Menuju konten utama

Rumitnya Menyelamatkan AJB Bumiputera

OJK mengambil alih AJB Bumiputera dengan dalih ingin melindungi pemegang polis. Tetapi, pemegang polis sekaligus pemilik perusahaan tak pernah dimintai pendapat.

Rumitnya Menyelamatkan AJB Bumiputera
pelayanan asuransi jiwa bersama (ajb) bumiputera di jakarta. tirto/andrey gromico

tirto.id - 21 Oktober 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan surat, menunjuk tujuh orang pengelola statuter dan lima tim ahli untuk mengambil alih AJB Bumiputera 1912. Secara bersamaan, direksi, komisaris, Badan Perwakilan Anggota (BPA) yang sebelumnya menjabat dinonaktifkan.

Pengelola statuter ini bertugas melakukan restrukturisasi secara menyeluruh terhadap perusahaan. Mereka juga harus memastikan kegiatan operasional perusahaan tetap berjalan baik dan lancar.

“AJB Bumiputera mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas sehingga tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis,” tulis OJK dalam suratnya.

Sebelum diambil alih pengelola statuter, sudah dilakukan upaya penyehatan keuangan Bumiputera oleh dewan direksi dan komisaris. Namun, keuangan Bumiputera tetap tak membaik. Saat ini, ketimpangan antara utang dan asetnya melebihi Rp10 triliun.

Mendengar kabar pembentukan statuter itu, sejumlah pemegang polis, mantan direksi, hingga mantan komisaris Bumiputera mengadakan pertemuan pada Selasa, 25 Oktober. Hadir juga Hamdan Zoelva, mantan hakim Ketua Mahkamah Konstitusi. Tercatat ada 17 pemegang polis yang hadir.

Dari pertemuan itu, dibentuk tim yang terdiri dari Suwarno, Jaka Iranta, Sukardi, Irvan Rahardjo, dan Lazuardi untuk membuka komunikasi dan berdialog dengan BPA. Mereka merasa perlu penjelasan tentang apa yang terjadi di Bumiputera sehingga OJK mengambil alih.

Pertemuan demi pertemuan terus dilakukan. Tim yang tadinya hanya lima orang terus bertambah. Sampai 1 Desember 2016, diskusi di tim ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Menurut mereka, telah terjadi demutualisasi tidak langsung di tubuh Bumiputera. Apa yang dilakukan OJK mereka sebut sebagai terobosan non hukum dan mengabaikan pemegang polis sebagai pemilik perusahaan.

Skenario back door listing melalui aksi right issue PT Evergreen Invesco Tbk dengan Bumiputera sebagai pembeli siaga atau standby buyer dinilai layak secara konseptual, tetapi tidak realistis secara finansial.

Jadi, dalam skenario penyelamatan Bumiputera itu, Evergreen akan melakukan right issue dengan target dana Rp10 triliun [sebelumnya ditargetkan Rp30 triliun]. Perlu diketahui bahwa Evergreen ini termasuk emiten yang sahamnya “tidur” dengan lelap. Jika saham baru Evergreen ini tak laku, maka Bumiputera lah yang siap sedia membelinya.

Right issue yang direncanakan tahun depan itu dilakukan setelah pada 23 Oktober lalu Evergreen, melalui anak usahanya, PT Pacific Multi Industri membeli anak usaha AJB Bumiputera bernama PT Bumiputera 1912. Bumiputera yang berbentuk PT ini memiliki dua anak usaha, PT Bumiputera Investama Indonesia dan PT Bumiputera Properti Indonesia. Ia juga memiliki cucu bernama PT Bumiputera Life Insurance.

Evergreen akan membayar kewajiban AJB Bumiputera melalui dana hasil right issue itu. Sedangkan aset Bumiputera akan turun ke anak-anak usahanya yang sudah diakuisisi Evergreen.

“Pertanyaannya, Bumiputera itu uangnya dari mana? Wong ini perusahaan lagi sakit kok,” kata Irvan Rahardjo, anggota tim sekaligus mantan komisaris Bumiputera.

Menurut sekumpulan pemegang polis, pembentukan pengelola statuter dan skenario right issue tersebut melanggar sejumlah aturan hukum. Aturan mendasar yang dilanggar adalah Anggaran Dasar AJB Bumiputera.

Dalam anggaran dasar itu, terdapat bab tentang pembubaran, yakni pasal 40. “Pembubaran AJB Bumiputera 1912 hanya dapat terjadi atas permintaan sekurang-kurangnya setengah ditambah satu dari seluruh jumlah anggota AJB Bumiputera 1912, yang mewakili sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh uang pertanggungan AJB,” demikian termaktub dalam pasal itu.

“Ini sudah sangat jelas, apapun yang terjadi, harus atas persetujuan para pemegang polis,” sambung Irvan. Demutualisasi menurutnya adalah pembubaran AJB Bumiputera yang berbadan hukum mutual. Dan ini, harus atas restu para pemegang polis.

Infografik Bumiputera Punya Siapa

Tim yang kerap mengadakan pertemuan di Jalan Diponegoro ini beranggapan ada tiga elemen pokok yang dibutuhkan untuk merestrukturisasi Bumiputera, yakni; dana segar, manajemen yang baik, dan payung hukum.

Memang, sampai saat ini, perusahaan berbadan hukum mutual dan memiliki payung hukum. 3 April 2014 lalu, MK sudah mengamanatkan dibuatnya undang-undang yang mengatur perusahaan dengan badan hukum usaha bersama atau mutual. Tetapi nihil. Sampai UU Perasuransian yang baru disahkan pada tahun itu, UU Mutual belum ada. Dalam UU yang baru, mutual diamanatkan untuk diatur dalam peraturan pemerintah (PP), sudah lebih dua tahun, PP tak kunjung selesai.

OJK bersikukuh langkahnya sudah sesuai aturan yang ada. Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Dumoly F Pardede mengatakan penggantian pengurus yang dilakukan OJK sudah sesuai dengan UU No. 21/2011 tentang OJK, UU No. 40/2014 tentang Perasuransian, dan POJK No. 41/POJK. 05/2015 Tentang Tata Cara Penetapan Pengelola Statuter Pada Lembaga Jasa Keuangan.

Tahun ini, AJB Bumiputera genap berusia 104 tahun. Ia telah melewati berbagai krisis, mulai dari sanering pada 1964, hiper inflasi 1965, krisis moneter 1998, hingga krisis global pada 2008. Sepanjang itu, Bumiputera terbukti tahan banting.

Kini, OJK akan jalan terus dengan skenarionya. “Tim Diponegoro” juga akan terus berupaya menyelamatkan Bumiputera dengan cara yang menurut mereka benar. Sementara di penjuru negeri, banyak sekali pemegang polis cum pemilik perusahaan yang tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti