Menuju konten utama

RUU Ketahanan Keluarga: Warisan Orde Baru yang Harus Dicabut

Bentuk intervensi negara atas ruang privat warga dan domestifikasi kaum perempuan yang tergambar jelas di RUU Ketahanan Keluarga adalah warisan orde baru.

RUU Ketahanan Keluarga: Warisan Orde Baru yang Harus Dicabut
Gedung DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Ribut-ribut soal banyaknya pasal bermasalah di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga makin bergulir. Masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2020, RUU Ketahanan Keluarga tiba-tiba menyusup masuk ke parlemen dan bakal mengancam ruang-ruang privat warga negara.

Beberapa aturan yang disorot adalah pengaturan peran istri di rumah, larangan aktivitas seksual BDSM, dan kewajiban pelaku homoseksual melapor dan wajib rehabilitasi.

Setidaknya ada lima anggota dewan yang menginisiasi RUU ini: Sodik Mudhajid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.

Salah satu poin yang sangat disoroti dalam RUU tersebut adalah pembagian kerja antara suami dan istri yang hendak diatur oleh negara. Pengaturan tersebut tercantum dalam Pasal 25.

Pasal tersebut jelas mendesak suami sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab lebih dan istri mengatur rumah tangga.

Larangan untuk mendonorkan dan memperjualbelikan sperma tersebut tercantum dalam pasal 31 ayat 1 dan 2. Diatur juga ancaman pidananya dalam pasal 139 dan 140. Itu artinya, pendonor sperma--entah itu kebutuhan biologis atau kesehatan--bisa dipenjara.

Dalam draf RUU itu juga memiliki pasal bermasalah, salah satunya terkait 'penyimpangan seksual'. Dalam bab penjelasan, ada empat perbuatan yang dikategorikan sebagai penyimpangan, di antaranya ialah homoseksualitas atau hubungan sesama jenis, juga sadisme, masokisme, dan inses.

Pasal 86 menyebutkan: "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."

Sedangkan pasal 87 menyebut: "Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."

Dua pasal ini, ringkasnya: mengharuskan orang-orang yang dianggap melakukan penyimpangan seksual wajib lapor dan wajib pula mendapatkan rehabilitasi.

Dari contoh pasal-pasal di atas, dapat dilihat bagaimana brutalnya negara akan menerabas ranah privat warga negara jika RUU ini berhasil diloloskan.

Partai Kecolongan, Pengusul Tak Baca Draf

Riak-riak penolakan tak hanya lantang disuarakan masyarakat sipil dan pegiat HAM, tapi juga sesama politikus di parlemen Senayan.

Salah satunya oleh anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem, Lestari Mordijat. Ia menilai RUU tidak perlu ada karena terlalu mengintervensi entitas keluarga yang masuk ke ranah privat.

“RUU Ketahanan Keluarga mestinya tidak tendensius. RUU ini mengabaikan HAM sekaligus melegitimasi posisi perempuan sebagai tiyang wingking (orang yang di belakang/manusia kelas dua). Banyak persoalan bangsa dan negara yang lebih mendesak untuk diatur. Persoalan privat dalam pandangan saya tidak perlu diatur oleh negara," katanya, Kamis (20/2/2020) sore.

Uniknya, kendati diusulkan oleh salah dua anggota dewan dari Partai Gerindra dan Partai Golkar, partainya malah ikut menentang dan menolak keras.

Anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, menyatakan fraksinya mencabut dukungan sebagai salah satu pengusul dalam RUU Ketahanan Keluarga. Ia mengaku fraksinya kecolongan dengan apa yang diusulkan oleh Endang Maria Astuti.

"Seharusnya yang bersangkutan berkonsultasi dan presentasi kepada fraksi sebelum menjadi pengusung suatu RUU. Saya di Baleg sudah berkeberatan sejak RUU tersebut dipresentasikan," kata Nurul.

"Untuk yang terkait masalah kekerasan dalam rumah tangga, baik seksual, fisik ataupun ekonomi sudah ada undang-undang yg mengatur, seperti UU penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU KUHP. Kami menarik dukungan terhadap RUU Ketahanan Keluarga ini," katanya tegas.

Parahnya lagi, Endang sendiri yang merupakan kader Partai Golkar yang mengusul RUU tersebut, malah disebut belum membaca draf secara keseluruhan. Itu dikatakan langsung oleh anggota DPR RI dari Fraksi Golkar lainnya, Ace Hasan Syadzily.

"Soal bahwa Ibu Endang Maria mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga itu, justru Bu Endangnya sendiri katanya belum membaca secara keseluruhan RUU Ketahanan Keluarga. Kami telah mengklarifikasi kepada Bu Endang soal RUU Ketahanan Keluarga itu," kata Ace.

Tak hanya Partai Golkar, Partai Gerindra juga demikian. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengklaim fraksi partainya tidak terlibat dalam pengusulan RUU itu.

Kata Dasco, salah satu pengusul RUU tersebut bukan atas arahan dari fraksi, melainkan pengajuan pribadi dari Sodik Mujahid.

"Bukan usulan dari fraksi, yang nantinya akan kami sama-sama cermati. Kami juga tidak ingin ada UU yang kemudian nanti menuai kontroversial yang menurut beberapa kalangan ada beberapa hal yang perlu dicermati," katanya, Rabu (19/2/2020) lalu.

Belakangan, Sodik Mujahid diketahui dipanggil untuk menghadap fraksinya pada Jumat (21/2/2020) siang di ruangan fraksi Partai Gerindra di DPR RI. Pemanggilannya untuk mengklarifikasi terkait usulan RUU itu.

Warisan Orde Baru

Bentuk intervensi negara atas ruang privat warga dan domestifikasi kaum perempuan yang tergambar jelas di RUU Ketahanan Keluarga sebenarnya bukan barang baru. Setidaknya, fenomena-fenomena tersebut adalah warisan Orde Baru, kata Julia Suryakusuma dalam wawancaranya dengan Tirto, 2017 silam.

"Negara masih mengintervensi kehidupan kita hingga ranah privat seksualitas, yang diaplikasikan pada peraturan seperti pegawai negeri tak bisa nikah lagi, atau macam keluarga berencana," kata Julia.

Dalam tesisnya yang dibukukan berjudul Ibuisme Negara (2011), Orde Baru melakukan pendefinisian ulang terhadap "istri" baik secara sosial, politik dan ekonomi. Ia menganalisis, bahwa selama 32 tahun Soeharto berkuasa, telah terjadi kontruksi sosial keperempuanan di Indonesia dengan manipulasi "pengiburumahtanggaan" atau "ibuisme."

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengaku sepakat dengan apa yang dikatakan Julia. Rezim Orde Baru yang otoriter memang mengintervensi ke ranah privat keluarga.

"Secara garis besar, RUU ini punya pola umum: tidak percaya dengan kesetaraan gender dan mengatur ruang privat. Dari pola umum ini akan muncul pasal-pasalnya, contohnya pengaturan peran suami istri," kata Asfin saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (21/2/2020) pagi.

Pola berikutnya dalam RUU Ketahanan Keluarga, kata Asfinawati, dalam bagaimana sebuah UU bisa menghakimi yang ada di pikiran dan orientasi seksual tertentu.

"Jadi tidak hanya dalam bentuk tindakan," katanya.

Ia mendesak agar RUU Ketahanan Keluarga ditarik dari DPR RI karena kebanyakan hanya mengatur soal moralitas individual.

"Misalnya, soal mendidik anak dan lainnya. Negara harusnya membangun akses pendidikan, tapi enggak mengatur keluarga. Karena secara sosial, memang tugas orang tua mendidik. Enggak perlu diatur di UU," kata Asfin.

"Masuknya RUU semacam ini di Prolegnas DPR juga menimbulkan pertanyaan bagi kami. Bagaimana ukuran suatu RUU bisa masuk ke Prolegnas? Seolah-olah ini semata proses politik saja, tanpa melihat substansi," lanjutnya.

Baca juga artikel terkait RUU KETAHANAN KELUARGA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri