Menuju konten utama

Rumah Murah di Perkotaan: Mimpi Rakyat yang Tak Pernah Sudah

Penguasa silih berganti, rakyat tetap kesulitan memiliki hunian yang layak di perkotaan.

Header Mozaik Sejarah Perumahan. tirto.id/Ecun

tirto.id - "Pada 1971, hanya 18,8 persen dari total populasi Indonesia yang tinggal di perkotaan," tutur Radinal Moochtar, Menteri Pekerjaan Umum di era Presiden Soeharto, dalam "Urban Housing in Indonesia" (Habitat International, Vol. 4 1980).

Namun, pertumbuhan penduduk yang meningkat sekitar 2,6 persen per tahun dan urbanisasi, membuat perkotaan kian dijejali manusia, khususnya Jakarta. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk di perkotaan tak dibarengi dengan pertumbuhan hunian.

Dengan asumsi bahwa tiap pertambahan 5 jiwa manusia membutuhkan satu unit rumah, tak kurang dari 440.000 unit rumah baru dibutuhkan saban tahun. Dan memperhitungkan kebutuhan rumah-rumah lama yang mesti diperbaiki, "1,5 juta unit perumahan baru dibutuhkan setiap tahun," tulis Radinal.

Jumlah ini sebagian besar harus disediakan di perkotaan, khususnya Jakarta. Dan angkanya kiwari tentu saja kian bertambah seiring pertumbuhan penduduk.

Tingginya kebutuhan hunian baru bagi warga perkotaan di Indonesia, merujuk paparan Abidin Kusno dalam "Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future of Urban Form of Jakarta" (Journal of Indonesia, Cornell University, 2012), terjadi karena penguasa abai terhadap rakyatnya. Terutama terhadap kelas menengan-bawah, dan ini terjadi sejak zaman kolonial Belanda.

Para Penguasa dan Rumah Rakyat

Dibentuk oleh Ratu Wilhelmina pada kuartal pertama abad ke-20--sebelumnya ngotot tak ingin memperhatikan kebutuhan hunian kaum menengah-bawah--N. V. Volkshuisvesting (Perusahaan Perumahan Umum) dan Gemeentelijke Woningbedrijven (Otoritas Perumahan Kota) gagal menyediakan rumah murah bagi kaum pribumi di Batavia.

Mengutip hasil riset Freek Colombijn, hal ini terjadi karena "perumahan umum [buatan] Pemerintah Kolonial terlalu mahal untuk dimiliki kaum berpenghasilan rendah [dan] terlalu sedikit [jumlahnya] untuk membuat dampak berarti," tulis Abidin Kusno.

Mahal dan sedikitnya rumah yang disediakan N. V. Volkshuisvesting dan Gemeentelijke Woningbedrijven terjadi atas satu alasan, "Pemerintah Kolonial tak pernah bermaksud menanggung beban biaya perumahan," tulis Colombijn, yang dikutip Abidin.

Artinya, dua institusi yang dibentuk Belanda ini hanya sebatas janji manis. Mereka pura-pura peduli setelah memperoleh kritikan bertubi-tubi tentang kesengsaran rakyat Hindia Belanda.

Mereka melepas perumahan yang telah dibangun dalam skema "Invisible Hand". Akibatnya, perumahan yang dibangun Belanda hanya dikuasai kaum menengah-atas alias tak tepat sasaran.

Setelah merdeka, harapan rakyat kecil untuk memperoleh rumah murah kembali hidup. Apalagi dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada 1950, Wakil Presiden Mohammad Hatta mennyatakan bahwa rumah merupakan hak serta kebutuhan yang harus dimiliki setiap rakyat Indonesia, dan negara wajib menyediakan.

"Tujuan kami [menyediakan perumahan untuk semua orang] tidak akan terjadi dalam dua tahun, pun tidak akan terjadi dalam sepuluh atau dua puluh tahun. Namun, dalam empat puluh tahun atau setengah abad, kita akan memenuhi kebutuhan kita ini," ujarnya.

Nahas, setelah diterpa situasi politik yang tak menentu, Hatta akhirnya tersingkir dari kursi kekuasannya berikut dengan program-programnya.

"Rakjat djelata", istilah yang digunakan Hatta untuk sesegera mungkin dibantu memiliki rumah oleh negara, lagi-lagi tersingkirkan.

Setelah Orde Lama runtuh, pemerintahan daripada Soeharto menggelorakan kembali mimpi kaum menengah-bawah, khususnya di perkotaan, untuk memperoleh rumah murah.

Kembali merujuk paparan Radinal, dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun kedua (Repelita II, dari 1974/75 hingga 1978/79), Presiden Soeharto mencoba menjawab tantangan penyediaan perumahan ini dengan membentuk Perum Perumnas.

Perusahaan ini ditandemkan dengan Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKAN) serta Bank Tabungan Negara (BTN) untuk menyediakan perumahan bagi kaum menengah-bawah.

Berbekal modal Rp91 miliar atau sekitar $219 juta (kurs kala itu), Perumnas ditargetkan dapat menyediakan hunian bagi 100.000 keluarga, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan Rp15.000 ($35) hingga Rp100.000 ($240).

Berhasil membangun 2.000 unit rumah di tahun pertama, Perumnas meningkatkan capaiannya menjadi 20.000 unit rumah pada 1975/76. Lalu per Januari 1978, 17.600 unit rumah baru lainnya berhasil dibangun yang tercakup dalam 16 proyek di 10 kota. Rata-rata, dalam kerangka Repelita ala Soeharto, Perumnas berhasil membangun 15.000-20.000 unit hunian baru.

Sayangnya, meskipun keberadaan Perumnas cukup signifikan, dengan tingkat pertumbuhan penduduk di atas 2 persen, kerja Perumnas tak berhasil memenuhi kebutuhan hunian yang terus meningkat.

Terlebih, rumah-rumah yang dibangun Perumnas umumnya tak berada di pusat-pusat masyarakat Indonesia melakukan aktivitasnya (perkotaan). Dari ribuah unit rumah baru yang berhasil dibangun, 80 persen di antaranya dibangun sebagai "komunitas baru", yakni di area-area lingkar-luar perkotaan.

Kebijakan ini menjadi alasan utama mengapa persoalan perumahan di perkotaan tak pernah usai. Di sisi lain, hal ini dilakukan atas satu alasan kunci: tanah di perkotaan, terutama Jakarta, kian sempit dan harganya semakin mahal.

Harga Tanah Melambung, Rakyat Tetap Buntung

Dengan tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta mencapai 4,1 persen per tahun, tak kurang dari 250.000 jiwa warga baru tiba di ibu kota saban tahunnya. Jumlah ini tak hanya beradu mencari pekerjaan, tetapi juga semakin memperuncing masalah hunian. Demikian diutarakan Liliana Marulanda dan Florian Steinberg dalam "Land Management and Guided Land Development in Jakarta" (IHS Working Paper Series No.1, 1991).

Setelah mengubah 30.000 hektare lahan pertanian untuk dijadikan hunian sejak 1970-an hingga 1990-an, Jakarta membutuhkan luas tanah yang sama--setidaknya hingga 2005--untuk menampung warga barunya. Masalahnya, hanya 21.500 hektare tanah yang tersedia.

Akibatnya, "kenaikan harga tanah yang melesat tak tertahankan," tulis Liliana dan Steinberg.

Berkaca pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah Jakarta era 1990-an, semakin mendekat ke pusat kehidupan perkotaan, harga tanah kian mahal. Berjarak sekitar 0,5 kilometer dari pusat bisnis Jakarta, harga tanah dibanderol tak kurang dari Rp500.000 per meter persegi.

Sementara itu, berjarak 10-15 kilometer dari pusat bisnis, harganya berada di kisaran Rp100.000 per meter persegi. Kiwari tentu harganya kian mahal. Dan ingat, ini hanya harga NJOP bukan harga pasaran.

Dengan asumsi bahwa satu unit rumah baru menghabiskan lebih dari setengah biaya pembangunannya untuk urusan tanah, maka rumah di Jakarta akhirnya hanya dapat dijangkau kalangan atas.

Sementara bagi kelas menengah-bawah, rumah di pinggiran kota atau bahkan di luar kota seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadi pilihan yang tak terelakkan.

Mahalnya harga tanah di Jakarta, menurut Liliana dan Steinberg, bukan hanya terjadi atas kuantitas yang kian sempit, tetapi juga tentang alasan klasik bernama administrasi. Ada reformasi agraria yang tak pernah dituntaskan sejak lama.

Sejak kemerdekaan hingga setidaknya 1990-an, rakyat pemilik tanah di Jakarta mengalami kesulitan untuk memperoleh pengakuan negara atas properti yang dimilikinya. Umumnya, pengakuan kepemilikan tanah hanya dilegitimasi melalui "bukti pembayaran pajak atau retribusi" semisal girik, yang hanya diakui pejabat rendah negara tapi tak diakui pejabat tinggi.

Dalam survei yang dilakukan pada 1990-an, dari 100 unit properti, 23 unit hanya dilegetimasi oleh bukti kepemilikan ini. Dan dalam survei yang sama, mayoritas tidak memiliki bukti apapun.

Carut-marut pengakuan negara atas kepemilikan properti rakyat diperparah dengan ambiguitas Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Khususnya tentang biaya pengajuan hak-hak ini yang sangat mahal dan membutuhkan waktu lama karena harus memenuhi 21 kondisi dari 14 agensi pemerintah.

Akibatnya, didesak kebutuhan ekonomi, pemilik tanah di Jakarta yang hendak mencairkan harta bendanya harus berurusan dengan pihak ketiga, broker atau calo tanah, dalam melakukan transaksi jual-beli karena tak memiliki legalitas dari negara.

Di sisi lain, calo tanah yang berhasil mengambil alih kepemilikan properti dari warga ibu kota memilih menjualnya kepada konglomerat properti.

"Lebih dari 90 persen tanah yang dikuasi broker akhirnya lari ke developer besar," tulis Liliana dan Steinberg. Praktik seperti ini yang membuat Bumi Serpong Damai (BSD) berhasil dibangun dengan kepemilikan 6.000 hektare tanah.

Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pengembang properti mempraktikkan Aturan 1:3:6 sejak 1974, seharusnya turut memperbanyak jumlah perumahan yang dikhususkan bagi warga kelas bawah.

Melalui Aturan 1:3:6 ini, tiap satu unit rumah yang diperuntukan bagi warga kelas atas dibangun, tiga unit rumah bagi warga kelas menengah dan enam unit rumah bagi warga miskin juga mesti dibangun di lokasi yang sama.

Infografik Mozaik Sejarah Perumahan

Infografik Mozaik Sejarah Perumahan. tirto.id/Ecun

Sayangnya, aturan ini hanya berlaku jika pengembang membangun perumahan baru dalam kuantitas unit lebih dari 100. Sementara dalam banyak kasus, pengembang tak membangun lebih dari 100 unit rumah baru.

Dan jika mereka membangun lebih dari 100 unit, aturan 1:3:6 ini tak mereka dipraktikkan di lokasi yang sama, tapi di luar kota--yang akhirnya membuat BoDeTaBek kian sesak tak karuan dihuni kaum urban.

Sadar bahwa harga tanah di Jakarta semakin melambung, pemerintah berupaya memenuhi kewajiban menyediakan hunian bagi kelas menengah-bawah Jakarta dengan cara lain. Tak membangun perumahan tapak, juga tak ingin membangun di luar Jakarta, pemerintah memilih pembangunan perumahan vertikal.

Dilakukan atas amanat Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang kewajiban pemerintah daerah menyediakan hunian bagi warganya, program 1.000 tower dicanangkan.

Berbekal dana senilai Rp800 miliar yang disediakan pemerintah pusat pada 2008, dan Rp2,3 triliun pada 2009 untuk menyubsidi pembangunan hunian vertikal ini, program 1.000 tower diminati banyak pengembang untuk menyediakan rusunami (rumah susun sederhana milik) bagi rakyat miskin.

Namun, seiring berjalannya waktu, pengembang tak mengikuti program pemerintah ini untuk menyediakan hunian bagi kaum menengah-bawah, tetapi sebagai upaya mereka mengokupasi tanah-tanah yang tersisa di Jakarta.

Dan di atas tanah yang akhirnya mereka kuasai, alih-alih membangun rusunami, para pengembang memilih membangun rumah susun bagi kalangan menengah-atas alias apartemen.

Baca juga artikel terkait RUMAH SUSUN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi