Menuju konten utama

Rupiah Melemah Tak Jamin Ekspor Mobil Berlari Kencang

Saat dolar menguat dan rupiah tersungkur, semestinya ada peluang bagi industri mobil untuk panen dolar, tapi apakah semudah itu?

Rupiah Melemah Tak Jamin Ekspor Mobil Berlari Kencang
Deretan mobil yang siap diekspor di Tanjung Priok Car Terminal, Jakarta, Senin (5/2/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pekan lalu kala rupiah nyaris tembus Rp15.000 per dolar AS, di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, ada seremoni kegiatan ekspor mobil Toyota yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia sempat berujar soal keyakinannya ekonomi Indonesia bisa diselamatkan dengan menggenjot ekspor, termasuk mobil dan komponennya.

“Saya sekali lagi sangat menghargai dan apresiasi ekspor Toyota yang diproduksi di Indonesia, yang dikirim ke pasar Asia, pasar Afrika, pasar Amerika Latin, pasar Timur Tengah, dan beberapa ke Eropa dan Australia. Dan target ekspor yang tadi sudah saya sampaikan 217.000 unit kurang lebih,” kata Jokowi dalam sambutannya di acara perayaan 1 juta unit ekspor CBU Toyota Indonesia, di Tanjung Priok, Rabu (5/9/2018).

Sepanjang Januari-Juli 2018, pabrikan berlogo oval itu mengapalkan 117.200 unit mobil utuh (completely built up) ke berbagai negara. Artinya, ekspor mobil Toyota mendominasi dari merek-merek mobil yang juga melakukan ekspor seperti Mitsubishi, Suzuki, dan lainnya. Namun, target total ekspor mobil yang hanya 200 ribuan unit per tahun tak seberapa dibandingkan dengan kapasitas produksi mobil di dalam negeri yang mencapai sekitar 2,2 juta unit per tahun. Dengan asumsi pasar dalam negeri menyerap 1 juta unit dan ekspor 200 ribu unit, maka ada kapasitas yang masih menganggur atau tak terpakai (idle) sekitar 1 juta unit.

Ekonom, Faisal Basri menilai kinerja ekspor mobil Indonesia dianggap masih kurang agresif. Menurutnya, manufaktur kendaraan harus lebih ngotot menggenjot kuota komoditas ekspor, ketimbang jor-joran melansir produk di dalam negeri. Ia seolah ingin menegaskan, bila ingin menyelamatkan rupiah harus fokus "menyerang" dengan menggenjot ekspor daripada mengerem laju impor. Peluang ini tentu ada di industri otomotif.

“Enggak bakal menang kita kalau defensif terus. Strateginya harus ofensif. Untuk di otomotif, terkait satu jutaan yang masih idle, harus didorong [ekspornya]. Tidak malah menunggu pabrik baru, kasih insentif macam-macam,” kata Faisal.

Infografik ekspor Mobil Saat Rupiah Melemah

Eksportir Mobil Untung?

Di atas kertas, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS harusnya menguntungkan eksportir, termasuk pabrik mobil dalam negeri untuk ekspansi ekspor. Namun, menurut Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono, keuntungan tidak bisa dihitung hanya berdasarkan pendapatan ekspor dari selisih kurs dolar yang didapat. Di sisi lain, tumbangnya nilai rupiah berdampak pada kenaikan harga bahan baku komponen yang sebagian masih diimpor. Masalah tersebut sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pemasok komponen pabrikan mobil di dalam negeri.

“Kita (Toyota Indonesia) enggak memikirkan awake dewe (diri sendiri) lah. Toyota itu kan ada 140 supply chain kecil-kecil. Bagi tire 2 tire 3 material itu kaya fixed cost, tought (memberatkan). Kewajiban kita sebagai salah satu (pelaku) industri otomotif membantu mereka, kesulitannya apa, peningkatan productivity atau meningkatkan industri hulu, berat lah berat. Kita harus terus berusaha menaikkan ekspor dan mengurangi impor,” kata Warih.

Pabrikan kendaraan seolah ingin menegaskan bahwa pelemahan rupiah tidak bisa langsung dijadikan tambang keuntungan devisa dolar lewat geliat ekspor.

Suzuki Indonesia yang pada semester I-2018 sempat mengapalkan 14.479 unit mobil utuh ke berbagai negara, tapi tidak meraup keuntungan lebih di waktu-waktu dolar AS menguat. Alasannya, kesepakatan ekspor sudah terjadi enam bulan sebelum mobil dikapalkan sehingga menggunakan nilai tukar rupiah saat perjanjian dilakukan, bukan pada kurs terkini.

“Tidak bisa serta merta dengan lemahnya rupiah mendapat untung karena kita juga sudah terima pesanan jauh hari, dan selama berjalannya waktu kita ada alami rugi kurs (ongkos produksi lebih mahal). Buyer (importir) juga monitor efek penguatan dolar ini terhadap harga jual di negaranya. Ujung-ujungnya terjadi negosiasi harga lagi oleh kita dan buyer,” jelas Deputy Managing Director 4W PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Setyawan Surya kepada Tirto.

Toyota dan Suzuki memang boleh saja menampik ihwal mendapat berkah pendapatan dari ekspor mobil saat rupiah melemah karena berbagai alasan di atas. Namun, secara teori depresiasi kurs bisa berdampak positif pada aktivitas perdagangan internasional termasuk industri mobil. Saat kurs mata uang suatu negara menguat, maka aktivitas ekspor justru tertekan, sedangkan saat mata uang negara melemah yang terjadi bisa sebaliknya.

Paper bertajuk “Impact of the Strong Dollar on the US Auto Industry”, disusun oleh G. Mustafa Mohatarem dari Insitute for International Economic (2003) menggambarkan situasi menguatnya nilai tukar dolar AS justru membuat pabrikan kendaraan di AS sulit meraup keuntungan. Sebaliknya upaya pemerintah Jepang memangkas kurs Yen justru berbuah manis buat ekspor mobil Toyota dan Honda di AS kala itu.

Dalam konteks Indonesia kini, menggenjot ekspor mobil memang bukan perkara mudah. Selain, komponen-komponen otomotif yang masih sebagian bergantung pada impor, persoalan hambatan ekspor di negara tujuannya juga bukan perkara mudah. Di ASEAN saja, yang relatif punya pasar mobil yang relatif sama, Indonesia harus menghadapi hambatan non tarif dari Vietnam beberapa waktu lalu.

Masalah lain yang cukup pelik adalah soal standardisasi dan segmen mobil. Seperti yang pernah diulas Tirto sebelumnya, pasar ekspor mobil produksi dan rakitan Indonesia masih sebatas di negara-negara berkembang dengan segmen mobil kelas bawah. Selain proses nilai tambah yang terbatas, bermain di segmen ini akan membuat teknologi otomotif yang dikembangkan di Indonesia hanya itu-itu saja.

Kemampuan penetrasi ekspor pabrikan mobil di Indonesia masih terbatas disebabkan karena model yang dibuat kurang cocok dengan permintaan pasar internasional. Pasar internasional akan lebih mudah mengakomodir mobil sedan, segmen yang justru tidak berkembang di Indonesia.

JATO Dynamics, lembaga riset otomotif yang berbasis di London, Inggris, pada awal tahun lalu merilis data penjualan mobil di seluruh Eropa pada 2016. Hasilnya, sedan memang punya peminat yang dominan, sedangkan mobil yang dikembangkan di Indonesia mayoritas adalah MPV. Proses produksi sedan masih terbatas karena masalah pajak yang tinggi.

Selain persoalan segmen pasar mobil, ada lagi yang tak kalah pelik yaitu standardisasi. Standar internasional yang harus dipenuhi untuk sebuah mobil bisa diekspor, antara lain soal ketentuan United Nations Economic Commission for Europe (UNECE). Ada beberapa standar yang harus dipenuhi menyangkut aspek-aspek seperti pencahayaan, kontrol, perlindungan terhadap lingkungan, dan perlindungan dari pencurian.

Selain UNECE, standar lain yang harus ditingkatkan agar dapat masuk ke negara-negara maju adalah standar emisi Euro. Euro adalah standar emisi gas buang yang keluar dari kendaraan. Semakin tinggi tingkat Euro, maka semakin sedikit kadar gas buang kendaraan tersebut ketika digunakan, seperti Karbon Monoksida, Timbal, Karbon Dioksida, serta kabut karbon.

Untuk negara di Eropa dan negara maju, sudah diterapkan Euro 6, bahkan sudah diwacanakan penerapan Euro 7. Sementara Indonesia masih berkutat pada Euro 2, dan baru akan mencoba lompat ke Euro 4, pada tahun ini untuk kendaraan-kendaraan berbahan bakar bensin. Persoalan standar ini juga jadi bagian hambatan non tarif di negara tujuan ekspor.

Seremoni ekspor mobil di saat rupiah melemah memang bisa menyelamatkan muka pemerintah. Namun, untuk menjadikannya sebagai strategi konkret "menyerang" untuk merebut devisa dolar saat rupiah melemah tentu bukan perkara mudah, masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai.

Baca juga artikel terkait NILAI RUPIAH atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Otomotif
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra