejumlah isu krusial yang memantik demo besar-besaran pada 2019, seperti pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, penghinaan lembaga negara, kasus HAM hingga korupsi.

Khusus isu korupsi, pemerintah kembali memasukkan hukuman pidana korupsi lewat Pasal 603 hingga Pasal 606 RKUHP. Selain itu, Pasal 626 ayat 3 RKUHP menyatakan sejumlah ketentuan di Undang-Undang (UU) 31/1999 jo 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diubah ke Pasal 603-606 RKUHP. Sebagai contoh, pengacuan Pasal 2 Undang-Undang Tipikor diganti dengan Pasal 604 RKUHP.

Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari mengaku belum bisa berkomentar tentang RKUHP sektor Tipikor. Ia berdalih, RUU KUHP yang beredar saat ini belum dibahas dalam Prolegnas Prioritas sesuai arahan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Saat ini, draf RKUHP di tangan pemerintah sebagai pengusul dan diklaim masih dalam proses sosialisasi.

“Belum ada pembahasan naskah RKUHP di DPR karena baru akan dibahas jika telah masuk prolegnas prioritas baik untuk 2022 atau jika ada evaluasi dan perubahan terhadap prolegnas prioritas 2021. Karena belum ada pembahasan di Komisi III, maka RKUHP posisinya masih ada di tangan pemerintah," kata politikus Partai Nasdem ini kepada reporter Tirto, Kamis (10/6/2021).

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kemenkumham Tubagus Erif Faturrahman mengakui bahwa draf RKUHP yang beredar di publik adalah draf resmi pemerintah. Ia mengatakan, draf tersebut adalah draf yang sempat hendak disahkan dengan DPR, tetapi tertunda pada 2019. Namun pemerintah belum mengesahkan karena belum ada perbincangan lebih lanjut antara pemerintah dan DPR.

“RKUHP yang beredar itu, memang itu yang tahun 2019, yang kemarin itu sempat disahkan, tapi karena sekarang belum ada pembicaraan pertemuan lagi dan pembahasan lagi dengan DPR sehingga belum ada kesepakatan baru. Belum ada kesepakatan baru mau tidak mau yang 2019 itu jadi pegangan kami untuk jadi pedoman kita," kara Erif kepada reporter Tirto, Kamis.

Erif tidak bisa menjawab spesifik soal kemunculan kembali pasal tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP. Ia mengatakan, detail pasal merupakan wewenang dari direktorat khusus di Kemenkumham.

“Kalau pasal detailnya saya nggak begitu bisa mendalam. Itu harus bagian direktorat perundang-undangan yang lebih paham. Kalau kami sih kebijakan hukumnya saja," kata Erif.

Penolakan yang Tidak Didengar

Sejumlah pegiat antikorupsi pernah mengajukan keberatan atas masuknya pasal Tipikor dalam RKUHP pada 2019. Usai mengesahkan revisi UU KPK pada 2019, Kemenkumham kala itu mengejar pengesahan revisi Undang-Undang Pemasyarakatan dan RKUHP yang dinilai tidak pro-pemberantasan korupsi.

Saat itu, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Zaenur Rohman mengritik kemunculan pasal Tipikor di RKUHP. Salah satu poin kritik adalah batas hukum yang justru lebih rendah dari UU Tipikor.

Dalam Pasal 604 RKUHP, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta. Sementara dalam Pasal 2 UU Tipikor yang memiliki rumusan sama persis, hukuman penjara itu minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kala itu tidak sepakat dengan kritik tersebut. "Justru ini dimaksudkan supaya membedakan. Lebih berat hukuman kepada pejabat negara daripada orang yang tidak pejabat negara," tutur Yasonna di Gedung Kemenkumham, Jakarta Selatan, Jumat (20/9/2019).

Ia berdalih, Pasal 604 RKUHP merupakan sinkronisasi antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. "Di Pasal 3 [UU Tipikor] satu tahun [hukuman minimal], kami bikin jadi dua tahun," kata Yasonna kala itu.

Suara publik yang tidak kunjung didengar lantas memicu gelombang demonstrasi mahasiswa dan pegiat antikorupsi di DPR dan sejumlah daerah. Selain pasal korupsi, para demonstran menolak soal pasal penghinaan presiden, aborsi, kontrasepsi, contempt of court, pelanggaran HAM berat, hingga soal gelandangan. Aksi-aksi tersebut ada yang disebut dengan istilah GejayanMemanggil hingga MosiTidakPercaya.

Pada akhirnya, Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP bersama sejumlah rancangan undang-undang lain. "Sekali lagi, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP, itu ditunda pengesahannya. Untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, mendapatkan substansi-substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat," kata Jokowi.

Kini, substansi Pasal 604 dalam RKUHP yang beredar di publik tidak jauh berbeda. Dikutip dari draf RKUHP yang beredar di publik, Pasal 604 berbunyi “Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.”

Kepada reporter Tirto, Kamis (10/6/2021), Zaenur kembali mengkritik penempatan pasal Tipikor di RKUHP. Ia kembali menegaskan posisi korupsi sebagai extraordinary crime sudah tepat ditaruh di UU Tipikor daripada masuk RKUHP.

"Sebagai tindak pidana khusus sudah lebih tepat jika tipikor itu diatur di dalam undang-undang tersendiri. Kenapa demikian? Karena sifat dari tipikor sebagai extraordinary crime itu tidak dipersamakan dengan tindak pidana umum sehingga tidak tepat dimasukkan dalam KUHP," Kata Zaenur.

Selain itu, kata Zaenur, pemerintah lebih baik merevisi UU Tipikor daripada memasukkan ke RKUHP. Ia beralasan, pemerintah sudah meratifikasi United Nations Against Anti-corruption (UNCAC) atau konvensi PBB soal antikorupsi, tetapi tidak mengakomodir seluruh poin UNCAC. Sebagai contoh, pemerintah belum memidanakan trading of influence atau perdagangan pengaruh sesuai Pasal 18 UNCAC di UU Tipikor. Pemerintah juga harus memasukkan soal pemindaan korporasi dan memperbaiki disparitas hukuman dalam UU Tipikor.

Zaenur kembali mengritik hukuman pidana RKUHP yang kembali lebih rendah dari UU Tipikor. Ia bahkan menyebut, "Ini yang saya baca isi di dalam RUU KUHP ancaman pidananya lebih rendah daripada Undang-Undang Tipikor dan itu tentu tidak menunjukkan upaya serius negara untuk memberantas korupsi.”

Baca juga artikel terkait RUU KUHP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz