Menuju konten utama

Rusia Klaim Buat Vaksin Corona Pertama di Dunia, Tapi Ilmuwan Ragu

Rusia mengumumkan telah memiliki vaksin Covid-19 yang diklaim efektif. Namun, sejumlah ilmuwan meragukan kualitasnya.

Rusia Klaim Buat Vaksin Corona Pertama di Dunia, Tapi Ilmuwan Ragu
Presiden Rusia Vladimir Putin menghadiri seremoni pembukaan Piala Dunia 2018 di Stadion Luzhniki, Moskow, Rusia, Kamis (14/6/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Christian Hartmann

tirto.id - Presiden Vladimir Putin mengklaim Rusia berhasil membuat vaksin virus corona (Covid-19) pertama di dunia yang menawarkan kekebalan berkelanjutan. Putin mengumumkan bahwa pemerintah Rusia telah menyetujui penggunaan vaksin Covid-19 bernama Sputnik V tersebut.

"Hari ini, untuk pertama kalinya di dunia, vaksin untuk melawan virus corona didaftarkan di Rusia," kata Putin dalam video konferensi yang disiarkan televisi Rusia, pada Selasa (11/8/2020), seperti dilansir Aljazeera.

"Saya yakin [vaksin] itu cukup efektif, memberikan kekebalan yang berkelanjutan," tambah Putin.

Kata Putin, keamanan penggunaan vaksin Sputnik V ke manusia telah dipastikan oleh pemerintah Rusia. Bahkan, salah satu putri Putin juga sudah disuntik dengan vaksin yang dikembangkan oleh lembaga riset Gamaleya bareng Kementerian Pertahanan Rusia itu.

Menurut Putin, putrinya hanya sempat mengalami peningkatan suhu badan saat mendapatkan suntikan yang kedua. "Ia [putri Putin] ikut serta dalam percobaan [vaksin]," ujar Putin.

Wakil Perdana Menteri Rusia, yang bertanggung jawab atas masalah kesehatan, Tatyana Golikova menambahkan, produksi vaksin Sputnik V ditargetkan bisa segera dimulai pada sebulan ke depan.

"Kami sangat berharap vaksin sudah bisa diproduksi pada September, atau bahkan akhir Agustus atau awal September, dan kategori pertama yang akan divaksinasi adalah tenaga medis," ujar Tatyana.

Sementara produksi Sputnik V belum dimulai, menurut Menteri Kesehatan Rusia Mikhail Murashko, uji klinis vaksin tersebut kepada ribuan orang akan dilanjutkan.

Komentar WHO soal Vaksin Rusia dan Kritik Ilmuwan

Tak lama setelah Putin mengumumkan bahwa Rusia berhasil membuat vaksin Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) langsung angkat bicara.

Juru bicara WHO Tarik Jasarevic menyatakan organisasinya sedang menjalin komunikasi dengan otoritas kesehatan Rusia. WHO berharap bisa melakukan penilaian prakualifikasi terhadap vaksin Sputnik V.

"Kami berhubungan dekat dengan otoritas kesehatan Rusia dan sedang mendiskusikan kemungkinan WHO melakukan prakualifikasi terhadap vaksin itu. Namun, yang perlu diingat, prakualifikasi vaksin apa pun dilakukan melalui pemeriksaan dan penilaian yang ketat kepada semua data terkait keamanan dan kemanjurannya," ujar Tarik, dikutip dari Reuters.

Vaksin tersebut diketahui baru diujikan terhadap manusia selama kurang dari dua bulan, sebelum diumumkan oleh Putin. Hal inilah yang membuat sejumlah ilmuwan meragukan kualitas maupun keamanan penggunaannya. Apalagi, vaksin Sputnik V belum melalui fase uji klinis tahap III.

Kritik terhadap keputusan Putin, salah satunya datang dari Profesor Francois Balloux, Guru Besar Biologi Komputasi di University College London sekaligus Direktur Institut Genetika UCL.

"Itu keputusan sembrono dan bodoh. Vaksinasi massal dengan vaksin yang diuji secara tidak tepat adalah langkah tidak etis," kata Balloux, seperti dilansir Science Media Center.

Menurut Balloux, masalah yang mungkin akan muncul akibat langkah gegabah Rusia melakukan vaksinasi dengan Sputnik V tidak hanya berupa efek negatif bagi kesehatan penerimanya. "Itu juga bisa semakin menghambat penerimaan vaksin di masyarakat," tambah dia.

Sementara Dr Ohid Yaqub, Pengajar Senior di Unit Penelitian Kebijakan Sains, University of Sussex, menyoroti status vaksin buatan Rusia yang belum melewati uji klinis tahap III. Ohid khawatir, jika vaksin Rusia itu ternyata tidak aman, penggunaannya secara luas dapat mengganggu pengujian vaksin di masa depan yang berpotensi lebih baik.

"Persetujuan [Rusia] itu sepertinya sudah dibuat sebelum uji coba fase 3 selesai. Uji coba fase 3 yang lebih lama dan lebih luas dibutuhkan untuk mendeteksi efek samping [vaksin] yang mungkin jarang terjadi, dan memastikannya benar-benar manjur. Di sisi lain, hanya ada sedikit data dan bukti yang dipublikasikan tentang vaksin [Rusia] ini," ujar dia.

"Dalam hal keamanan, melewatkan fase 3 berarti kepercayaan pada vaksin ini - dan vaksin secara umum - dapat tergerus, dan itu juga bisa memberi orang rasa aman yang salah, jika ternyata vaksin itu tidak benar-benar efektif," tambah Ohid.

Minimnya informasi mengenai vaksin Rusia disoroti pula oleh Profesor Danny Altmann, pakar Imunologi dari Imperial College London. Padahal, kata dia, informasi mengenai mayoritas kandidat vaksin Covid-19 dan protokol uji cobanya sudah tersedia.

Altmann menambahkan, sekalipun sebuah kandidat vaksin telah lolos uji klinis tahap 3, kriteria untuk persetujuan terhadap penggunaannya mesti dipatok di level maksimum.

"Kerusakan tambahan akibat pelepasan vaksin apa pun yang kurang aman dan efektif bisa memperburuk masalah kita saat ini yang tidak dapat diatasi. Saya berharap kriteria ini diikuti oleh kita semua," ujar Altmann.

Berdasarkan keterangan Kepala Dana Kekayaan Kedaulatan Rusia, Kirill Dmitriyev yang ikut mendanai dan mengoordinasikan pengembangan vaksin Sputnik V, uji klinis tahap III memang baru akan dilaksanakan pada Rabu pekan ini.

Namun, Dmitriyev yang memimpin Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF), juga mengklaim sudah ada permintaan dari 20 negara untuk produksi 1 miliar dosis vaksin Sputnik V.

Adapun saat menanggapi kritik terhadap kualitas vaksin itu, Dmitriyev balik menuding, bahwa ada orkestrasi "serangan media" yang hendak mendiskreditkan vaksin Rusia.

"Kita harus meninggalkan politik dan menikmati momen ini. [....] Kami tidak memaksakan vaksin ini pada siapa pun," kata Dmitriyev, seperti dikutip dari SCMP.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH