Menuju konten utama
Pemindahan Ibu Kota Baru

RUU IKN & Ambisi Jokowi Pindahkan Ibu Kota Negara, Ada Sinyal Apa?

Jokowi telah mengirim surpres RUU IKN ke DPR dan sinyal untuk pemindahan ibu kota baru makin nyata. Ada apa di balik rencana yang dinilai tergesa-gesa ini?

RUU IKN & Ambisi Jokowi Pindahkan Ibu Kota Negara, Ada Sinyal Apa?
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor (kanan) saat meninjau lokasi rencana ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Presiden Jokowi semakin menegaskan ambisi untuk memindahkan ibu kota baru dari DKI Jakarta ke Penajam Passer Utara, Kalimantan Timur. Hal tersebut ditandai dengan penyerahan surat presiden yang diwakili oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa kepada DPR RI lewat Ketua DPR Puan Maharani, Rabu (29/9/2021).

Pemerintah resmi menyerahkan RUU IKN yang disampaikan pemerintah terdiri dari 9 bab yang berisi 34 pasal. RUU mengatur soal isi dari Ibu Kota Negara, bentuk organisasi, pengelolaan, hingga tahap-tahap pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara beserta pembiayaannya.

Dalam konferensi pers bersama, Puan mengaku DPR memiliki arah yang sama dengan pemerintah soal urgensi pemindahan ibu kota. Puan pun menyinggung rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke tempat yang lebih baik sudah disampaikan oleh presiden pertama RI, Sukarno.

“Yang kami harapkan dari pemerintah dalam merencanakan pemindahan Ibu Kota Negara adalah perlunya sosialisasi dan persiapan yang matang terkait pembangunan Ibu Kota Baru yang meliputi aspek regulasi, sampai hal-hal teknis yang semua proses itu dikoordinasikan dengan DPR RI,” ucapnya.

Di saat yang sama, DPR RI dipastikan akan mempertimbangkan masukan dan aspirasi dari masyarakat terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara melalui RUU IKN. Puan juga berharap RUU IKN dapat memenuhi kebutuhan atas suatu bentuk Ibu Kota Negara yang ideal dari semua sisi dan pertimbangan yang ada.

“RUU IKN nantinya harus bisa dilengkapi dengan peraturan turunannya yang lebih komprehensif yang pembicaraannya akan melibatkan banyak pihak. Bukan hanya pemerintah dan DPR tapi juga semua elemen bangsa dalam memberi masukan,” jelasnya.

“Kemudian siapa yang mengelola, atau memimpin ibu kota tersebut. Apakah pemimpin yang sama atau bentuknya berbeda nanti akan dibahas serta mengenai struktur organisasinya,” tambah Puan.

Menteri PPN/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa berharap keberadaan ibu kota baru tidak sebatas pemindahan ibu kota, tetapi juga membawa kemajuan untuk bangsa.

"Mudah-mudahan bisa menjadi kota dunia ini semua yang disampaikan mengakomodasi kemajuan-kemajuan tidak hanya di dalam negeri tetapi juga apa yang berkembang di muka bumi," kata Suharso saat konferensi pers, Rabu lalu.

"Kita memindahkan ibu kota bukan berarti kita memindahkan Jakarta. Kita memindahkan ibu kota adalah kita mewujudkan satu visi Indonesia dalam rangka menjemput 100 tahun Indonesia merdeka," kata Suharso.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno juga menekankan pemindahan ibu kota tidak hanya memindahkan ibu kota negara, tetapi membuat motor kemajuan, sentra inovasi berkelanjutan yang menjadi sumber inspirasi Indonesia.

"Jangan dibayangkan ini akan semata-mata menjadi kantor pemerintahan tetapi sebuah kota baru, kota masa depan yang bisa menjadi magnet bagi para talenta hebat dan sekaligus menjadi engine, menjadi motor, menjadi katalis kemajuan Indonesia," kata Pratikno.

Dinilai Membawa Kesejahteraan?

Staf Khusus Presiden Jokowi bidang Komunikasi Fadjroel Rachman mengklaim pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke daerah Penajam Passer Utara, Kalimantan Timur sebagai simbol keberpihakan Jokowi dalam pemerataan kesejahteraan Indonesia.

"Ibu Kota Negara di Pulau Kalimantan ini merupakan bagian dari keberpihakan Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintahannya untuk mengkonsolidasikan tatanan demokrasi dan pemerataan kesejahteraan yang didambakan rakyat Indonesia," kata Fadjroel dalam keterangan, Jumat.

Fadjroel menuturkan, realisasi pemindahan ibu kota baru sebagai langkah konkret Jokowi mewujudkan Indonesiasentris dan Indonesia Maju. Pertama, ibu kota baru yang terletak secara geografis di tengah Nusantara bisa diterjemahkan sebagai transfer positif menuju Indonesia Maju.

Transformasi progresif tersebut, kata Fadjroel, akan mengubah kultur Indonesia ke kultur yang bersifat Indonesiasentris (pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia), perlindungan lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim, kualitas baru tata kelola pemerintahan, dan transformasi progresif dan menyeluruh kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.

Kedua, Jokowi ingin menumbuhkan habitus Indonesia Maju sebagai prinsip utama perpindahan ibu kota negara. Fadjroel pun menegaskan bahwa perubahan kultur dan sistem adalah jawaban dalam merespons tantangan zaman dan memeratakan keadilan pembangunan atau Indonesiasentris.

Fadjroel pun tidak memungkiri bahwa ada tantangan untuk memenuhi target tersebut dalam gagasan pemindahan ibu kota baru. Namun, ia yakin Jokowi bisa membawa semua pihak untuk menyelesaikan bersama.

Namun, gagasan ibu kota baru tidak sepenuhnya disambut positif. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Gita Putri Damayana mengkritik aksi pemerintah. Menurut Gita, pemerintah lebih mengedepankan agenda elite daripada undang-undang yang dibutuhkan publik saat ini.

"Apa yang menjadi agenda elite kerap berbeda dengan RUU yang ditunggu publik atau permasalahan yang sebetulnya butuh pengaturan baru dalam bentuk UU: banyak RUU yang mendesak dan dibutuhkan publik seperti RUU PKS - RUU Masyarakat Adat dan RUU Perlindungan PRT yang jadi tertunda dengan berbagai alasan," kata Gita kepada Tirto, Jumat lalu.

Gita menilai, pemerintah dan DPR terlalu seirama sehingga mekanisme pemeriksaan dan pengawasan (check and balances) pemerintahan terganggu. Hal ini diperburuk dengan minimnya partisipasi publik dalam masa legislasi serta pandemi.

"Seharusnya yang didesak adalah mekanisme evaluasi dan monitoring sebagai implementasi UU 15/2019 sehingga efektivitas UU bisa terlihat," kata Gita.

Ia khawatir agenda pemerintah akan terus berjalan tanpa halangan ke depan kecuali agenda tersebut berbenturan dengan masalah elektoral.

"Apapun agenda Pemerintah mungkin akan langsung melaju, seberapapun kuat publik menolak karena preseden menunjukkan demikian. Kecuali kalau ada kepentingan elektoral yang mungkin berbeda kepentingan dengan politik hukum pemerintah," kata Gita.

Pemindahan Ibu Kota Baru Tergesa-gesa?

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah melihat ada upaya buru-buru Jokowi dalam pembangunan ibu kota baru. Ia menilai ibu kota baru harus dibahas serius karena berdampak soal alur birokrasi, pemerataan pembangunan hingga distribusi kebijakan yang dapat tersebar dengan cepat.

"Memindah ibu kota secara fisik, hanya akan menambah proyek, tetapi belum tentu memperbaiki pola kerja di masa mendatang. Selain itu, ketergesaan ini potensial hanya menjadi ajang gengsi politik dibanding soal kebutuhan mendasar negara ini," kata Dedi kepada Tirto, Jumat.

Gagasan ibu kota baru memang sudah menggema sejak 2019 lalu, tetapi pelaksanaan beberapa bulan terakhir tergolong cepat. Isu pemindahan ibu kota mengemuka setelah Jokowi resmi mengumumkan Penajam Passer Utara, Kalimantan Timur sebagai titik ibu kota baru pada Agustus 2019 lalu. Jokowi pun selalu mempromosikan ibu kota baru dalam setiap kegiatan baik kepada masyarakat nasional, maupun dunia internasional.

Beberapa pihak internasional pun tertarik dengan proyek ini. Sebut saja bos Softbank Masayoshi Son hingga Perdana Menteri Inggris Tony Blair ikut membahas soal ibu kota baru. Pemerintah pun sudah menunjuk konsultan pada Februari 2020 untuk pembangunan ibu kota baru.

Proyek ibu kota baru senyap setelah dunia dilanda pandemi COVID-19, apalagi Indonesia mengalami kasus pertama pada Maret 2020. Sejak saat kasus pertama COVID masuk Indonesia, informasi soal rencana ibu kota baru tidak terdengar.

Isu pembangunan ibu kota baru kembali menghangat setelah kondisi pandemi COVID-19 mulai terkendali pada Agustus 2021. Jokowi pun mulai meninjau pembangunan ibu kota baru pada 24 Agustus 2021 bersama Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Sehari kemudian, Jokowi mengundang seluruh partai di parlemen kecuali Partai Demokrat dan PKS. Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menyinggung soal program pembangunan ibu kota baru. Tidak hanya kepada partai di parlemen, Jokowi juga menyampaikan kepada ormas-ormas maupun partai non-parlemen tentang gagasan ibu kota baru.

Selain itu, Jokowi memasukkan pembangunan ibu kota baru sebagai Rencana Kerja Pemerintah sesuai Perpres Nomor 85 tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah 2022 yang ditandatangani 9 September 2021.

Menurut Dedi, agenda ibu kota baru tidak bisa dilepaskan dari sejumlah alasan. Pertama, soal paradigma Jokowi yang lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur secara cepat. Ia mencontohkan keburu-buruan Jokowi dalam penerapan teknologi di birokrasi.

Saat ini, Jokowi tetap mengedepankan infrastruktur daripada pengembangan teknologi untuk birokrasi. Hal ini tidak lepas dari keinginan Jokowi yang ingin terlihat punya legasi pada objek tampak meski tidak substansial, apalagi di tengah pandemi.

"Kedua, ibu kota baru hanya gengsi politik jika hanya dilihat dari sisi infrastruktur, sementara tidak disinergikan dengan sebaran struktur birokrasi yang lebih efisien, Istana Presiden bisa di mana saja, tetapi jaringan komunikasinya yang perlu dibangun agar kerja presiden bisa menyebar tanpa bergantung tempat," kata Dedi.

Masalah lain yang tidak bisa dilepaskan adalah adanya potensi motif politik atau ekonomi dalam pembangunan ibu kota baru, apalagi ada vendor asing. Ia menduga, ibu kota baru menjadi alat diplomasi ekonomi dengan sejumlah negara. Di sisi lain, proyek ini bisa berkorelasi dengan isu lain seperti masalah periode tiga jabatan.

"Jokowi perlu reputasi politik di masa akhir periode terakhirnya, akan menjadi tragis jika megaproyek ini menjadi materi argumentasi penambahan masa waktu jabatan Presiden. Entah tambahan di luar periode ketiga maupun wacana periodisasi jabatan presiden yang akan diamandemen," kata Dedi.

Menurut Dedi, pemerintah sebaiknya tidak perlu memindahkan ibu kota dan semua infrastruktur. Ia menilai anggaran yang ada lebih baik untuk perbaikan infrastruktur dan pembangunan SDM daripada pembangunan ibu kota baru.

"Ibu kota biar saja di Jakarta, di mana infrastrukturnya sudah mapan, sementara kantor-kantor pemerintah pusat di daerah diperbaiki, baik infrastruktur maupun SDM-nya, itu jauh lebih baik dan berguna," kata Dedi.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri