Menuju konten utama

RUU Cilaka: Cara Elite Bawa Indonesia ke Orde Otoriter Gaya Baru

DPR dan pemerintah masih ngotot merampungkan RUU Cilaka di tengah penolakan massa rakyat. Peraturan ini dianggap menyediakan prakondisi Indonesia memasuki era otoriter.

RUU Cilaka: Cara Elite Bawa Indonesia ke Orde Otoriter Gaya Baru
Aktivis Greenpeace menyemprotkan cairan disinfektan pada manekin saat aksi damai menolak pembahasan RUU Cipta Kerja di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

tirto.id - Pemerintah dan DPR RI terus mengejar target merampungkan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka). Pembahasan RUU yang diterima DPR pada 12 Februari ini terus dilakukan di tengah gelombang protes dari masyarakat sipil.

Penolakan tak hanya datang dari serikat buruh, mahasiswa, akademisi, atau LSM, namun juga organisasi lintas keagamaan. Setelah PP Muhammadiyah, penolakan juga muncul dari agamawan gereja. Setidaknya 104 pendeta rohaniwan/rohaniawati menilai RUU Cilaka memberikan dampak buruk kepada masyarakat, khususnya mereka yang rentan seperti buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, dan masyarakat adat. Peraturan ini juga dianggap mengancam lingkungan hidup.

"Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini lebih mementingkan kepentingan korporasi daripada kepentingan rakyat dan keselamatan lingkungan hidup, yaitu atas nama investasi," kata perwakilan pendeta, Adventus Nadapdap, lewat keterangan tertulisnya yang diterima wartawan Tirto, Rabu (15/7/2020) pagi.

Adventus mengatakan mereka bersuara karena ini "merupakan bagian dari tanggung jawab kami untuk mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (KPKC)." "Pernyataan sikap kami ini juga merupakan bentuk dari kepedulian gereja dan sebagai warga negara kepada sesama manusia dan lingkungan hidup, yang adalah ciptaan Tuhan," tambahnya.

Mereka menilai pemerintah dan DPR tidak menghiraukan tuntutan dari masyarakat agar menghentikan pembahasan RUU Cilaka.

Selain itu mereka juga menilai pembahasannya tak perlu dilanjutkan karena demokrasi semestinya menyediakan ruang yang luas agar publik dapat berpartisipasi dalam setiap pembuatan peraturan atau kebijakan politik. Masalahnya itu tidak mungkin maksimal karena pandemi COVID-19. "Padahal, pemerintah sendiri yang mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial sebagai langkah dan upaya memutus mata rantai penularan COVID-19," katanya.

Adventus menilai pemerintah dan DPR tampak seperti memanfaatkan momentum pandemi untuk melakukan tindakan politis yang merugikan publik. Salah duanya menyetujui Revisi Undang Undang (RUU) Minerba pada 12 Mei 2020 dan mencabut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), peraturan yang dibutuhkan para korban kekerasan seksual, dari Program Legislasi Nasional 2020 pada 2 Juli lalu. Daftar ini tambah panjang jika RUU Cilaka juga disahkan sekarang.

Hal senada juga diutarakan oleh kelompok pegiat isu lingkungan. Aliansi #BersihkanIndonesia, gabungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesian Centre for Environmental Law (Icel), hingga Enter Nusantara menilai jargon pemerintah bahwa RUU Cilaka akan mampu menciptakan pekerjaan dan akhirnya memakmurkan rakyat adalah omong kosong.

Direktur Eksekutif Enter Nusantara Elok Faiqotul Mutia mengatakan RUU ini justru menghasilkan kerentanan. Ia menyebut salah satu dampak dari peraturan ini adalah penggusuran tanah subur dan ladang produktif warga akan semakin gampang dilakukan, baik oleh investor maupun pemerintah.

"Pengesahan RUU Cipta Kerja hanya akan menampakkan wajah asli pemerintah sebagai bagian dari skenario sukses oligarki untuk menguasai kekayaan alam negara melalui instrumen legislasi. RUU ini bukan saja memberikan insentif besar dan jaminan kepada para investor oligarki namun juga merugikan kelas pekerja pada tingkat yang belum pernah kita alami," kata Elok, kemarin lusa (14/7/2020).

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan kualitas DPR begitu buruk karena mengabaikan protes publik. Ini bukan hanya untuk periode sekarang, tapi periode lalu di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo, politikus dari Partai Golkar.

September tahun lalu, gerakan #ReformasiDikorupsi dari masyarakat dan mahasiswa serentak protes ke DPR dan DPRD di kota masing-masing. Mereka mendesak DPR membatalkan beragam regulasi bermasalah. Namun, UU KPK tetap direvisi, RKUHP dan RUU PAS tetap dilanjutkan, dan RUU PKS tak kunjung disahkan.

Karena diabaikan pemerintah dan DPR RI, gerakan itu memakan banyak korban: beberapa mahasiswa meninggal, masyarakat sipil direpresi aparat, ada juga mahasiswa yang diancam drop out.

"DPR saat ini tidak berubah. Konsisten meski anggota sudah berganti. Ini artinya yang bermasalah partai politik. DPR yang sebenarnya cuma kepanjangan tangan elite pimpinan parpol," kata Asfin kepada wartawan Tirto, Rabu (15/7/2020).

Omnibus Law Bawa Indonesia ke Era Otoriter

Asfin lantas menjelaskan pada masa Orde Baru orientasi pemerintah dan DPR selalu mengacu kepada paket pembangunanisme: penjagaan stabilitas nasional dan pengurangan kebebasan sipil, menderegulasi aturan-aturan yang dianggap menghambat, hingga pelemahan langkah pemberantasan korupsi.

RUU Cilaka sudah mencakup semua itu, katanya. "Omnibus law ini memang secara garis besar sudah menjadi instrumen utama untuk mempercepat Indonesia masuk ke orde otoriter yang baru."

Salah satu contoh konkretnya terdapat dalam pasal 82. Pasal ini berbunyi: "Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian... diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) d Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa." Dalam penjelasan, yang dimaksud dengan "aliran" adalah "paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar negara."

Ketentuan tersebut berpotensi membatasi hak-hak kelompok minoritas yang sering dianggap menganut 'aliran sesat', kata Asfin. "Ini juga sekaligus melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi, dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan."

Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino