Menuju konten utama

Rusaknya Midsommar Akibat Gunting Sensor Warisan Kolonial

Sejak zaman Belanda, sensor film tetap bekerja dengan dalih "keharmonisan masyarakat."

Rusaknya Midsommar Akibat Gunting Sensor Warisan Kolonial
Film Midsomar tahun 2019. foto/imdb

tirto.id - Film thriller terbaru garapan Ari Aster, Midsommar, akhirnya tayang di bioskop-bioskop di Indonesia. Sebelumnya, sempat beredar kabar bahwa film ini gagal tayang, alias tidak lolos sensor karena dianggap memuat adegan yang kelewat vulgar.

“Terima kasih atas kesabaran kalian & animo tinggi kepada film kami yang satu ini. MIDSOMMAR akan tayang mulai 11 September di bioskop,” demikian tulis Feat Pictures, selaku distributor di Indonesia, lewat akun Twitter, @FeatPictures.

Rencananya, Midsommar dapat disaksikan di jaringan bioskop CGV dan Cinemaxx. Meski begitu, hanya penonton berusia 21 tahun ke atas saja yang boleh menonton film panjang kedua—setelah Hereditary (2018)—sutradara kelahiran New York ini.

Sebagaimana dilaporkan CNN Indonesia, pihak Lembaga Sensor Film (LSF), diwakili Wakil Ketua Dody Budiatman, menjelaskan alasan mundurnya jadwal tayang Midsommar adalah karena tidak lulus sensor. Lembaganya lalu meminta distributor untuk memperbaiki bagian-bagian yang dianggap gagal memenuhi kualifikasi, sebelum nantinya dikembalikan ke LSF untuk ditentukan boleh tayang atau tidak.

Menurut laman IMDb, durasi asli Midsommar ialah 147 menit—dan 171 versi Director’s Cut. Akan tetapi, setelah diperiksa LSF, durasi berubah menjadi 138 menit.

Kabar sensor ini ramai dibicarakan di Twitter. Akun @bicaraboxoffice, misalnya, mencuit: "Midsommar ada full frontal male nudity, tentu kena sensor." Keluhan senada juga diutarakan netizen bernama @andikawicak. Ia mengaku pemotongan adegan di Midsommar bikin film tersebut terasa "kentang."

Midsommar bercerita mengenai upaya Dani (Florence Pugh) menghadapi trauma atas kehilangan keluarganya dengan melancong ke Swedia bersama pasangannya, Christian (Jack Reynor). Di sana, mereka mengikuti festival musim panas yang diadakan 95 tahun sekali.

Namun, Dani justru terjebak di tengah sekte aneh dengan segala ritualnya yang brutal. Sepanjang film, adegan kekerasan, darah, hingga ritus seks yang tak lazim muncul silih berganti.

Masalahnya, memangkas berbagai macam adegan yang dianggap vulgar justru merusak jalannya cerita Midsommar. Adegan kekerasan dan seks yang disensor adalah bagian dari film yang membantu penonton memahami keseluruhan semesta di Midsommar.

Pantaskah penonton berusia 21 tahun ke atas diperlakukan seperti itu?

Dari Demit sampai Jagoan Super

Sebelum Midsommar, jagat media sosial lebih dulu dibikin ramai oleh pemotongan yang ditujukan pada Hellboy (2019). Warganet menyebut bahwa LSF telah memotong adegan-adegan krusial—sekalipun itu berbau kekerasan—di dalam film.

Akun @Kalyeah, misalnya, berkata, “Beneran sakit hati banget saya tuh. Sedari SMP ngefans sama Hellboy, udah lama diombang-ambing janji third movie, sampe ending-nya di-surprise sama reboot. Needless to say, this hyped me up more than Endgame. Taunya diginiin sama @lsf_ri. Dosa apa sih gue.”

Jika dibandingkan dengan Midsommar, pemotongan yang dialami Hellboy cukup pendek. Di laman LSF disebut durasi Hellboy adalah 118 menit—hanya selisih dua menit saja dari versi aslinya menurut IMDb.

Dua film luar di atas tergolong beruntung. Film Pocong, garapan Rudi Soedjarwo yang rilis pada 2006, justru dilarang tayang oleh LSF. Kabar mengenai pelarangan tersebut bikin heboh industri film di masa itu.

Saya teramat kecewa. Sampai tidak bisa berkata-kata lagi,” kata Rudi kepada Tempo.

Sebagaimana diwartakan Tempo, ada sekitar sembilan poin pertimbangan penolakan yang dikeluarkan LSF. Beberapa di antaranya yaitu adegan Pocong tidak sesuai dengan norma kesopanan (memuat perkosaan), menonjolkan kekerasan, hingga mempertontonkan kekejaman maupun kejahatan dengan porsi lebih dari 50 persen.

Lalu, tambah Ketua LSF saat itu, Titi Said, film Pocong “dapat berpotensi membangkitkan dendam atau luka lama akibat peristiwa berdarah Mei 1998.”

Cerita Pocong memang mengambil latar kerusuhan 13-14 Mei 1998. Alkisah, Sugeng, seorang pengusaha toko, memecat supirnya yang bernama Wisnu. Wisnu tak terima dan berkeyakinan bahwa dirinya tak salah. Ia pun murka. Memanfaatkan peristiwa rusuh, Wisnu memprovokasi massa untuk menjarah dan merusak rumah maupun toko Sugeng.

Aksi Wisnu mendatangkan konsekuensi yang tak kalah mengerikan: adiknya, Rahma, diperkosa dan dibunuh. Dari sinilah film kemudian mengeksplorasi narasi tentang balas dendam.

Leo Sutanto, produser, mengaku geram dengan keputusan LSF. Pasalnya, Leo, lewat Sinemart, sudah keluar modal sebanyak hampir Rp3 miliar. Larangan LSF membikin Leo menyimpan semua pita seluloid beserta materi publikasi Pocong di kantornya.

Sedangkan Rudi berpendapat argumen LSF tak masuk akal. Bila membicarakan soal adegan sadis, Rudi bilang, “banyak film Hollywood dan berita-berita di televisi yang lebih sadis.”

“Apalah artinya satu orang kecil seperti saya dibanding sistem yang besar dan nyaman yang dijalankan LSF. Sebagai warga negara yang baik, saya cuma bisa menerima dengan lapang dada,” ujar Rudi, masih menurut laporan Tempo.

Bagaimana Mekanismenya?

Sensor film diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (PDF) dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film (PDF). Definisinya, secara garis besar, ialah penelitian, penilaian, serta penentuan layak atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan kepada masyarakat.

Agar lolos sensor, menurut Pasal 57 ayat (1) UU 33/2009, film mesti mendapatkan surat tanda “lulus sensor.” Surat ini bisa diperoleh asalkan film-film yang didaftarkan sudah melewati tiga tahapan (Pasal 57 ayat (2)): penilaian isi film, penentuan kelayakan, serta penentuan penggolongan usia penonton.

Dalam Pasal 24 ayat (2) PP 18/2004 disebutkan ada empat prosedur pemberian sensor. Pertama, registrasi. Kedua, LSF melakukan pengecekan. Ketiga, bila tidak lolos, film akan dikembalikan ke distributor untuk diperbaiki. Keempat, bila sudah direvisi, film dapat diajukan kembali.

Ini yang jadi masalah. LSF boleh saja mengaku tidak memotong adegan film yang tayang di bioskop. Tapi, keputusan yang diambil dari penilaian tersebut mau tak mau memaksa pembuat film menyesuaikan keinginan LSF jika film mereka masih ingin dinikmati banyak orang.

Masalah berikutnya adalah tentang kriteria. Beberapa kriteria sensor yang wajib ditaati, menurut Pasal 6 UU 33/2009, ialah film tidak boleh mendorong aksi kekerasan, pornografi, provokasi SARA, melecehkan agama, merendahkan harkat martabat manusia, hingga memicu perlawanan terhadap hukum. Seluruh poin tersebut harus dihilangkan dari adegan visual, dialog, maupun monolog sepanjang film berlangsung.

Penentuan film lolos kriteria ini juga tak punya standar pasti. LSF, misalnya, tak punya definisi jelas bagaimana unsur kekerasan dalam film dilarang. Apakah adegan saling pukul dengan taraf yang 'biasa saja' bisa disebut ‘kekerasan’ sehingga pembuat film diharuskan menghapusnya? Sialnya lagi, implementasi ini tak berlaku tegas. Pemberlakuan kriteria sensor antara satu film dengan yang lain bisa berbeda. Ketentuan sensor, pendek kata, bersifat karet.

Yang tak kalah mengherankan, dalam aturan yang ada, film bisa ditarik dari peredaran bila dinilai menimbulkan keresahan di kehidupan bermasyarakat. Artinya, kedudukan LSF tak punya posisi kuat. Ia rentan ditekan dan dipengaruhi oleh suara mayoritas.

Anehnya, selain menerapkan sensor, LSF pun memberlakukan rating bagi penonton.

Dikutip dari Hukum Online, Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 32 PP LSF, film dan iklan film yang telah disensor disertai pencantuman penggolongan usia penonton. "Pertama, untuk penonton semua umur. Kedua, untuk penonton usia 13 tahun atau lebih. Ketiga, untuk penonton usia 17 tahun atau lebih. Keempat, untuk penonton usia 21 tahun atau lebih."

Pertanyaannya, jika sebuah film jelas-jelas akan disensor, untuk apa lagi penggolongan penonton diberlakukan? Dengan hilangnya adegan seksual dan kekerasan (jika relevan dengan cerita), serta narasi politik dari film-film yang beredar di bioskop, tidakkah LSF sedang menempatkan para penonton berusia 21 tahun lebih di kursi anak SMP atau SMA?

Masalah Klasik yang Tak Kunjung Selesai

Eksistensi sensor terus mengiringi perjalanan industri film di Indonesia. Sensor merepresentasikan bahwa otoritas pemerintah di atas segalanya tanpa terkecuali. Dalih untuk menyajikan tontonan berkualitas terus direproduksi dari masa ke masa yang celakanya justru membungkam kreativitas para pembuat film.

Krishna Sen dalam Indonesian Cinema: Framing The New Order (1994) menyebut sensor, misalnya, sudah muncul sejak pasca-kemerdekaan. Sen mencontohkan bahwa saat itu, film Usmar Ismail, Darah dan Doa (1950), dilarang beredar di beberapa daerah oleh otoritas militer karena dinilai mengerdilkan peran Divisi Siliwangi dalam upaya perjuangan kemerdekaan.

Sejumlah laporan, tulis Sen, menyatakan film Darah dan Doa disensor habis-habisan, namun tak ada yang dapat memberikan gambaran rinci apa saja yang dipotong oleh gunting sensor.

Tak hanya Usmar, pengalaman serupa juga dihadapi Armijn Pane, ketika filmnya yang berjudul Antara Bumi dan Langit (1951) digunting Komite Sensor Pusat. Film Pane dianggap mengangkat tema yang kelewat sensitif: tentang kewarganegaraan peranakan Belanda dan orang-orang berdarah campuran—Indo—di Indonesia.

Usai produksi selesai, film diubah berdasarkan rekomendasi sensor, yang membuat Pane menarik namanya dari kredit film. Judulnya pun turut berganti: Frieda.

Baik Usmar maupun Pane, catat Sen, berpendapat bahwa gunting sensor telah membikin industri film lokal jauh dari isu-isu sosial—serta cenderung mendekatkannya pada film-film formulaik yang aman. Film-film formulaik, pada dasarnya, sering mengangkat tema perjuangan kemerdekaan dan periode pendudukan Jepang. Meski begitu, tema tersebut sedikit sekali menyentuh karakter atau konflik dalam naratifnya.

Sen mencatat bahwa sepanjang sejarahnya sensor nyaris didasarkan pada regulasi Belanda yang dirancang untuk memberantas "bahaya kesusilaan" serta kemasyarakatan yang muncul lewat film. Regulasi ini menegaskan setiap film mesti diuji lewat tiga perspektif: moral, keamanan publik, serta apakah film bersangkutan punya pengaruh buruk atau tidak.

Pola pikir demikian makin kuat ketika Orde Baru berkuasa. Pada 1977, Pedoman Sensor diberlakukan. Tiga tahun berselang, Badan Sensor Film menindaklanjutinya dengan pembentukan Kode Etik Badan Sensor Film. Regulasi tersebut lahir atas desakan para pelaku industri film agar filmnya nanti tidak kena sensor maupun larangan tayang dari BSF.

Masih mengutip Sen, nyaris semua peraturan yang dibikin berhubungan dengan keamanan negara dan kekuasaan presiden—alih-alih seks dan kekerasan. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa sebuah film akan dilarang jika dianggap berpotensi merusak kerukunan beragama di Indonesia, mengeksploitasi SARA, hingga memancing ketegangan sosial.

Infografik Sejarah Sensor Film di Indonesia

Infografik Sejarah Sensor Film di Indonesia. tirto.id/Qjita

Walhasil, film pun, terang Sen, dipaksa untuk memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia hidup dalam satu payung keberagaman yang harmonis, ditopang persatuan dan kesatuan Pancasila. Pedoman Sensor adalah alat politik pemerintah. Sebab, lewat aturan ini, pemerintah melarang penyebaran ideologi dalam bentuk kolonialisme, imperialism, fasisme, sampai yang populer: komunisme.

Korban dari kebijakan ini ialah film Max Havelaar yang disutradarai Fons Rademakers dan selesai diproduksi pada 1976. Film baru bisa dirilis ke publik satu dekade kemudian, selepas mengalami sensor habis-habisan.

Narasi Max Havelaar berangkat dari novel dengan judul Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda, menceritakan kisah Havelaar sebagai asisten residen di Lebak. Digambarkan idealis dan pro-rakyat Hindia Belanda, ia menolak keras segala bentuk penyelewengan kekuasaan. Meski demikian, oleh Orde Baru, Max Havelaar dipandang sebagai wujud imaji kolonial atas Indonesia, sekalipun, tulis Sen, novel yang jadi sumber pembuatan film ini dipuja para orang-orang nasionalis.

Ada setidaknya lima alasan LSF untuk menahan Max Havelaar. Pertama, film ini dinilai tidak punya efek sekuat bukunya. Kedua, terlalu kritis kepada pemimpin lokal alias ningrat pribumi (yang dalam kenyataannya memang menjadi proxy pemerintahan kolonial). Ketiga, dianggap kurang menyediakan ruang untuk karakter pemberontak anti-Belanda. Keempat, terdapat beberapa adegan yang sebelumnya tak tercantum dalam skenario. Terakhir, kelima, judul versi Indonesia, Saijah dan Adinda, mesti direvisi sebab film Max Havelaar tidak banyak mengisahkan perjalanan mereka berdua.

Edwin, sutradara Posesif (2017) dan Aruna & Lidahnya (2018), mengatakan tak terlalu ambil pusing dengan keberadaan LSF dan budaya gunting sensor. Ia tetap membikin film sesuai isi kepalanya, tanpa peduli kriteria sensor bekerja.

“Saya membuat film sesuai dengan kreativitas saya sendiri. Sensor mau bagaimana, ya, terserah mereka. Saya tidak ingin tunduk pada sensor,” ujarnya kepada Tirto.

Sensor adalah batu penghalang yang seringkali bikin sineas kelimpungan. Bagaimanapun, era kediktatoran Orde Baru sudah berakhir. Akan tetapi, kerja sensor tetap sama: melayani elite, mewarisi nilai-nilai kolonial.

Lebih dari seratus tahun silam, film-film yang beredar di Hindia Belanda harus melewati proses sensor agar tidak memberikan gambaran yang buruk tentang orang-orang kulit putih, khususnya pemerintahan kolonial.

Tak berlebihan jika Lembaga Sensor Film rupanya sekadar melanjutkan warisan Belanda, satu hal yang ironisnya disadari pejabat-pejabatnya sendiri dalam "Perayaan 100 tahun Sensor di Indonesia" pada 2016 silam.

Baca juga artikel terkait SENSOR atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf