Menuju konten utama

RUU Cilaka dan RUU Halu Dinilai Hapus Perlindungan Buruh Perempuan

Serikat buruh mengatakan RUU Cipta Kerja dan RUU Ketahanan Keluarga berbahaya bagi buruh perempuan. 

RUU Cilaka dan RUU Halu Dinilai Hapus Perlindungan Buruh Perempuan
Pengunjuk rasa melakukan aksi damai menolak Omnibus Law' RUU Cipta Lapangan Kerja di Taman Pandang Istana, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (15/1/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

tirto.id - Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih mengatakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka) dan RUU Ketahanan Keluarga (RUU Halu) merugikan buruh, terutama buruh perempuan.

"Hak buruh perempuan itu tidak dilindungi di dalam RUU Cipta Kerja. Salah satu yang kami ambil contoh adalah hak atas cuti haid. Haid itu oleh pemerintah tidak dianggap sebagai masalah," ujar Jumisih di Kantor KPBI, Jakarta, Senin (2/3/2020).

Pasal soal cuti haid yang terdapat dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dihapus oleh RUU Cilaka. Namun, dalam RUU Cilaka, pasal yang mewajibkan pengusaha membayar upah buruh yang cuti haid diganti redaksionalnya (Pasal 93 ayat 2). Tidak ada lagi yang menyebut eksplisit bahwa pengusaha wajib membayar upah buruh yang ambil cuti haid.

RUU Cilaka hanya menyebut pengusaha wajib membayar upah: "pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan," dan pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya."

Jumisih mengatakan pasal tersebut "tidak jelas dan berpeluang multitafsir."

Sementara untuk RUU Halu, Jumisih mengatakan menolak karena dalam peraturan itu ada pembagian tugas yang jelas antara antara suami dan istri seperti dalam perspektif patriarki: bahwa yang perempuan di rumah, dan yang bekerja si suami.

"Itu mau memposisikan perempuan kembali ke ranah domestik, kembali ke ranah keluarga karena di dalam drafnya disebutkan bahwa tugas perempuan adalah mengatur rumah tangga," jelas Jumisih. "Dan itu yang kami soroti," tegasnya.

Jumisih menjelaskan alasan perempuan untuk bekerja, atau tak mengurus rumah, sangat beragam. Ada yang bekerja untuk aktualisasi, ada pula yang memang benar-benar butuh uang. Pilihan untuk bekerja atau tidak seharusnya kewenangan penuh perempuan dan tidak diatur dalam UU.

"RUU ini terlalu mencampuri ranah privat. Pencampuri ranah-ranah yang seharusnya menjadi ranah privasi setiap orang," pungkasnya.

Dengan alasan-alasan tersebut, Jumisih dan serikatnya menyatakan tegas menolak RUU Cilaka dan RUU Halu. Kedua RUU tersebut termasuk prolegnas prioritas dan akan dibahas setelah DPR masuk kembali setelah reses.

Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino