Menuju konten utama

RUU Cilaka Bikin Buruh Kalah Saing dengan Tenaga Kerja Asing?

Buruh khawatir RUU Cipta Lapangan Kerja karena ia mempermudah izin tenaga kerja asing.

RUU Cilaka Bikin Buruh Kalah Saing dengan Tenaga Kerja Asing?
Ratusan buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law di Jakarta, Senin (20/1/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz

tirto.id - Salah satu alasan buruh menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) adalah peraturan sapu jagat ini mempermudah akses untuk tenaga kerja asing. Mereka merasa itu mempersempit lapangan kerja untuk orang lokal--meski secara umum tidak ada korelasi antara jumlah tenaga kerja asing dengan jumlah pengangguran.

Saat ini penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan--peraturan yang akan dianulir setelah RUU Cilaka disahkan. Di sana ditetapkan beberapa rambu yang harus dipatuhi perusahaan jika hendak merekrut orang asing.

Salah satunya adalah perusahaan harus mengantongi izin tertulis dan memberikan rencana detail ke pemerintah, termasuk berapa lama dia mengontrak tenaga kerja asing, dan apa persisnya yang tenaga kerja asing itu akan kerjakan.

Pemberi kerja juga wajib menunjuk orang lokal sebagai tenaga pendamping dalam rangka alih keahlian, serta memulangkan yang tenaga kerja asing ke negara asal setelah kontrak habis.

Pasal 46 UU Ketenagakerjaan juga mengatur bahwa: "Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu."

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono mengatakan mereka menolak peraturan ini karena hanya akan melanggengkan ketimpangan kemampuan antara pekerja asing dan lokal.

Saat ini saja, katanya, "lebih dari setengah pekerja kita adalah lulusan SMP ke bawah." Menurutnya yang semestinya dipercepat pemerintah dan pelaku usaha adalah meningkatkan kualitas pekerja lokal agar punya kemampuan setara pekerja asing.

Ia khawatir timpangnya keahlian mempersulit masyarakat mendapat kerja. Toh sudah bekerja saja para buruh masih harus berhadapan dengan sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) yang membuat mereka rentan.

"Apalagi jika ada kebijakan dari negara asing yang berinvestasi di Indonesia, yang mensyaratkan agar tenaga kerjanya juga berasal dari mereka. Maka bisa jadi, lapangan pekerjaan yang tersedia itu bukan untuk kita," ujarnya.

"Ini soal memproteksi agar lapangan kerja yang tersedia bisa dimaksimalkan pekerja Indonesia," ia menegaskan.

Alasan serupa KSPI gunakan kala menolak Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu Yang Dapat Diduduki Oleh Tenaga Kerja Asing. Aturan ini menambah banyak sektor usaha dan jabatan tertentu yang dapat diisi pekerja asing. Salah satunya sektor konstruksi.

Saat itu Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan "jika pekerjaan yang bisa diduduki tenaga kerja asing diperluas, maka perpindahan keahlian dan perpindahan pekerjaan tidak akan terjadi."

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono membantah anggapan KSPI. Ia menegaskan dalam RUU Cilaka hanya tenaga kerja asing yang punya keahlian tertentu saja yang akan diberi izin bekerja di Indonesia.

Menurutnya, seperti dikutip dari Antara, "yang kami mau permudah [perizinannya] adalah TKA ahli untuk kondisi tertentu."

Ia mengklaim mekanisme ini akan memudahkan operasional perusahaan. Contohnya, mesin mati mendadak di pabrik tekstil dapat dengan mudah diperbaiki oleh tenaga kerja asing karena hanya dialah yang dapat melakukannya. Menurutnya ini mustahil terjadi jika menggunakan regulasi saat ini.

"Jangan disalah pahami. Semoga jelas," katanya.

Dianggap Keliru

Saat ini naskah akademik dan draf RUU Cilaka belum juga dapat diakses publik meski sudah diwanti-wanti oleh Presiden Joko Widodo sejak tahun lalu. Namun merujuk ke pernyataan Susiwijono, peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai mempermudah izin tenaga kerja asing dapat bekerja di Indonesia tetap tidak tepat.

Menurutnya apa yang dikatakan Susiwijono bertabrakan dengan tujuan Jokowi yang ingin meningkatkan kualitas SDM.

"Seharusnya tenaga kerja lokal yang sudah terlatih bisa diberikan latihan kerja di luar negeri untuk bisa memahami sistem kerja mesin-mesin pabrik saat ini, bukan malah mengundang TKA untuk masuk. Cara berpikir yang keliru dari Pak Sesmenko ini," kata Nailul kepada reporter Tirto, Selasa (21/1/2020) lalu.

Per akhir 2018, jumlah tenaga kerja di Indonesia mencapai 95 ribu, atau meningkat 10,88 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka termasuk golongan profesional atau biasa disebut buruh kerah putih.

Dilihat dari negara asalnya, pekerja asing Indonesia terbanyak dari Cina, jumlahnya kira-kira 32 ribu orang. Menyusul Jepang (13 ribu), Korea (9 ribu), India (7 ribu), dan Malaysia (5 ribu).

Baca juga artikel terkait UU KETENAGAKERJAAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino