Menuju konten utama

Rumphius Si Plinius dari Hindia

Dari Ambon yang terpencil, nama Rumphius kesohor di Eropa berkat hubungannya dengan komunitas saintis di Eropa.

Rumphius Si Plinius dari Hindia
G.E Rumphius. fOTO/Wikicommon

tirto.id - George Eberhard Rumphius adalah naturalis yang teruji, salah satu yang terbaik di masanya. Di dunia belahan timur bisa jadi dia adalah yang terbaik. Berkali-kali hadangan petaka—mulai dari kebutaan, kehilangan istri dan anak, hingga kebakaran yang menghanguskan hasil riset—tak memupus semangatnya.

Pada 1670 Rumphius mulai mengalami kebutaan, tetapi sejak itu juga namanya mulai diperhitungkan di Eropa. Itu berkat dukungan dari petinggi-petinggi VOC dan kerajinannya sendiri membangun komunikasi dengan komunitas saintis di Eropa.

Salah satu sahabat penanya dari Eropa adalah Christian Mentzel dan Andreas Cleyer—anggota Academia Naturae Curiosorum, Wina. Di Hindia Belanda sendiri ia juga punya kawan diskusi. Di antara kawannya yang terkenal adalah Gubernur Jenderal Johannes Camphuys—yang punya minat sama besarnya dengan Rumphius, Herbert de Jager, dan Willem Ten Rhyne.

Ahli genetika Universitas Groningen Profesor M.J. Sirks yang menulis profil Rumphius dalam Science and Scientists in Netherlands Indies (1945) menyebut bahwa dari diskusi-diskusi jarak jauh inilah reputasinya menanjak. Sebaliknya, ia juga mendapat masukan-masukan penting dari sahabat penanya untuk memperkaya riset-risetnya. Ia mulai juga dikenal sebagai naturalis pionir yang membantu menyingkap misteri alam Hindia Timur yang nisbi langka kala itu.

“Signifikansi Rumphius sebagai seorang ahli botani sangat nyata. Dengan deskripsi floristiknya, dia tak hanya meletakkan dasar pengetahuan tentang vegetasi Amboina dan pulau-pulau lain di kepulauan Hindia, tetapi juga mengumpulkan sejumlah fakta penting tentang kehidupan tanaman," tulis Sirks (hlm. 304).

Atas bantuan Mentzel dan Cleyer pada 1681 Rumphius diterima sebagai anggota Akademi Naturae Curiosorum. Kala itu, institusi ini adalah komunitas saintis paling prestisius sebelum berdirinya Royal Society. Ia juga mendapat julukan kehormatan sebagai Plinius Indicus, Si Plinius—naturalis besar zaman Romawi Kuna—dari Hindia (hlm. 307).

Karyanya Sempat Terlantar

Nama tenar dan reputasi nyatanya tak serta-merta membuat karya Rumphius mulus diterbitkan. Selama hidup ia tak pernah melihat karya-karyanya terbit. Padahal, sebelum mangkat pada 1702, ia telah menyelesaikan dua karya besar: Herbarium Amboinense dan Amboinsche Rariteitkamer.

Naskah Herbarium Amboinense diselesaikan Rumphius pada 1969. Tahun itu juga naskah itu dikirim ke Belanda dan diterima langsung oleh dewan direksi VOC. Namun, para bos ini malah menyembunyikannya dari khalayak selama hampir setengah abad. Salah satu alasannya: naskah itu mengandung informasi sensitif.

Salah satu informasi sensitif itu adalah deskripsinya tentang pohon upas. Tumbuhan ini mengacu pada Toxicaria antiaris, sejenis pohon yang getahnya digunakan untuk membuat racun oleh bumiputra. Kala itu, racun dari pohon ini sangat ditakuti karena efeknya yang mematikan. Prajurit bumiputra kerap mengolesi senjata tajam dan peluru mereka dengan racun ini ketika berperang melawan serdadu VOC.

Michael R. Dove dalam “Dangerous Plants in the Colonial Imagination: Rumphius and the Poison Tree” yang terbit di jurnal Allertonia (vol. 13, 2014, hlm. 30) menyebut bahwa orang Eropa dibuat takut oleh penggunaan racun ini. Bahkan racun ini dianggap lebih menakutkan daripada serangan meriam dan penyakit tropis.

Ketaktahuan dan kerahasiaan pohon upas ini membuat orang Eropa terobsesi untuk mencari sumber dan antidotnya. Michael R. Dove menyebut bahwa orang-orang pribumi sangat merahasiakan segala informasi tentang keberadaan pohon ini.

Meskipun begitu beberapa naturalis yang bekerja untuk VOC sebelum Rumphius sudah memulai usaha untuk menyingkap misterinya. Bahkan Gubernur Jenderal Cornelius Spielman pun tak ketinggal berusaha menemukannya. Namun, keterangan dari Rumphius-lah yang paling sering dikutip karena reputasinya.

Padahal, seturut penelusuran Michael R. Dove, deskripsi dari Rumphius itu tak sepenuhnya akurat. Pasalnya, Rumphius mulai meriset pohon upas ketika ia sudah buta sehingga ia mengandalkan sampel dan laporan lisan (hlm. 32).

Karena informasi sensitif seperti inilah, VOC enggan menerbitkan Herbarium Amboinense. Penerbitan karya Rumphius itu baru menemui kejelasan pada 1736. Adalah Profesor Johannes Burmannus asal Amsterdam yang berinisiatif menyunting dan menerbitkannya.

George Sarton dalam artikel “Rumphius, Plinius Indicus (1628-1702)” yang terbit di jurnal Isis (vol. 27, no. 2, 1937) menyebut bahwa Herbarium Amboinense diterbitkan oleh suatu konsorsium delapan penerbit Belanda pada 1741. Edisi lengkapnya yang terdiri dari 12 jilid diterbitkan pada 1755.

Tentang karya Rumphius ini, George Sarton (hlm. 248) berkomentar, “Herbarium Amboinense bukan sekadar buku tentang tanaman jamu-jamuan pertama dari Maluku, tapi juga buku besar pertama dari dunia timur dan tropis. [...] Rumphius menambahkan informasi mengenai habitat dan musim berbunga tiap tanaman dan menjelaskan bagaimana mengolahnya. Informasi itu, atau setidaknya banyak dari itu, masih berharga hari ini.”

infografik ge rumphius

Nasib Amboinsche Rariteitkamer setidaknya lebih baik. Karya tentang serbaneka spesies kerang dan kepiting Maluku ini diselesaikan Rumphius pada 1701. Naskahnya kemudian dia kirim kepada sahabatnya Hendrik D’Acquet yang jadi wali kota Delft.

“Buku semacam itu kemungkinan akan dihargai oleh para kolektor dan oleh penekun ilmiah lainnya, yang secara mengejutkan menjamur pada waktu itu, [...] Ini adalah salah satu karya klasik dalam sejarah malakologi,” tulis George Sarton dalam artikelnya (hlm. 249).

Para botanis kini menganggap Herbarium Amboinense adalah magnum opus Rumphius. Akan tetapi, Amboinsche Rariteitkamer juga tak kalah masyur dan berpengaruh. Satu buktinya, buku ini menginspirasi botanis Amerika Serikat Albert Smith Bickmore melakukan perjalanan panjangnya ke negeri timur jauh pada 1864. Selama tiga tahun Bickmore yang punya renjana besar di bidang sejarah alam ini berturut-turut mengunjungi Malaya, Hindia Belanda, dan Jepang.

Naturalis yang kemudian dikenal sebagai “Bapak Museum Sejarah Alam Amerika” itu hendak mengumpulkan spesimen kerang yang dideskripsikan Rumphius. Bickmore menelusuri tempat-tempat Rumphius menemukan kerang dan kepitingnya. Spesimen-spesimen itu akan ia bawa pulang dan dijadikan spesimen standar untuk museum sejarah alam Amerika.

“Aku menelusuri sendiri tiap kerang yang diterakan Rumphius dalam Rariteit Kamer, di setiap semenjung dan pantai di mana dulu Rumphius menemukan spesimennya,” tulis Bickmore seperti dikutip Sarton dalam artikelnya (hlm. 243).[]

Baca juga artikel terkait SEJARAH SAINS atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nuran Wibisono