Menuju konten utama

RUU KIA: Lebih dari Sekadar Perpanjangan Cuti Melahirkan

RUU KIA masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 dan telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR akhir Juni lalu.

RUU KIA: Lebih dari Sekadar Perpanjangan Cuti Melahirkan
ilustrasi memahami perasaan anak saat sedih. tirto/tf subarkah

tirto.id - “Anak-anak yang sulit makan atau pemilih, hampir selalu berasal dari keluarga yang tidak pernah duduk makan bersama. Saat si kecil sarapan, ayahnya sudah melesat di jalan. Ibunya pun demikian. Ketika senja tiba, sang anak makan sambil tantrum sementara orangtuanya sibuk lembur atau bergelut dengan macet.”

Ini bukan kisah rekaan belaka. Dalam tulisan bertajuk “Keluarga Malfungsi, Bangsa Malnutrisi” yang dipublikasikan di Kompas.com, Dr. dr. Tan Shot Yen, M. Hum., seorang ahli nutrisi, menceritakan apa yang dilihatnya tiga tahun lalu dalam kunjungan kerja ke Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

“… Disebut makan bersama apabila akhir minggu tiba. Itu pun di meja restoran—ayah dan ibu masing-masing asyik menatap ponsel berbalas pesan, sang anak terpaku di dunia dua dimensi layar animasi. Makan hanya mekanisme buka-tutup mulut dan reka rasa.”

Tabalong cuma potret kecil dari kepingan yang lebih besar soal pergeseran gaya hidup—salah satunya pilihan menu dan adab makan—yang menimbulkan sederet masalah di kemudian hari. Padahal keluarga seharusnya berfungsi sebagaimana mestinya: menciptakan generasi yang lebih baik.

Tentu saja tidak semua keluarga seperti itu. Namun nukilan kisah di atas menyerupai kehidupan mayoritas masyarakat urban yang hari-harinya penuh sesak oleh pekerjaan sampai (seringnya) tak punya waktu.

Tak hanya waktu, tenaga dan pikiran untuk menjalankan peran sesungguhnya di rumah pun kerap tak tersisa, habis oleh tuntutan pekerjaan dan padatnya jalanan. Kesibukan orangtua bekerja memengaruhi pola asuh sehingga berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak.

Lalu ketika anak divonis kurang gizi, pendek (stunting), atau anemia, orangtua paniknya setengah mati. Tidak (atau belum) sadar bahwa kebiasaan kecil yang dibangun di dalam keluarga-lah akar masalahnya. Ini baru hal sederhana: pemberian makanan sehat dan gizi seimbang. Belum sampai ke pola asuh, pendidikan, dan lingkungan yang punya peran tak kalah penting dalam proses tumbuh kembang anak.

Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebut prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi, 24,4 persen, melebihi batas standar yang ditoleransi WHO (di bawah 20 persen). Pendek kata, 1 dari 4 anak Indonesia mengalami stunting.

Problem gagal tumbuh ini ditunjukkan dengan tinggi badan di bawah grafik pertumbuhan, perkembangan intelektual terhambat, sampai menyebabkan gangguan metabolik jika diabaikan dalam jangka panjang.

Jika sudah begini, di tengah pergeseran (pelan-pelan) peran gender menjadi lebih egaliter, biasanya perempuan yang bakal mendapat stigma dan gunjingan soal betapa tidak bertanggungjawabnya dia terhadap keluarga, khususnya anak.

Padahal, dalam kehidupan keluarga, baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran penting untuk melaksanakan fungsi masing-masing hingga terwujud keluarga sejahtera. Baik ayah maupun ibu, punya tanggung jawab dan peran yang sama dalam mengasuh dan merawat anak.

“Tidak boleh dibebankan pada ibu saja. Perempuan sebagai ibu itu hanya hamil dan menyusui. Namun soal pengasuhan adalah tugas ayah dan ibu. Artinya, kualitas pengasuhan ditentukan oleh kemampuan ayah dan ibu dalam menjaga, mendidik, dan menanamkan karakter anak," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Negara Hadir dalam Peran Rumah Tangga

Alih-alih tekanan dan sanksi sosial, perempuan perlu dukungan pasangan, keluarga, dan lingkungan untuk melakukan peran reproduktifnya—bereproduksi serta memberi kenyamanan, keamanan, dan mengasuh anak agar tumbuh dan berkembang optimal—sekaligus mendapatkan peran produktif dan peran sosial.

Dukungan pun datang dari negara lewat kebijakan yang tengah diramu di DPR RI, yakni Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). RUU ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 dan telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR akhir Juni lalu.

Draf terakhirnya bisa dilihat di sini.

Basis filosofisnya adalah: seorang ibu yang sejahtera kondisi fisik, mental, spiritual, maupun sosialnya akan melahirkan generasi berkualitas. Kesejahteraan ibu dan anak saling terikat sejak ibu mulai mengandung sampai melahirkan, bahkan terus berlanjut saat merawat dan membesarkannya.

RUU KIA menekankan pentingnya kesejahteraan ibu dan anak, salah satunya, lewat pemenuhan hak dasar orangtua khususnya ibu, termasuk hak cuti yang memadai bagi orangtua bekerja. Dengan demikian, perempuan Indonesia diharapkan bisa menjalankan peran sosialnya secara penuh.

Selain usulan penambahan durasi cuti melahirkan (maternity leave) menjadi minimal 6 bulan bagi ibu pekerja dan 1,5 bulan jika mengalami keguguran, RUU KIA juga mengusulkan cuti melahirkan untuk ayah (paternity leave) selama paling lama 40 hari dan 7 hari apabila istri keguguran.

Tentu saja, harapannya agar suami bisa ikut serta merawat anak yang baru lahir.

Sebelumnya, dalam pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan sesudah melahirkan.

Mengutip “Naskah Akademik RUU KIA” (PDF), aturan ini dinilai berpotensi mengurangi jangka waktu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan karena ibu hanya diberi waktu 3 bulan untuk cuti bekerja. “Ibu dan anak juga memiliki sedikit waktu untuk merasakan kehadiran seorang ayah selama masa pascanatal.”

Periode emas tumbuh kembang anak berada pada seribu hari pertama kehidupannya, dimulai sejak awal konsepsi atau selama 270 hari masa kehamilan dan 730 hari setelah lahir. Gampangnya, sampai anak berumur 2 tahun.

Disebut periode emas karena perkembangan otak dan sistem metabolisme tubuh, pertumbuhan badan, sampai pembentukan sistem kekebalan tubuh terjadi begitu cepat. Seribu hari pertama ini adalah “pondasi” yang menentukan ketahanan tubuhnya terhadap penyakit, normal atau tidak pertumbuhannya, hingga tingkat kecerdasannya.

Lebih dari sekadar mengatur soal penambahan durasi cuti melahirkan bagi ibu pekerja dan usul cuti untuk ayah, Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani mengungkap, “Setiap anak berhak hidup, tumbuh, berkembang secara optimal. Jadi, lewat RUU KIA, kita akan pastikan anak mendapatkan hak-haknya. Termasuk juga bagi ibu yang mengandung hingga melahirkan dan merawat anak.”

Lanjut Puan, “RUU KIA juga diharapkan dapat menurunkan angka stunting yang masih tinggi di Indonesia. Ketika ibu dan anak sejahtera, generasi Indonesia pasti akan berkualitas. RUU KIA dibutuhkan dalam menyambut generasi emas Indonesia.”

Selain itu, angka kematian ibu dan bayi juga menjadi tantangan bagi pembangunan SDM. Apalagi Indonesia termasuk negara dengan Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi di Asia Tenggara—yaitu 305 per 100 ribu kelahiran hidup berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015. Sementara Angka Kematian Bayi (AKB) 2017 di Indonesia masih 24 per seribu.

Hal ini menjadi perhatian serius. AKI dan AKB adalah salah satu indikator kesejahteraan, juga bukti nyata bahwa tiap kehamilan dan persalinan berisiko. Itulah mengapa pekerja yang tengah mengandung perlu mendapat perhatian khusus, mulai dari asupan gizi hingga penyesuaian beban kerja. Apalagi, lingkungan kerja juga punya potensi menimbulkan berbagai masalah kesehatan bagi ibu hamil.

Menurut WHO, ibu hamil dan anak baru lahir berhak mendapatkan perhatian dan perawatan berkualitas baik selama kehamilan, persalinan, hingga periode setelah melahirkan. Pasca-melahirkan, perhatian dan pendampingan pasangan maupun keluarga memang sangat dibutuhkan seorang ibu, salah satunya, terkait dengan gangguan pospartum blues.

Dukungan psikologis inilah alasan kuat mengapa selain ibu, ayah juga perlu diberi hak cuti pendampingan.

Potensi Bola Liar

Di tengah upaya menjamin kesejahteraan, mengurangi angka stunting, dan potensi kematian ibu-anak, sejumlah usulan dalam RUU KIA menuai pro-kontra di ruang publik, sebab ada potensi menjadi “bola liar” yang melahirkan masalah-masalah anyar bagi pengusaha maupun pekerja perempuan itu sendiri.

“Kami mendukung adanya wacana pemberian cuti 6 bulan untuk perempuan karena beberapa negara maju yang tingkat gap kesetaraan gendernya kecil sudah memberikan cuti tersebut. Namun, kita juga harus lihat realitas bisnis dan perkembangan mengenai kesetaraan gender di Indonesia belum sedewasa di negara-negara maju,” ujar Maya Juwita, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), koalisi perusahaan papan atas di Indonesia yang mempromosikan kesetaraan gender di tempat kerja serta berkomitmen mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan.

RUU yang dimaksudkan untuk melindungi ibu dan anak justru bisa menjadi bumerang karena peluang kerja yang selama ini menipis jadi kian eksklusif. Belum lagi, potensi diskriminasi gender dan stereotip di tempat kerja bakal semakin menjadi-jadi. Padahal, menurut Maya, perusahaan bakal diuntungkan bila berinvestasi terhadap pemenuhan hak perempuan.

“Berinvestasi terhadap perempuan itu bersifat jangka panjang. Tapi (pekerja) perempuan itu lebih loyal. Kalau mereka diperlakukan dengan baik oleh perusahaan, maka mereka akan stay.”

Senada dengan Maya, Shinta Widjaja Kamdani—Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)—juga menyatakan dukungannya terhadap usulan perluasan cuti ayah-ibu bekerja. Dengan begitu, orangtua punya kesempatan menata keluarga sembari mendampingi anak pada periode emas.

Namun, dia mengingatkan dampaknya terhadap perusahaan, mulai dari beban finansial sampai operasional. "Saya rasa perlu ada pertimbangan yang matang dan obyektif terkait manfaat dan beban dari kebijakan ini. Yang dilihat bukan hanya dari segi kesejahteraan sosial, tetapi juga dari sisi produktivitas dan daya saing ekonomi nasional terhadap negara pesaing juga," kata Shinta.

Di luar pekerjaan, RUU KIA mengandung pasal yang mengatur kewajiban ibu secara spesifik. Daftar kewajiban yang mengikat ibu secara hukum ini dinilai menambah beban, sementara kewajiban ayah sama sekali tidak dijabarkan—termasuk apa saja yang perlu dilakukannya selama cuti pendampingan 40 hari.

Padahal, edukasi peran justru penting agar tepat sasaran. Menanggapi hal ini, I Gusti Ayu—dikutip dari laman KemenPPPA—sepakat bahwa sebagian substansi yang diatur dalam RUU KIA saat ini masih membutuhkan diskusi intens dengan berbagai kalangan agar menciptakan regulasi yang komprehensif.

Sebagai leading sector pembahasan RUU KIA, KemenPPPA telah melakukan dialog bersama masyarakat sipil, akademisi, dan perwakilan dari dunia usaha. Hasilnya, sejumlah pasal mendapat masukan, termasuk definisi, hak ibu-anak, hingga pemberian cuti bagi ibu maupun ayah.

Sebelumnya, Tirto telah merangkum beragam masalah yang mungkin muncul, yang bisa menjadi bahan pertimbangan pengambil kebijakan untuk membuat perencanaan menyeluruh dan terintegrasi sebelum mengesahkan RUU KIA menjadi UU.

Baca juga artikel terkait IBU ANAK atau tulisan lainnya dari Yemima Lintang

tirto.id - Hukum
Penulis: Yemima Lintang
Editor: Aditya Widya Putri